Falsafah

Mencoba Memahami Iman Menggunakan Nalar

3 Mins read

Iman dalam pengertian normatif adalah percaya atau meyakini sesuatu, dibuktikan dengan perkataan dan perbuatan. Percaya artinya hilangnya rasa ragu di hati. Setengah percaya artinya setengah ragu. Jadi jelas bahwa percaya atau yakin merupakan lawan kata ragu itu sendiri.

Selama ini, pembicaraan iman banyak dikaitkan dengan suatu yang di luar nalar manusia. Bahkan menjadi suatu yang sensitif untuk dibicarakan. Rocky Gerung mengatakan iman adalah wilayah privat yang tidak layak dibicarakan. Sehingga, dia memilih untuk tidak berpendapat soal tersebut atau menutup diri untuk diperbincangkan.

Terma iman erat hubungannya dengan agama. Jadi, berbicara soal iman artinya juga berbicara soal agama. Semua agama memiliki keyakinan yang kemudian dijadikan sebagai way of life (jalan hidup). Karena, agama memberi harapan keadilan yang akan dituntaskan di akhirat kelak. Sehingga, orang yang beriman hidupnya akan tenang karena ada janji dari Tuhan kepada mereka yang beriman; bahwa segala sesuatu akan dibalas sesuai perlakuannya.

Iman menjadi way of life. Usaha penutupan ruang diskusi tentang iman merupakan sebuah kejanggalan. Karena bagaimana mungkin seseorang bergantung atau menggantungkan harapan dengan imannya yang tidak jelas atau tidak memiliki jalan logika dan nalar?

Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis ingin membongkar sedikit wilayah iman dan persembunyian nalar iman sebagai argumen untuk membantah bahwa iman sebagai persoalan privat dan iman sebagai persoalan di luar kemampuan nalar manusia.

Wilayah Iman

Anggapan bahwa iman sebagai wilayah privat merupakan sebuah kekeliruan yang terstruktur yang terbangun dari pemikiran subjektifitas. Lebih tepatnya, pandangan ini selalu digunakan oleh para ahli retorik kaum Shopis dari era pra Socrates hingga hari ini (Russell: 2007, 111). Mereka berpendapat bahwa kebenaran itu tergantung setiap perspektif orang.

Baca Juga  Keraguan adalah Sebagian dari Iman

Suatu ketika Socrates menguji ukuran kebenaran yang dibuat oleh kaum Shopis dengan menggunakan dialektika negatif. Socrates bertanya kepada seorang pelukis tentang keindahan; sekumtum bunga itu indah, namun ketika dia layu apakah keindahannya hilang? Kemudian kaum Shopis menjawab bahwa keindahan pada sekuntum bunga itu hilang ketika bunga itu layu.

Kemudian Socrates mengatakan bahwa keindahan tidak pernah hilang. Hanya saja, ketika bunga itu layu, seseorang melihat keburukan di sana. Padahal keindahan itu selalu abadi. Socrates memperlihatkan bahwa ukuran kebenaran subjektif tidak mampu mengukur keindahan karena bergantung pada kondisi dirinya sendiri.

Sama halnya dengan iman. Bahwa sebenarnya wilayah iman merupakan wilayah umum. Sebab, keimanan itu dimiliki oleh setiap orang. Iman berada pada dimensi yang sama dengan keindahan, cantik, dan semua kata sifat lainnya.

Oleh karena itu, jika seseorang berupaya untuk tidak menjawab pertanyaan tentang iman, maka sikap tersebut adalah sikap bijaksana. Karena dia tahu betul karena wilayah tersebut tidak bisa dinilai dengan subjektif.

Apabila dipaksakan untuk dijawab dengan cara subjektif maka pasti akan salah. Namun lebih salah lagi jika seseorang tidak menjawab karena menganggap hal tersebut sebagai wilayah privat.

Nalar Iman

Jika Iman dimaknai sebagai sikap peracaya, maka bisa dipastikan bahwa ada penyebab yang menggiring kepada arah “percaya” tersebut. Tentu ada yang dipercayai, ada media yang menyampaikan, kemudian ada sebab atau faktor seseorang untuk memilik percaya.

Kausalitas sikap percaya, membuktikan bahwa iman memiliki nalar. Karena hanya dengan nalar seseorang bisa memahami sesuatu dan kemudian memutuskan untuk mempercai sesuatu. Lalu bagaimana nalar iman?

Nalar iman adalah nalar imajinatif, dan manusia hidup dalam dunia imjinasi lebih banyak dari pada dunia realitas. Bahkan setiap orang ketika dia bangun tidur, dia telah memikirkan sesuatu di dalam kepalanya, seperti cita-cita dan harapan yang ingin dicapai. Semua itu merupakan ranah imajinatif.

Baca Juga  Islam Adalah “Berdamai dengan Allah”

Dengan nalar imjinatif inilah kemudian iman diterima sebagai kebenaran oleh mereka yang memiliki harapan dan imajinasi kepastian janji-janji Tuhan dan lain sebagainaya. Sehingga jika ada yang megatakan bahwa iman suatu persoalan yang di luar nalar manusia, maka itu adalah kesimpulan yang keliru.

Ukuran Iman

Dalam pengertian filsafat, iman merupakan sebuah terma yang muncul dalam kehiduan manusia. Statusnya sama dengan terma lainnya seperti cinta, benci, dan lain sebagainya.

Ukuran iman bisa dilacak dari argumentasi orang beriman; misalnya, seseorang yang memilih percaya karena tidak memiliki pilihan, ada yang percaya karena basis menggantungkan harapan, dan ada yang percaya tanpa alasan.

Iman yang paling rendah adalah argumen yang dibangun karena tidak memiliki alternatif lain. Kemudian, argumentasi iman yang dibangun karena menggantungkan harapan padanya berarti bahwa iman sebagai way of life. Dan terakhir, iman tanpa argumentasi merupakan tingkat tertinggi dalam iman karena telah masuk pada wilayah fanatik.

Editor: Yahya FR

Firmansyah
5 posts

About author
Alumnus S1 Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya Tahun 2018
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds