Selain Ibadah, Menebar dan Menjaga Maslahat Juga Perlu
Sebelum membahas tentang menebar dan menjaga maslahat, kita perlu memahami tentang iman. Iman merupakan konsep yang mendasari seseorang dalam berpikir dan berperilaku bagi orang-orang beragama. Tidak hanya Islam, dalam agama apapun manusia selalu membutuhkan bimbingan arahan serta petunjuk dari Tuhan untuk menghadapi, menelaah, dan memilah berbagai persoalan dalam kebutuhan hidupnya, sebab manusia memiliki batasan–batasan secara fisik, nalar, serta perasan.
Mengenai iman secara ekstensif dapat dipahami sebagai proses penyerahan diri secara total kepada Allah atas seluruh dinamika kehidupan. Wujud dari keimanan mengantarkan seseorang dalam berbuat baik, yakni beramal shalih. Pada situasi inilah buah dari keimanan merupakan Ibadah.
Ibadah Manifestasi dari Iman
Ibadah dalam terminologi Islam merupakan dorongan. Dorongan atas rasa kagum dan ketakutan yang kemudian melahirkan keikhlasan dalam menerima segala ketetapan-Nya, kepatuhan dalam menjalankan dan menjauhi perintah-Nya, pengharapan dalam mencapai rida-Nya, dan kecintaan atas ketenangan dalam memuji asma-asma-Nya. Secara tidak langsung ibadah merupakan manifestasi dari iman.
Dalam Al-Quran kata al-Iman disandingkan pada kata al-amal al-shalih dengan relasi syarat dan masyrut yang di indikasikan sebagai syarat terciptanya keimanan ialah melakukan amal-shalih. Jika diterapkan dalam bertindak maka konteks antara iman dan amal-shalih merupakan bentuk dari representatif etika Islam, yakni etika amal-shalih. (Nunu Burhanuddin, 2016).
Di lain sisi, korelasi antara iman dan amal melahiran term keagamaan yang menjadi puncak karakter kesempurnaan manusia, yaitu takwa. Implementasi dari ketakwaan ini mencakup keseluruhan kaidah dalam agama, mulai dari keyakinan, peribadatan, hubungan sosial serta moral. (Tholhah Hasan, 2007)
Etika Kemaslahatan
Hal ini senada dengan Muhammad Abed Al-Jabiri, seorang pemikir modern Arab-Islam (lahir di Firguig, Maroko 1936) yang menyebutnya dengan “kemaslahatan” (etika kemaslahatan). Dalam karyanya al-‘Aql al-Khlaq al-‘Arabi, ia mengataan prinsip etika Islam, kemaslahatan bersumber dari warisan Islam itu sendiri yakni Al-Quran. Karena Al-Quran merupakan nilai sentral dari etika kemaslahatan.
Lebih lanjut ia menyebutkan etika kemaslahatan di dasari oleh prasangka, tradisi, dan term-term keagamaan yang dikembangkan oleh akal. Karena akal memiliki potensi yang mampu menguraikan hakikat kemaslahatan dan juga makna dibaliknya, yaitu kemudharatan. Orientasi dari etika kemaslahatan berangkat dari masa lalu ke masa depan. Artinya maslahat merupakan kebaikan dan kemanfaatan yang bersifat dinamis, selalu bergerak dan mengambil pelajaran dari masa lalu. (Muhammad Abed Al-Jabiri, 2019).
Segala bentuk hegemoni dalam masyarakat terlihat sebagai pemujaan pascamodern yang masih lekat dalam tradisi bahkan hidup secara bebas dan tumbuh subur pada masyarakat. Dengan jelas hal ini terlihat mulai dari Penyelewengan atas janji, penindasan habis-habisan pada bawahan, pengerusakan, serta dari oknu-oknum yang mengambil paksa hak orang lain tanpa belas kasih, dan lain sebagainya yang memunculkan mafsadat, yakni membawa pada kemudharatan. Semua ini merupakan aktualisasi dari iman yang menentang sikap etika kemaslahatan.
Menebar dan Menjaga Maslahat
Segala sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan sangatlah kompleks dan beragama, dalam istilah Jawa seringkali disebutkan “Laku Utomo Nguntungake Wong Liyo”, yang artinya perilaku yang utama yaitu memberi manfaat pada orang lain. Intisari dari perilaku tersebut bagaimana seharusnya manusia hidup dalam bersosial dan bermasyarakat.
Dengan demikian, mengenai Iman tidak hanya melulu soal ibadah, bukan berarti juga mengesampingkan ibadah. Akan tetapi ibadah menjadi lebih kompleks apabila disertai dengan hal-hal yang mengiringi ibadah mulai dari mengucap syahadat sampai menebar salam, dari menyingkirkan benda-benda yang dapat menggangu pengendara jalan sampai menolong orang meyeberang jalan, dari bertegur sapa sampai menjaga lisan yang dapat menyakiti perasaan, dari memperdulikan tetangga hingga menginfakkan sebagian harta dan seterusnya yang berhubungan dengan menebar maslahat. Baik itu kemaslahatan duniawi maupun kemaslahatan ukhrawi.
Maka dalam situasi kehidupan serba beragam ini, yang perlu diperhatikan adalah memunculkan perbuatan atau upaya–upaya yang berimplikasi pada kemaslahatan. Sebaliknya, yang dihindari ialah berbagai upaya yang mengarah pada munculnya kemafsadatan.
Editor: Nabhan