Peta penyebaran Covid-19 di Indonesia sudah mencapai keseluruhan 34 Provinsi dengan Gorontalo sebagai Provinsi terakhir yang melaporkan 1 kasus Positif Covid-19. Hal ini dilansir dari covid19.go.id pertanggal 10 April 2020. Adapun rincian total kasus positif Covid-19 hingga rincian pasien meninggal, secara resmi dapat diakses melalui https://www.covid19.go.id/situasi-virus-corona/.
Di tengah epidemi ini, sinisme masyarakat kepada pemerintah meningkat karena sikap yang seolah abai dan plinplan di awal Covid-19 merambah nusantara. Desakan kegelisahan masyarakat ini membuat pemerintah pusat dan daerah melakukan koreksi diri dengan menetapkan beberapa kebijakan. Meskipun terlambat dan rendah koordinasi, namun tetap perlu diapresisasi bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak lagi menjadi Negara Klarifikasi Republik Indonesia.
Ada tiga instrumen hukum sebagai senjata utama dalam perang melawan covid-19 ini yaitu Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19, Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Melalui Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020 dengan turunan regulasi pada Permenkes No. 9 tahun 2020 serta Permenhub No. 18 tahun 2020, salah satu bentuk kebijakan terkait penyebaran Covid-19 adalah PSBB.
Pada pasal 1 dan pasal 2 PP.21/2020 dijelaskan bahwa PPSB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19 berdasarkan persetujuan Menteri Kesehatan yang diinisiasi oleh Pemerintah Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) dengan pertimbangan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Lalu mengapa bukan Lockdown? Karena PSBB dilaksanakan dengan pertimbangan kerakyatan yang disempurnakan sesuai kondisi sosial, ekonomi, politik dan keamanan serta kesiapan tiap daerah dalam NKRI. Ini sempurna bagi budaya dan standar ekonomi mayoritas masyakat Indonesia namun tentulah hukum hanya selalu menjadi cita ideal sementara realita selalu ketus terhadap harmonisasi.
***
Tepat seperti gap antara das sollen dan das sein sehingga sangatlah wajar jika dalam pelaksanaan PPSB ini akan mengalami benturan-benturan. Jelas saja, tak hanya dikepung pandemi, masyarakat juga diselimuti gundah dan kekecewaan melihat perbedaan Permenhub dan Permenkes. Manakah yang harus diikuti?
Pertama, mari terlebih dahulu pahami PSBB yang pada dasarnya hanya membatasi kegiatan ‘tertentu’ masyarakat dengan prinsip Physical Distancing. Pasal 13 ayat 1 Permenkes no.9/2020 menyebutkan secara mendasar ‘kegiatan tertentu’ ini meliputi 6 hal yaitu peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan moda transportasi, pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.
Karena PSBB yang berlandaskan Peraturan Pemerintah masih memperbolehkan kegiatan sehari-hari bahkan perpindahan antar kota dengan pembatasan yang tegas, tentulah diperlukan peraturan terkait pengendalian transportasi. Ditambah dengan penjelasan pasal 13 Permenkes Nomor 9 tahun 2020 ini terdapat kalimat Layanan ekspedisi barang, termasuk sarana angkutan roda dua berbasis aplikasi dengan batasan hanya untuk mengangkut barang dan tidak untuk penumpang.
Sehingga ditafsirkan bahwa ojek online berbasis kendaraan bermotor roda dua hanya bisa melayani pemesanan barang atau makanan namun tidak untuk antar jemput penumpang. Hal ini tentu mengecewakan bagi banyak pihak sehingga memunculkan urgensi peraturan terkait.
Kemudian muncullah Permenhub No. 18 tahun 2020 tentang pengendalian transportasi dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19. Secara logika, Permenhub hadir sebagai respon terhadap Permenkes dan PP tentang PSBB yang lebih dahulu diundangkan sehingga pasti mempertimbangkan segala ketentuan didalamnya.
Hal ini terbukti dengan frasa pada bagian mengingat angka 10, Permenhub yang mencantumkan Permenkes No.9/2020 itu. Hasilnya, Pasal 11 ayat 1 butir c Permenhub mengatakan bahwa ojek online hanya boleh untuk pengangkutan barang yang jika diartikan maka sudah memenuhi anjuran Permenkes untuk physical distacing.
***
Namun memang pada butir d dan e Pasal yang sama mengatakan ojek online bisa mengangkut penumpang demi kepentingan masyarakat ataupun pribadi asalkan memenuhi protokol kesehatan yang ditetapkan. Lalu apasajakah protokol yang harus dipenuhi itu?
Pertama, disinfeksi kendaraan dan perlengkapan sebelum dan setelah selesai digunakan. Kedua menggunakan masker dan sarung tangan, serta tidak berkendara jika sedang mengalami suhu badan diatas normal atau sakit.
Atas hasil kebingungan masyarakat, munculah kelompok yang meminta Permenhub untuk dicabut. Namun sejatinya, Permenhub ini berjalan harmonis dengan Permenkes dan peraturan diatasnya. Bahkan jika dilihat lebih jauh, terdapat pedoman teknis pelaksanaan mudik dengan berbagai jenis kendaraan.
Ditambah lagi sudah ada keterangan dari Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona (Covid-19) Doni Monardo menjelaskan, Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 18 Tahun 2020 hanya berlaku hingga program bantuan sosial (bansos) tersalurkan ke warga. Aturan itu diteken Plt Menhub Luhut Binsar Pandjaitan. Sehingga saat ini setidaknya sudah ada kejelasan terkait perbedaan Permenkes dan Permenhub.
Melihat realita pandemic Covid-19 ini memang menyerang kesehatan paru-paru, namun ada serangan laten yang juga tak kalah hebatnya yaitu kesehatan mental masyarakat Indonesia. Jelas saja kesehatan mental kita diuji karena ditengah pandemi harus tetap mencari sesuap nasi sembari memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan pemerintah, bukanlah hal mudah!
Hentikan budaya berkoar tanpa berfikir, sayangi dirimu sendiri warga net karena saat ini kita dituntut secara bersamaan untuk tetap sehat secara fisik dan mental sembari bertahan dari gerusan perekonomian yang terus menekan. Lalu adakah solusi yang ditawarkan pemerintah? Ketimbang menunggu, mari mencipta.