Fikih

Menanggapi Kebijakan Pemerintah Terkait Pencegahan Covid-19: Perspektif Siyasah Syar’iyyah

3 Mins read

Siyasah syar’iyyah—-Akhir-akhir ini Indonesia digemparkan dengan datangnya virus berbahaya yaitu codiv-19. Virus ini muncul dari negara Wuhan, China dan sudah memakan ribuan korban karena penyebaran nya sangat cepat. Saking cepatnya, virus ini sudah menyebar ke berbagai negara seperti Korea Selatan, Italia, hingga Indonesia.

Sebagai upaya untuk mengantisipasi penyebaran covid-19 yang begitu cepat dan berbahaya, maka pemerintah Indonesia mengambil berbagai kebijakan. Kebijakan tersebut di antaranya, work from home (WFH), social distancing, dan stay at home (14 days). Kebijakan ini menuai pro dan kontra sehingga berdampak lanjut pada banyak sektor, tak terkecuali sektor bisnis dan juga sektor pendidikan.

Kebijakan tersebut tentunya terdapat nilai positif dan negatif tergantung bagaimana masyarakat menyikapi dan menanggapi kebijakan tersebut. Kemudian bagaimana jika kebijakan pemerintah Indonesia saat ini dikaitkan dengan siyasah syar’iyyah.

Siyasah syar’iyyah sendiri dapat dipahami sebagai konsep pemerintahan berdasarkan hukum syariah (Islam). Pada dasarnya, sumber hukum Islam yang utama ada dua, yaitu Al-Qur’an dan hadis, dan setelahnya yaitu konsep fikih. Konsep fikih sendiri lalu diturunkan menjadi ijma’, qiyas, maslahah mursalah, dan masih banyak lagi.

Menanggapi kebijakan pemerintah terkait upaya pencegahan Codiv-19 jika ditinjau dari prespektif siyasah syar’iyyah, maka merujuk pada konsep maslahah mursalah dalam fikih. Maslahah sendiri berarti mendatangkan kebaikan, membawa kemanfaatan, menolak kerusakan bagi banyak orang. Maka maslahah mursalah dapat dimaknai sebagai prinsip kebaikan untuk menetapkan suatu hukum Islam dari adanya permasalahan.

Berdasarkan dalil Al-Qur’an yaitu Surah An-Nisa ayat 59 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

***

Al-Qur’an tersebut memerintahkan untuh patuh kepada pemimpin. Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini dengan adanya Codiv-19, maka kita sebagai warga negara hendaknya untuk mematuhi himbauan dari pemerintah sebagai langkah pencegahan Codiv-19.

Baca Juga  Konversi Agama di antara Syariah dan HAM

Jika di dikaitkan dengan siyasah syar’iyyah, situasi sekarang mulai genting dibuktikan dengan kesadaaran masyarakat yang masih rendah akan himbauan tersebut. Maka dari itu diperlukan peran negara yg cukup signifikan karena saat ini sudah terdapat tiga tenaga medis meninggal dalam menangani virus ini.

Selain itu, pemerintah saat ini masih belum mampu secara efektif menangani virus ini. Dibuktikan dengan penugasan langsung kepada Tentara nasional indonesia (TNI) untuk terjun mengambil alat perlindungan diri ke China.

Berdasarkan fatwa MUI, terdapat dua kaidah yang timbul dari adanya Codiv-19 saat ini yaitu, pertama yang artinya, “Tindakan atau kebijakan Imam [pemegang otoritas] terhadap rakyat harus berorientasi pada mashlahat.” Kedua adalah yang artinya, “Mencegah mafsadah (kerusakan/kerugian) harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.”

Maka dapat dipahami bahwa untuk meninjau kebijakan pemerintah, sudah sesuai atau belum dengan siyasah syar’iyyah dapat merujuk pada dua kaidah tersebut yaitu kebijakan pemimpin haruslah memiliki orientasi kepada menolak segala yang rusak dan menarik segala yang bermasalah.

Sebagai syarat memenuhi kaidah tersebut ada 3 ruang lingkup, yaitu maslahah dharuriyyah, hajjiyah, dan tahsiniyyah. Pertama yaitu maslahah dharuriyyah atau (dharuriyyatul khams). Maksudnya adalah menjaga 5 hal utama tujuan dari maqasid syariah. Untuk masalah yang terjadi saat ini terkait virus corona masuk kepada menjaga agama dan jiwa, karena saat ini kita di beri himbauan untuk tetap tinggal di rumah sebagai bentuk pencegahan dari codiv-19.

***

Kedua yaitu, maslahah hajjiyah atau tahapan menengah untuk memperkuat kepentingan awal, dan sebagai kebutuhan untuk menghilangkan kesulitan. Misalnya saja dengan memberikan pelayanan kesehatan akibat Codiv-19 atau vaksin. Ketiga yaitu, tahsiniyyah atau tahapan ketiga yaitu untuk kepentingan agar tidak menyulitkan kehidupan dan untuk kebutuhan diri dengan menjaga kesehatan dimulai dari diri sendiri dengan mencuci tangan setelah menyentuh fasilitas umum.

Baca Juga  Jemaah Haji Lansia: Shalat di Hotel Lebih Utama dari Masjidil Haram

Selain itu juga, terdapat 3 syarat yg ditetapkan oleh Ustadz Abdul Wahab terkait hal tersebut. Pertama, codiv-19 sifatnya bukan dzon (dugaan) tapi sudah penelitian empiris. Sebelum masuk virus ini masih dzon namun sekarang sudah dibuktikan secara empiris dan menyebabkan banyak mudharat.

Seperti kematian dan dampak ke sektor lainnya juga sangat terasa misalnya ekonomi, dan pendidikan. Dalam proses penanganannya pun sangat ekstra dan banyak tenaga medis meninggal karena virus ini. Kedua, sifatnya umum untuk amal dan bukan untuk kepentingan sepihak. Ketiga, Tidak bertentangan dengan Al-Qur”an dan hadis serta ijma’ ulama.

Ketiga syarat tersebut bertujuan untuk melegalisasi hukum atau produk hukum yg dihasilkan dari maslahah mursalah apakah bertentangan atau tidak dengan prespektif siyasah syar’iyyah. Maka dari itu dapat disimpulkan kebijakan pemerintah Indonesia tidak bertentangan dengan prespektif siyasah syar’iyyah karena kebijakan tersebut pada intinya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis serta Ijma.

Selain itu sebagai penguat melalui pemikiran Ustadz Abdul Wahab merujuk pada pemikiran Imam Ghozali serta dalam konsep ekonomi syariah. Selain itu kebijakan tersebut sangat bermanfaat sebagai tindakan penncegahan terhadap dharuriyyatul khams yang sangat mendesak untuk kepentingan banyak orang.

Editor: Yahya FR
2 posts

About author
Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Jual Beli Sepatu dari Kulit Babi

2 Mins read
Hukum jual beli sepatu dari kulit babi menjadi perhatian penting di kalangan masyarakat, terutama umat Islam. Menurut mayoritas ulama, termasuk dalam madzhab…
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds