RUU KPK yang disetujui DPR dan kemudian direstui Jokowi ini sebenarnya mengisyaratkan bahwasanya dalam urusan kepentingan yang menyangkut dirinya, para elit politik telah sama-sama bersepakat bernegosiasi untuk bersekutu. Meskipun memiliki tujuannya masing-masing.
DPR menginginkan agar KPK tidak memiliki otoritas penuh penuh dalam perkara penangkapan korupsi. Sebagaimana telah dilakukan oleh institusi negara yang tumbuh seiring dengan reformasi di Indonesia. Sementara itu, bagi Jokowi, negosiasi dan kesepakatan ini tentu saja memudahkan agenda-agenda pembangunan yang selama ini sedang digencarkan. Ini karena, kekuatan kritik terbesar tentu saja dari DPR.
Sebelumnya, dalam konteks Pilpres dan pemilihan elektoral, mereka berseberangan. Dampaknya yaitu perpecahan di level akar rumput masyarakat.
Dalam konteks ini, tidak perlu dipertanyakan dua motif di atas sehingga dua kekuatan besar tersebut menginginkan stabilitas politik. Yang perlu dipertanyakan adalah mengapa dukungan terhadap KPK tidak sebesar dahulu? Untuk menjawab pertanyaannya, melihat struktur sosial yang terjadi di masyarakat dalam kaitannya dengan politik elektoral sangat penting.
Meskipun para elit politik sudah bersekutu dengan tujuannya masing-masing, masyarakat Indonesia masih terjebak dalam polarisasi Pilpres sebelumnya. Mengkritik dan menentang revisi KPK seolah-olah mengkritik Jokowi yang memberikan ruang kepada “oposisi”. Khususnya pendukung anti-Jokowi amunisi tambahan. Kritik ini, dengan kata lain akan berbalik kepada dirinya dan atas apa yang didukung. Di sini, tidak mengkritik Jokowi melalui RUU KPK merupakan pilihan etis karena sebelumnya telah memilihnya.
Anomali Pembelaan Terhadap KPK
Ironisnya, kondisi ini makin diartikulasikan secara luas dan dipertegas oleh para buzzer di media sosial, khususnya pro-Jokowi. Yang paling jelas, misalnya, apa yang dilakukan oleh Deni Siregar. Di mana, Ia membawa setiap isu yang mengkritik kebijakan Jokowi dengan kacamata polarisasi Pilpres melalui akun twitternya.
Kondisi ini didukung oleh diamnya para aktivis, intelektual publik, dan para sarjana, di mana sebelumnya sangat lantang untuk membela Jokowi dalam Pilpres 2019. Struktur sosial semacam ini kemudian diamini oleh warganet yang mendukung Jokowi, di mana mereka, menurut amatan saya, tidak berbicara apapun terkait dengan proses pelemahan KPK.
Akibatnya, saat ada orang yang mengritik secara lantang, masuk dalam kategori perdebatan dan polarisasi Pilpres tersebut. Akibatnya, ruang kritik kepada para elit politik, termasuk Jokowi sebagai presiden, mendapatkan imunitas dalam struktur itu.
Baca juga: Pelarangan Ideologi Khilafah dan Gagalnya Deradikalisasi
Di sini, membayangkan membela KPK seperti tahun-tahun sebelumnya karena upaya pengkerdilan, semakin sulit. Apalagi menggerakkan orang untuk turun ke jalan karena inisiatif membela kebajikan, seperti tahun-tahun sebelumnya.
Kondisi ini diperparah dengan Ahok Effect, di mana para elit politik sangat berhati-hati dengan isu sensitif agama. Tetapi di luar itu memungkinkan untuk melakukan tindakan sewenang-wenang dengan melakukan kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat.
Apalagi itu tidak ada urusannya dengan sentimen agama. Tidak adanya suara-suara ulama, kiai, dan ustadz yang lantang mengkritik terhadap RUU KPK makin memperkuat asumsi tersebut.
Reaksi Akademisi dan Stigma terhadap KPK
Memang, pelbagai kampus di Indonesia melakukan aksi protes terhadap proses tindakan amputasi KPK ini. Begitu juga dengan sivitas peneliti LIPI yang menyatakan keberatannya. Namun, tanpa adanya intervensi yang massif dengan melakukan mobilisasi turun ke jalan untuk menyatakan dukungannya kepada KPK dengan solidaritas kebersamaan seperti sebelumnya, membuat tindakan protes-protes ini mudah diabaikan begitu saja.
Kondisi ini diperparah dengan bungkamnya sejumlah para aktivis dan akademisi yang masuk dalam lingkaran elit politik. Yang membuat munculnya meme beredar di media sosial untuk melakukan kritik kepada mereka.
Memang, KPK bukan satu-satunya institusi negara yang lahir dari produk reformasi di Indonesia. Ada banyak institusi negara untuk memperkuat demokrasi di Indonesia yang lahir dari elan tersebut. Namun, kerja-kerja KPK selama inilah setidaknya yang membuat masyarakat tersenyum dan berdecik bangga. Tatkala ada elit politik yang mencuri uang rakyat untuk kepentingan pribadi.
Dengan kata lain, KPK adalan institusi yang membuat pengandaian di mata masyarakat menjadi tidak berlaku, bahwasanya “hukum itu tidak tidak hanya “tajam ke bawah dan tumpul ke atas”. Karena itu, proses pengkebirian otoritas KPK ini sebenarnya justru menghapuskan pengandaian dan memperkuat bahwasanya atas nama rakyat, elit politik memungkinkan seenaknya bisa mencuri uang mereka. Tanpa adanya kontrol dari institusi kebenaran yang membungkam mereka.
Ya, pengkebirian KPK ini tidak membuat demokrasi Indonesia mati. Demokrasi Indonesia akan terus-menerus berjalan sesuai dengan konteks sosial dan politik yang melingkupinya. Setidaknya, perihal ini membuat kita sadar betapa mematikan rasa batin terhadap kebenaran itu jauh lebih mudah. Yang memungkinkan membuat orang jadi bebal di tengah persekutuan elit politik, yang membuat sebagian besar masyarakat sebenarnya tidak mendapatkan apa-apa.
Namun, saat para elit melakukan korupsi terhadap uang rakyat yang seharusnya bisa “diungkapkan” oleh KPK, kita sebenarnya telah melakukan dosa berjamaah; mendiamkan tindakan zolim secara terstruktur sedang berjalan dengan dalih karena telah memilih pemimpin tersebut sebelumnya.