Polemik tentang perbedaan “fikih Muhammadiyah” kitab fikih karya Kiai Dahlan sebenarnya bukan hal penting lagi untuk dibicarakan. Akan tetapi, bagi sebagian aktivis Muhammadiyah di akar rumput masih menimbulkan gejolak. Lebih-lebih, jika ini digunakan oleh sebagian oknum untuk menyerang Muhammadiyah dengan dalih bahwa Muhammadiyah hari ini sudah melenceng dari ajaran KHA Ahmad Dahlan.
Hal ini sejak diterbitkannya sebuah buku Muhammadiyah itu NU! Dokumen Fikih yang Terlupakan karya Mochammad Ali Sodiqin, hingga kini masih beredar di pasaran. Buku ini menjelaskan perubahan Fikih Muhammadiyah dari masa ke masa. Sering sekali saya mendapat pesan yang mempertanyakan hal ini, sehingga saya merasa harus menuliskan tema ini.
Hal yang menjadi polemik dalam buku tersebut adalah pada bab IV yang membicarakan tentang Kitab Fikih Muhammadiyah 1924. Dalam tersebut merujuk pada buku Kitab Fiqh Jilid Telu (Kitab Fikih Muhammadiyah Jilid III), yang dikarang dan diterbitkan oleh Muhammadiyyah Bagian Taman Pustaka Djokjakarta, tahun 1343 Hijriyyah/1924 Miladiyah. Bahkan, menurut keterangan Mu’arif kitab tersebut dikeluarkan secara resmi oleh Muhammadiyah bagian Tabligh.
Dalam kitab tersebut memang fikih Muhammadiyah sama dengan fikih NU. Misalnya, dalam bab wacan shalat lan ma’nane, hal. 25. Bacaan iftitah Muhammadiyah adalah Kabiraa walhamdulilahi katsiro, bukan Allahumma baa’id. hal. 26, Al-Fatihah-nya juga melafalkan Basmallah secara jahr. hal. 29 shalawat dalam tahiyat akhir juga menggunakan Sayyidina. Termasuk ketika menunaikan shalat Subuh juga menggunakan qunut.
Banyak respons terhadap realitas tersebut, tetapi kurang subtantif. Misalnya, penemuan kitab itu tidak benar, harus dicek kebenarannya. Ada juga yang berpendapat Muhammadiyah bukan “Dahlaniyah” (pengikut KHA Dahlan) untuk menjelaskan perubahan Fikih Muhammadiyah. Menurut hemat penulis, ber-Muhammadiyah itu “Dahlaniyah” sebagaimana ber-Islam itu Muhammadiyah (pengikut Muhammad SAW).
Pertanyaannya, apakah mengikuti Rasulullah Muhammad SAW harus “makan tiga jari”, “berpakaian pakai gamis atau celana cingkrang”, bahkan poligami lebih dari empat, misalnya? Tentu tidak. Karena itu bukan inti dari ajaran Islam. Di sinilah pentingnya memahami konsep al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah (merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah) dengan semangat Islam berkemajuan. Muhammadiyah memang merujuk pada teks (al-Qur’an dan Sunnah), tetapi juga memperhatikan konteks, kemudian melakukan kontekstualisasi sesuai perkembangan zaman.
Begitupun mengikuti Kiai Dahlan, harus memperhatikan bagaimana konteks masa lalu dan masa kini. Akan tetapi, di sini yang perlu dipahami dan diikuti adalah gagasan dasar pembaruan Kiai Dahlan. Bukan praktik pembaruan Kiai Dahlan. Karena identitas Muhammadiyah adalah reformis dan pembaruan Islam, maka para pengikutnya dapat menangkap pesan pembaruan Kiai Dahlan. Muhammadiyah bukan menjadi gerakan “Peniruan” (meniru amaliyah Kiai Dahlan), melainkan gerakan pembaruan (tajdid dan ijtihad).
Maka wajar segala bentuk amaliyah Muhammadiyah akan senantiasa berubah, sesuai dengan perkembangan zaman, termasuk dalam persoalan fikih. Di sinilah pentingnya memahami “Agama” dan “Pemahaman Agama”. Agama itu tetap, sedangkan “pemahaman agama” berubah dengan dinamika zaman.
Pertanyaannya sekarang, apa bisa disebut bahwa “Muhammadiyah itu NU” sebagaimana buku yang ditulis Shodiqin? Jawabannya jelas “tidak”. Mengapa demikian? Itu namanya “digebyah uyah” dan “tidak mendasar”.
Dalam istilah filsafat ilmu-ilmu keislaman, Shodiqin terjebak pada applied science (ilmu aplikasi), bukan fundamental science (ilmu fondasi). Hakikat Muhammadiyah berbeda dengan hakikat NU, tetapi dalam hal tertentu praktik amaliyah NU bisa jadi sama dengan Muhammadiyah. Hakikat Muhammadiyah dan hakikat NU tidak bisa berubah, sedangkan Fikih Muhammadiyah dan Fikih NU “akan terus berubah”.
Di mana letak istimewanya dan apa masalahnya jika fikih Muhammadiyah di masa awal sama dengan fikih NU? Tentu itu hal yang sangat wajar. Dalam fikih telah diterima asas kebolehan terjadinya perubahan hukum. Bahkan, ini telah dirumuskan dalam kaidah fikih dan diterima oleh para fukaha, yaitu kaidah, “tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman, tempat dan keadaan.”
Jika pada perjalanan sejarah berubah, maka itu adalah efek dari etos tajdid Muhammadiyah yang bermakna dua, yaitu pemurnian dan pembaruan.
Pada intinya kesamaan fikih, tidak bisa dijadikan alasan menyamakan ideologi atau paham keagamaan dua organisasi ini. Muhammadiyah “Islam Berkemajuan” menggelorakan semangat tajdid (perubahan), sedangkan NU “Islam Nusantara” menjaga tradisi yang sudah mapan.
Sejatinya, penemuan kitab fikih Muhammadiyah tersebut “hal yang biasa.” Gerakan Muhammadiyah pada waktu itu memang bukan gerakan fikih. Muhammadiyah adalah gerakan pelayan sosial kemanusiaan dan etos pembangunan peradaban, sehingga yang ditempuh adalah dunia feeding (panti asuhan), healing (rumah sakit), dan schooling (sekolah).
Kerja-kerja peradaban Muhammadiyah digerakkan oleh teologi al-Maun dan teologi al-‘Ashr oleh KH Ahmad Dahlan. Al-Ma’un mengerakkan pemihakan kaum lemah dan etos kemanusiaan, sedangkan al-‘Ashr mengajarkan tentang kualitas amal. Keduanya mengajarkan tentang amal shaleh. Dengan kata lain, sejatinya hakikat gerakan Muhammadiyah adalah gerakan amal shaleh untuk kemanusiaan dan peradaban.
Hal yang wajar jika pemahaman agamanya masih mengikuti mainstream paham kesilaman pada umumnya masyarakat Islam di Nusantara. Jadi, dari segi fikih, pada masa awal Muhammadiyah harus diakui masih tradisionalis. Karena memang masa awal tidak atau belum menyentuh fikih.
Pendeknya, ilmu fikih Muhammadiyah belum berkembang seperti saat ini dan memang tidak/belum menjadi perhatian Muhammadiyah. Sekali lagi, kesamaannya dengan fikih NU, bukan berarti Muhammadiyah itu NU. Yang membedakan keduanya adalah teologi, etos, dan ideologi yang menggerakkan kedua organisasi ini.
Editor: Arif