Peradaban Islam di era kontemporer mendapat tantangan dakwah-nya sendiri dari berbagai pihak atas relevansi ajarannya bagi kehidupan kekinian. Umat Islam memiliki kepercayaan bahwa agamanya shahih likulli zaman wa makan. Namun melihat posisi umat Islam yang berada dikaki peradaban dunia mengundang tanda tanya. Apakah kepercayaan umat Islam tidak kompatibel dengan peradaban modern sehingga tidak layak mengaku-aku sebagai rahmat bagi seluruh alam?
Tantangan Dakwah
Umat Islam sebagai bagian dari masyarakat dunia serta khalifah fil ‘ard dalam pandangan agama harus membuktikan diri bahwa ajarannya benar. Kegagalan memberikan kontribusi dan memenangkan kontestasi peradaban akan berdampak buruk bagi umat Islam sendiri. Selain itu, agama Islam berpotensi untuk dijadikan lelucon dan ditinggalkan oleh masyarakat.
Agama Kristen di Barat sudah mengalami keterasingan ditengah masyarakat yang memuja sekularisme. Paham sekular yang tidak sesuai dengan paradigma Islam berpotensi merasuk dalam tubuh umat akibat ketidakcakapannya merespon zaman.
Ulama menjadi garda terdepan memikul tanggung jawab mencerdaskan umat melalui dakwahnya. Mereka dituntut untuk menunjukkan bahwa Islam akan tetap relevan sepanjang zaman. Permasalahannya adalah umat Islam yang awam hanya akan mengikuti bagaimana petunjuk ulama yang dipercaya sebagai ahlinya.
Syaikh Muhammad al-Ghazali memberikan kritik kepada para da’i (penyeru agama) yang tidak mampu membaca secara komprehensif peradaban Islam dan peradaban modern. Kelemahan da’i terhadap warisan intelektual Islam dan seluk-beluk kemodernan akan menyesatkan para awam yang telah mempecayainya sebagai ahli agama (ulama).
Syaikh Muhammad al-Ghazali menilai bahwa para da’i kebanyakan tidak membicarakan materi-materi yang prinsipil. Misalnya membicarakan “apakah orang tua Nabi Muhammad masuk surga ataukah masuk neraka?”. Rasanya tidak etis menyinggung terlalu jauh nasib kedua orang tua Nabi Muhammad, sang manusia agung.
Hal ini sama tidak baiknya saat mempertanyakan ayah teman kita yang jarang shalat dan mengatakan ia berdosa. Bukankah lebih prinsipil saat kita menghargai dan memberi penghormatan kepada orang lain?
Materi Dakwah Khilafiah
Para da’i juga secara berlebihan menyampaikan materi secara ketat yang dapat menimbulkan perpecahan ditengah umat yang awam. Padahal materi dakwah tersebut berada dalam masalah khilafiah. Perpecahan sebenarnya tidak disebabkan oleh khilafiah atau perbedaan pendapat fikih. Tetapi cenderung disebabkan oleh kegagalan melihat persoalan sebagai khilafiah dalam khazanah pemikiran Islam.
Urusan khilafiah yang sering menjadi titik tekan dakwah serta meninggalkan ajaran prinsipil Islam hanya melenakan umat Islam. Padahal peradaban dunia membutuhkan kontestasi dan kontribusi Islam sehingga tidak salah jalan.
Seringkali dijumpai perpecahan umat Islam diakibatkan oleh cara berfikir yang kaku memandang khilafiah dalam fikih. Cara berfikir yang kaku adalah buah dari kedangkalan ilmu. Perdebatan khilafiah yang muncul dipermukaan umat Islam sebagian besar telah diperbincangkan oleh ulama tempo dulu. Inilah tantangan dakwah Islam era ini.
Oleh karena itu, penting sekali para da’i mempelajari turats (warisan khazanah intelektual Islam) yang menyuguhkan perbedaan pendapat dikalangan ulama, misalnya kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd. Harapannya, da’i mampu mengajarkan dan menyuguhkan hidangan yang bergizi kepada umat sekaligus memerdekakan mereka dari belenggu taklid.
Potensi Munculnya Gerakan Takfiri
Da’i yang gagal memberikan perspektif terhadap khilafiah berpotensi memunculkan gerakan takfiri. Persoalan status kekafiran seseorang terlalu besar jika diperbandingkan dengan perbuatan yang masuk kategori khilafiah.
Abu Hanifah, seorang ulama besar yang merupakan murid dari sahabat Malik bin Anas ra., dalam kitab al-Fiqh al-Akbar pernah melarang mengkafirkan seseorang sekalipun ia melakukan dosa besar. Seseoang tidak boleh disebut kafir selama ia tidak menganggap bahwa perbuatan dosa halal untuk dilakukan.
Selain itu, munculnya gerakan takfiri cenderung menyita waktu dan tenaga umat Islam untuk melakukan amal saleh. Berbagai persoalan seperti kemiskinan, pendidikan dan penindasan lebih penting supaya segera mendapatkan solusi dibandingkan dengan debat kusir serta saling ejek.
Memperbaiki Peradaban
Memperdebatkan ulang persoalan yang sebenarnya bisa dipandang selesai, hanya menghabiskan tenaga umat Islam ketika harus berhadapan dengan peradaban modern. Padahal, saat ini penantang paling serius umat Islam adalah destruksi peradaban modern.
Perbaikan peradaban Islam saat ini dapat dimulai dari da’i dan materi dakwahnya yang harus mencerdaskan umat. Bukan malah menggiring umat kedalam pusaran perdebatan khilafiah yang telah diperbincangkan dalam warisan khazanah pemikiran Islam.
Pengulangan yang berlebihan terhadap perdebatan khilafiah tidak menunjukkan relevansi ajaran Islam bagi problematika kekinian. Sebab umat yang miskin akan tetap kelaparan, umat yang terlanjur sekular akan tetap pesimis pada kemampuan agama menyelesaikan masalah kemodernan. Ujungnya, Islam yang shahih likulli zaman wa makan dan rahmatan lil ‘alamin akan dipandang sebagai lelucon.
Kita memerlukan da’i dan dakwah yang mencerahkan umat Islam dari selubung kegelapan. Tenaga umat harus terarah pada pembangunan peradaban dunia yang lebih maju berdasarkan pandangan Islam.
Editor: Nirwansyah/Nabhan