Feature

Menemukan Kesetaraan dalam Ungkapan ‘Kanca Wingking’

3 Mins read

Sebagai perempuan Jawa, saya mengenal ungkapan “kanca wingking” yang biasa disematkan kepada para perempuan. “Kanca” yang berarti teman dan “wingking” yang berarti belakang. Ungkapan itu menggambarkan kehidupan perempuan Jawa yang tidak bisa dipisahkan dari urusan “belakang”, belakang yang dimaksud itu dapur, kasur, dan sumur.

Menolak Jadi Kanca Wingking

Ungkapan ini dirasa membawa kesan negatif pada diri perempuan sebagai bentuk penindasan dan penderitaan. Bahwa perempuan atau istri memang bagiannya masak, manak, dan macak. Tugas domestik yang seabrek itu adalah pekerjaannya istri.

Selain itu, ungkapan kanca wingking juga mengesankan bahwa istri tidak memiliki peran penting setara dengan suami dalam rumah tangga. Istri harus sepenuhnya manut suami, maka muncul juga istilah surga nunut neraka katut. Posisi istri seperti dinomorduakan atau lebih rendah dari suami sang pemimpin keluarga.

Pelekatan ungkapan berkesan negatif ini membuat sebagian perempuan tidak terima. Mereka merasa harus diakui keberadaannya, tidak hanya di belakang sebagai kanca wingking, tapi mesti mendapatkan kesempatan yang sama untuk tampil di depan. Istri bukanlah seseorang yang hanya di belakang dan tidak penting, tetapi harus berada di samping suami membersamai suami dalam setiap langkahnya.

Tidak salah perempuan beranggapan seperti itu. Merasa ungkapan kanca wingking membuat mereka merasa tertinggal, menderita, dan tertindas. Namun coba yuk kita ulik lagi sebenarnya apa sih arti dari kata kanca wingking.

Ya memang sih, semua kembali lagi bagaimana kita memaknai ungkapannya. Menjadi kanca wingking bukan berarti kita tidak punya peran, justru dari wingking itulah perempuan memegang kunci perjalanan sebuah rumah tangga. Layaknya sutradara film yang kerjanya di balik layar, tidak terlihat tetapi memegang peran penting dalam proses pembuatan film.

Baca Juga  Cerita Mudik Lebaran 2024 (3): Jalur Lintas Tengah Sumatera yang Tak Lagi Sepi

Perempuan dan Urusan Dapur

Dapur memang tidak bisa dipisahkan dari perempuan. Mau kamu demo berjilid-jilid menuntut perempuan tidak harus pandai memasak, kamu tetap harus legowo menerima bahwa memang perempuan itu erat kaitannya dengan masak-memasak.

Bagi kamu yang menganggap nguplek di dapur adalah bentuk penindasan dan membuatmu merasa rendah, mungkin kamu saja yang salah memahaminya. Memasak bukan hanya aktivitas mengiris, meracik, merebus, atau menggoreng, dibutuhkan ketelitian dan kesabaran dalam prosesnya untuk menciptakan mahakarya masakan.

Berapa sendok takaran gula dan garam, berapa banyak merica, berapa biji ketumbar, jumlah daun salam, panjang pendek lengkuas, bentuk dan ukuran pemotongan aneka sayur, komposisi air dan tepung untuk adonan mendoan, keseimbangan kandungan gizi dalam menu, dan seterusnya, itu semua membutuhkan skill ketelitian dan ketelitian yang dimiliki perempuan, wahai saudara-saudariku.

Memastikan semua anggota keluarga cukup nutrisi dan tidak kelaparan itu sungguh mulia. Masa kamu mau merasa direndahkan untuk urusan krusial seperti ini? Lebih jauh yang berkaitan dengan hati, dapur adalah tempat keluarga pulang. Orang-orang pulang kampung beralasan merindukan rumah.

Dapur adalah tempat terhangat di rumah. Bukan karena ada kompor di sana, tapi karena ada ibu yang ngglenuk memasak untuk menghidangkan menu favorit suami dan anak anaknya dengan cinta. Dan meja makan adalah sudut yang menyatukan anggota keluarga lewat denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Dapur juga tempat paling romantis karena di sana ibu melantunkan doa-doa yang dipercikkan dalam bumbu yang diuleg, tempe yang digoreng, sayur yang diaduk, dan di setiap tahapan memasak.

Kalau kamu adalah sebagian yang merasa tidak bahagia berada di dapur dan merasa memasak bukan duniamu, ya tidak ada salahnya juga kalau kamu mengangkat asisten rumah tangga dengan berbagai alasan. Tapi toh mau kamu punya berpuluh ART kayak selebritis, tetap saja kamu harus sesekali cek ke dapur untuk memastikan semua berjalan sesuai perencanaanmu.

Baca Juga  Melampaui Batas Keadaban

Kasur dan Sumur

Urusan berikutnya yang berhubungan dengan wingking adalah kasur. Kalau yang ini sih di-skip aja. Ya masa untuk urusan ranjang kamu butuh asisten sih. Hehe

Hal berikutnya yang dikaitkan dengan “belakang” adalah sumur. Yang dimaksud adalah aktivitas cuci mencuci seperti cuci piring dan cuci baju. Untuk aktivitas yang ini sepertinya tidak terlalu membuatmu ingin demo berjilid jilid seperti yang kamu rasakan tentang memasak.

Ya bisa dimaklumi karena cuci mencuci zaman sekarang tidak serempong dulu yang harus timba air dulu dari sumur. Di dapur zaman kini sudah dilengkapi set tempat cuci piring. Sambil masak bisa sambil cuci piring. Hal ini mudah saja bagi perempuan yang secara alami memiliki kemampuan multitasking. Bahkan sekarag ada yang punya dish washer.

Untuk urusan cuci baju juga sudah ada mesin cuci. Sambil umbah-umbah bisa sambil maskeran. Maksud saya untuk urusan sumur ini sudah tidak begitu merepotkan karena ada bantuan teknologi. Kamu bisa menggunakan bantuan teknologi yang ditawarkan perkembangan zaman ini untuk membantu meringankan tugas domestik umbah-umbah dan isah-isah.

Pemaknaan kanca wingking yang lebih bersahabat juga dipengaruhi oleh pasanganmu. Maka sebelum menerima pinangannya, pastikan calon pasanganmu punya pandangan yang sama denganmu tentang peranmu sebagai istri. Selain mengubah cara memaknai perempuan sebagai “kanca”-nya “wingking”, ajaklah pasangan untuk memaknai istri sebagai “kanca wingking”-nya. Temannya. Iya teman, kalau katanya Tulus “teman hidup”.

Menjadi Teman Hidup

Teman hidup itu ya bisa di belakang, depan, samping, dan seluru penjuru mata angin. Di belakang, bisa di dapur atau di taman belakang, istri menjadi teman suami ngeteh atau ngopi sambil memandangi aneka bunga dan sayur yang kalian tanam. Atau menjadi kanca wingking-nya menikmati setiap lembar halaman buku sambil mendengarkan rinai hujan.

Baca Juga  Kristen Muhammadiyah: Sekolah di Muhammadiyah Lulus Tetap Kristen

Memaknai ulang ungkapan kanca wingking memang bukan hanya dari sudut pandangmu sebagai istri, tapi juga pandangan suamimu. Bagaimana kalian berdua menyepakati bersama makna kanca wingking agar kamu sebagai istri tidak merasa tertindas, menderita, dan rempong sendiri.

Sebab posisi depan bukan penanda derajat anak tangga lebih tinggi, sebagaimana wingking atau belakang, bukan penanda derajat lebih rendah. Memasak, mengurus anak, atau bersih-bersih itu sama nilainya dengan suami yang bersusah payah mencari nafkah untuk keluarga. Semua sama. Setara.

Perlu dipahami juga kesetaraan tidak melulu berbentuk secara material, melainkan bisa juga dari kesetaraan nilai. Dan itu emansipasi yang sebenar-benarnya bagi perempuan Jawa seperti saya.

Editor: Nabhan

Avatar
1 posts

About author
A lifelong learner
Articles
Related posts
Feature

Kazan, Jejak Kejayaan Islam Tertua di Rusia

3 Mins read
Organisasi Internasional BRICS baru saja melakukan konferensi tingkat tinggi tahunan ke-16 nya pada bulan Oktober lalu. Pertemuan organisasi Internasional ke-16 tahun ini…
Feature

Terinspirasi Mesir, Kaum Mudo Minangkabau Merombak Cara Keberagamaan Lokal

3 Mins read
Pada pertengahan abad 19 M sampai dengan awal abad 20 M, dunia Islam mulai menunjukkan semangat revitalisasi untuk menjadikan Islam lebih modernis….
Feature

Da'i Agama yang Nir Adab

5 Mins read
Geger ucapan nir adab salah satu penceramah memunculkan pertanyaan mendasar, kok bisa seorang yang dianggap mengerti agama kadang bisa bicara kasar, kotor…

1 Comment

  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds