Awalnya saya ragu apakah memenuhi undangan seorang guru SD Muhammadiyah di Surabaya. Biasanya saya berbicara di depan mahasiswa, dosen, lingkungan akademis, calon guru besar, aktifis, dan sebagainya.
Bagaimana kalau bicara di depan siswa siswi SD? Maka saya minta pendapat teman-teman FB dan senang sekali menyimak berbagai perspektif dan pengalaman pentingnya kita berbicara di depan anak-anak. Saya berpikir, bismillah, saya siap, meskipun cukup banyak kesibukan menulis dan mengajar dalam minggu ini.
Tapi saya coba bayangkan siswa siswi kelas 6 ini seusia Inas, dan saya berpikir bagaimana sejak dini, generasi pelajar Muslim Indonesia bisa bermimpi dan menggapai cita-cita menjadi ilmuwan atau apa saja peran mereka yang dapat bermanfaat bagi diri mereka, lingkungan mereka, umat, bangsa, bahkan mewarnai peradaban dunia.
Ada 200 siswa siswi kelas 6 yang mengikuti acara ini. Saya pun melihat website SD Muhammadiyah 4 Pucang Surabaya, https://mudipat.co/ dan ternyata SD ini sudah memiliki prestasi-prestasi keilmuan dan teknologi yang membanggakan, seperti robotik, olah raga, seperti panah, seni dan bakat lainnya.
SD ini memiliki majalah buletin Arba’a, yang sangat menarik, berisi berbagai informasi kegiatan keagamaan dan sains teknologi. Mereka belajar bahasa Arab, bahasa Inggris, pendidikan agama dan pendidikan umum, dengan kurikulum pemerintah, persyarikatan, juga lokal Jawa.
Memulai Pemaparan kepada Para Siswa
Paparan saya awali dengan perkenalan bagaimana saya dulu belajar di TK Islam, Madrasah Ibtidaiyah, SD Islam Al-Bayyinah (yang kemudian menjadi SD Muhammadiyah), Madrasah Tsanawiyah, di Jakarta Selatan, lalu menjadi santri di Pesantren Darussalam dan Madrasah Aliyah, lalu IAIN Jakarta, lalu Jakarta-Perancis, Edinburgh, lalu Hawaii, AS, hingga menjadi dosen di University of California, Riverside.
Saya sebutkan sewaktu SD saya tidak ingat bercita-cita ke luar negeri, dan karena itu, akan lebih baik jika siswa-siswa sekarang bisa sedini mungkin bercita-cita melanglang buana. Ini saya maksudkan untuk memberikan motivasi.
Saya coba kenalkan saya punya anak usia SD, lalu bayi dan anak kecil, dan senang mengajak bicara dan bermain dengan anak-anak di Indonesia maupun di Amerika.
Setelah saya kenalkan diri dan latar belakang, saya mulai menjelaskan secara sederhana tiga ayat Al-Qur’an: Muhammad sebagai rahmat bagi semua manusia (Al-Anbiya:107), keragaman bangsa di dunia agar saling mengenal dan belajar (Al-Hujurat:13), dan kata-kata KH Ahmad Dahlan (1923) tentang bangsa-bangsa berbeda tapi bersatu hati, dan ayat setiap anak Adam adalah mulia, tanpa terkecuali, beriman atau tidak, apapun bangsa jenis kelamin dan sebagainya (al-karamah al-insaniyyah, human dignity) (Al-Isra: 70). Dengan bahasa yang sederhana, dan semoga mudah dipahami.
Lalu saya jelaskan apa makna ilmu dan ilmiah, dan pentingnya menumbuhkan rasa ingin tahu (sense of curiosity) sejak dini, selalu bertanya mengapa (why) tentang segala hal di sekitar. Saya jelaskan beberapa ciri ilmiah: rasional, sistematis, dapat diuji, universal, dan siap dipertanyakan.
Saya coba berikan ilustrasi ilmuwan-ilmuwan Muslim di abad-abad pertengahan bagaimana mereka menjadi ilmuwan, dan 4 rukun pendidikan: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
Saya jelaskan langkah-langkah pembelajaran ilmiah, mulai dari mengamati (observing), bertanya (questioning), menalar dan menghubungkan variabel-variabel (associating), experimenting (mencoba) dan membentuk jaringan (networking).
Saya juga jelaskan belajar yang berhasil butuh membaca, mendengar, melihat, berdiskusi, menyajikan, bermain peran, dan mengerjakan hal yang nyata (mulai dari verbal, visual, terlibat, dan berbuat).
Tujuh Hal dalam Membina Anak Didik
Lalu saya coba jelaskan, 7 hal membina anak didik yang berhasil: 1) mengenali kekuatan/kelebihan anak atau siswa sedini mungkin 2) menunjukkan hubungan antara kerja keras dan hasil, 3) menciptakan budaya rajin, berusaha, dan tidak putus asa, 4) membangun rasa percaya diri, 5) sabar ketika anak atau siswa bertanya, 6) mempromosikan spesialisasi sejak dini, lebih baik daripada menjadi generalis mengajarkan berbagai hal, dan 7) mendukung kompetisi dan perbaikan. Saya berikan ilustrasi-ilustrasi sederhana sesuai dengan tingkat pemahaman usia sekolah dasar.
Saya akhiri paparan saya dan kemudian sesi tanya jawab. Moderatornya Alexander Meisi, salah satu siswa kelas 6, sejak awal, memandu acara, bersama salah satu ustadz dan ustadzah dan dihadiri kepala sekolah.
Tidak saya sangka banyak sekali siswa siswi yang angkat tangan. Karena keterbatasan waktu, 6 siswa siswi mengajukan pertanyaan secara jelas dan to the point (tidak bertele tele seperti banyak orang ketika dalam sesi tanya jawab suatu forum).
Pertanyaan-pertanyaan itu: 1) Siapa saja ilmuwan-ilmuwan Muslim di abad pertengahan dan apa produk mereka yang mewarnai peradaban dunia, 2) Bagaimana dakwah Muhammadiyah dan Islam di dunia, 3) Bagaimana mengenali kelebihan kita dan setelah tahu kelebihan itu, bagaimana mengembangkannya, 4) Di mana saja Muhammadiyah memiliki cabang-cabang di luar negeri, 5) Mengapa hanya 10 % saja membaca memiliki pengaruh dalam pendidikan, dan pertanyaan 6) Bagaimana ilmuwan zaman dahulu belajar dan menjadi ilmuwan, padahal belum ada internet.
Ini menunjukkan mereka mengikuti apa yang saya sampaikan. Saya pun belajar dari para siswa ini, guru yang hadir, dan dari sekolah dasar ini. Semoga semakin maju.
Editor: Yahya FR