Ketika Mark Woodward memuji Muhammadiyah, dia bilang organisasi ini harus jadi teladan global dalam menghadapi pandemi. Bukan cuma bagi komunitas muslim di Asia Tenggara, India dan Timur Tengah, tapi juga untuk komunitas protestan Amerika.
Woodward menganggap Muhammadiyah telah mengajarkan praktik baik cara beragama yang tekun, taat dan rasional. Muhammadiyah dianggap cekatan dan sigap mempromosikan praktik keagamaan yang adaptatif untuk menghambat penyebaran Covid-19.
Jadi, selain menyediakan layanan kesehatan melalui 35 rumah sakitnya yang tersebar di Jawa, Sumatera dan Kalimantan untuk menangani ribuan pasien wabah Covid-19, Muhammadiyah juga merilis imbauan keagamaan yang sesuai dengan protokol kesehatan resmi.
Cara Muhammadiyah memadukan keyakinan religius dan sains, bagi Woodward merupakan kunci sukses gerakan keagamaan yang berdiri sejak tahun 1912 ini.
Mengakhiri Stigma Muhammadiyah
Sepanjang era reformasi, tekanan politik terhadap Muhammadiyah menguat. Organisasi ini dianggap tidak mampu memperkuat wacana kebangsaan dan demokrasi. Muhammadiyah kerap dipandang tidak tegas dengan gerakan dakwah berhaluan Islamisme. Bagi banyak orang, Muhammadiyah dianggap bagian dari Islam wahabi karena dikenal dengan slogan “memberantas takhayul, bid’ah dan khurafat”.
Tidak kurang juga ada anggapan Muhammadiyah merupakan varian gerakan salafi karena mempromosikan “kembali pada Al-Qur’an dan as-sunnah”. Cara memahami Muhammadiyah melalui dua cara itu, sangatlah sempit.
Slogan-slogan umum dan simbol-simbol pemikiran teologis sama sekali tidak bisa digunakan untuk memahami Muhammadiyah. Terdapat suatu jarak kosong untuk menjelaskan ruang antara gagasan revivalisme teologi abad pertengahan Islam dan gagasan modernisme Islam dalam Muhammadiyah.
Banyak orang gagal memahami Muhammadiyah hanya karena mereka menganggap organisasi ini merupakan “perpanjangan tangan” revivalisme Mesir. Bahkan dengan sekedar melihat slogan-slogan revivalis abad pertengahan seperti Ibnu Taymiyyah, orang sudah melalaikan banyak detil khas Muhammadiyah.
Artikel pendek Woodward di beranda media sosial facebook miliknya yangberjudul, Religious Holidays in the Plague Year: Lesson from the Indonesian Muhammadiyah Movement (31/3/2020) memberi kita peluang untuk merefleksikan bagaimana “jati diri” Muhammadiyah. Arif Jamali Muis, aktivis Muhammadiyah, menanggapi komentar Woodward melalui opini di koran Kedaulatan Jogja (8/4/2020).
Muis bilang, apa yang dilakukan Muhammadiyah itu merupakan implementasi pemikiran keagamaan yang rasional dan berorientasi pada penyelamatan kehidupan. Muis menulis, “tentu tidak mudah melaksanakan [mitigasi untuk pandemi Covid-19], dibutuhkan semangat jihad kemanusiaan agar kita menyelamatkan kehidupan”. Muis mencatat, ada 35 Rumah Sakit Muhammadiyah dan Aisyiyah yang di Jawa, Kalimantan, Sumatera sediakan untuk merawat pasien Covid-19.
Bagaimana memahami Muhammadiyah dan perannya ini? Mengapa Muhammadiyah mampu mengembangkan dan memadukan respon pendampingan keagamaan dan kesehatan sekaligus selama pandemi Covid-19?
Saya menduga respon-respon Muhammadiyah selama masa pandemi Covid-19 merupakan bagian dari afirmasi identitasnya sebagai gerakan modernis. Melalui rumah sakit, tenaga medis, tenaga kesehatan dan peran aktifisnya, Muhammadiyah sedang menata ulang peran esensialnya bagi ruang publik keagamaan dan masyarakat akar rumput. Muhammadiyah hendak menegaskan dirinya sebagai gerakan keagamaan yang rasional dan sistemik.
Muhammadiyah dan Pandemi Covid-19
Coronavirus disease 2019 atau disingkat Covid-19 adalah penyakit menular yang menginfeksi saluran pernapasan. Berdasarkan data WHO per tanggal 19 April, terkonfirmasi 2.164.111 kasus di seluruh dunia. Korban meninggal akibat pandemi global ini mencapai 146.198 jiwa.
Virus ini muncul pertama kali di Wuhan, Provinsi Hubei, China pada akhir Desember 2019. Pemerintah Indonesia mengumumkan secara resmi kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020 di Depok, Jakarta. Virus ini setidaknya sudah menyebar di berbagai tempat, setelah kasus Depok dan Bogor.
Merespon kemunculan kasus Covid-19, tanggal 5 Maret 2020, Pimpinan Pusat Muhammadiyah (disingkat PP Muhammadiyah) membentuk gugus tugas bernama Muhammadiyah Corona Command Center (MCCC). Lembaga ini merupakan hasil kolaborasi Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) dan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC).
Pembentukan gugus tugas Muhammadiyah merupakan sikap institusional pertama di Indonesia. Pemerintah Indonesia, melalui Kepres No. 7 tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019, baru membentuk badan penanganan pandemi tanggal 13 Maret 2020.
Menanggapi kasus pertama di Depok, Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan di laman facebook, “Muhammadiyah mempersiapkan rumah sakit PKU Muhammadiyah yang siap untuk bekerjasama dan menangani pasien positif virus corona covid-19” (3/4).
Setelah membentuk lembaga MCCC, Muhammadiyah mulai menggerakkan 35 rumah sakit, tenaga kesehatan dan aktivisnya untuk berbagi tugas merencanakan penanganan selama masa pandemi. Kampus Muhammadiyah meliburkan dan mensubsidi mahasiswa untuk kuliah daring selama satu semester. Jejaring aktivis muda Muhammadiyah giat melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai covid-19.
Pada tanggal 21 Maret, Majelis Tarjih PP Muhammadiyah merilis fatwa “Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid-19”. Merespon hasil kajian dan rekomendasi majelis tarjih, pada tanggal 24 Maret, PP Muhammadiyah mengeluarkan surat edaran “Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darudat Covid-19”.
Poin utama fatwa Muhammadiyah di antaranya yakni mengganti salat Jumat dengan salat dzuhur serta mengurangi aktifitas berjamaah. Termasuk meniadakan salat tarawih berjamaah di masjid, berbuka puasa bersama dan salat idul fitri. Rekomendasi ini menjadi solusi praktik ibadah selama masa pandemi. Aktivis Muhammadiyah yang menduduki jabatan di MUI juga mendorong rekomendasi yang serupa.
Memahami Relasi Baru Muhammadiyah
Banyak pengamat menganggap pengaruh Muhammadiyah memudar. Apalagi, negara semakin dominan dalam pelayanan sosial, menyebabkan banyak kekuatan Islam sipil seperti Muhammadiyah kehilangan pengaruh politik dan sosial (Aspinall, 2002 & Hicks, 2012). Sementara itu, banyak yang menganggap praktik-praktik pelayanan kesehatan dan sosial Muhammadiyah mengalami pergeseran orientasi.
Jadi bagaimana Muhammadiyah memproduksi relasi baru antara organisasi dan publik akar rumput? Saya menganggap Muhammadiyah tengah memproduksi ruang publik keagamaan yang baru, dengan memadukan keberhasilan manajemen rumah sakit, ketersediaan infrastruktur teknologi dan komunitas intelektual baik yang berbasis di organisasi atau kampus-kampus Muhammadiyah.
Jika kita melihat sejak awal era reformasi, pembentukan ruang publik keagamaan baru ini melibatkan praktik-praktik lingkunganisme kebencanaan. Muhammadiyah memulainya pada tahun 2004, saat peristiwa tsunami Aceh, gempa Yogyakarta (2006), gempa Sumatera (2009), erupsi Merapi (2010), gempa dan tsunami di Palu dan Donggala (2018) dan Banjir Jabodetabek (2020). Praktik-praktik ketanggapan ini bagi beberapa pengamat memperlihatkan perpaduan karakter aktivisme “Islami” sekaligus “sekuler” (Bush, 2015).
Pada satu sisi, kedermawanan, kerelawanan dan pelayanan sosial Muhammadiyah merupakan bagian dari dakwah keagamaan atau istilah akrab yakni “jihad”. Sisi lainnya adalah mensekulerisasi basis problem kesehatan manusia berdasarkan pada pendekatan modern. Muhammadiyah misalnya melihat problem kesehatan berdasarkan cara kerja medis modern dan bukan teologis.
Ketika rezim sentralistis Soeharto runtuh pada tahun 1998, Muhammadiyah bergerak lebih leluasa. Organisasi ini mendapat banyak kesempatan untuk mengaplikasikan kecenderungan modernis yang independen, mandiri dan kooperatif.
Selama dekade 80 hingga 90an, sejumlah intelektual Muhammadiyah sudah mengembangkan bentuk-bentuk pemikiran keagamaan sosial. Mereka misalnya menyebutnya dengan beragam istilah seperti “Islam Transformatif” atau “Tauhid Sosial”.
Tren ini bertahan dan berevolusi drastis dengan jaringan solidaritas internasional. Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT), salah satu gerbang pemikiran keagamaan Muhammadiyah selama era 90an, berorientasi pada Islam kontekstual yang mengapresiasi sains modern. Hal ini menjadi landasan penting keterlibatan dan daya tanggap cepat fatwa-fatwa Muhammadiyah.
Wacana Baru Keagamaan
Ketika Muhammadiyah mengumumkan rekomendasi ibadah selama pandemi Covid-19, organisasi ini telah masuk ke dalam pembentukan wacana keagamaan. Menunda salat Jum’at dan bahkan salat tarawih hingga Idul Fitri telah memberi jalan pembentukan wacana publik keagamaan yang baru.
Dalam konteks kehidupan publik modern, fatwa ini mengisi celah ambigu diskusi keagamaan pasca era reformasi. Perdebatan Nasionalisme, Sekularisme dan Islamisme yang selama ini mengisi perdebatan publik muslim berkontestasi kembali dengan diskusi keislaman alternatif.
Fatwa-fatwa untuk berkorban kesalehan selama pandemi wabah dengan beribadah di rumah merupakan tantangan khas diskursus teologi abad ini. Peningkatan kerusakan lingkungan, mendebat praktik-praktik komunal keagamaan. Tantangan berat ini akan menghantui banyak gerakan keagamaan. Gelombang bencana ekologi tampaknya akan mengubah banyak pembentukan ruang publik keagamaan kita hari ini.
Editor: Nabhan