Tajdida

Mengapa Kita Muslim, Mereka Bukan?

3 Mins read

Mereka Katolik, yang lain Protestan, yang lain lagi Hindu, dan macam-macam lagi – di Indonesia, di dunia saat ini.

Hampir tidak pernah kita bertanya dan merenung mengapa saya Muslim, mengapa Anda Muslim, mengapa teman kita, bukan Muslim. Banyak studi menjelaskan mengapa sebagian besar manusia di dunia dulu dan sekarang beragama. Tapi belum banyak studi mengkaji mengapa manusia beragama berbeda-beda, dulu dan sekarang.

Contoh saja: saya dan teman-teman saya. Saya Muslim, lahir dari keluarga Muslim, yang bernenek moyang juga Muslim, meskipun tentu, kami yang hidup di nusantara, leluhur kami pasti bukan Muslim, kalau tidak Hindu, Buddha, atau penganut agama lokal, atau lain-lain.

Artinya, saya Muslim karena keturunan. Lalu saya diberikan pendidikan secara Islam, di rumah, pesantren, madrasah, bahkan sampai perguruan tinggi. Tapi teman saya, dia Protestan, asalnya dari Medan. Teman lain dari Papua. Lahir dari orang tua Protestan. Lingkungan masyarakatnya juga. Lalu menjadi Protestan.

Teman saya yang lain, Hindu, karena dia lahir di Bali. Orang tuanya Hindu. Teman saya lagi orang Thailand, dia penganut Buddha, karena lahir dari keluarga dan lingkungannya juga Buddha. Tetangga saya di depan, Hindu karena dia berasal dari India. Saya tidak memilih dimana saya lahir. Mereka tidak memilih dimana mereka lahir.

Saat ini 1,7 milyar mengaku Muslim (23 %), 2,3 milyar mengaku Kristen (31.4 %), tidak beragama tertentu 16.%, Hindu, 15 %, Buddha 7.1 %, dan seterusnya. Umat beragama ini tersebar di seluruh dunia, tapi kita Muslim, Kristen, Hindu, Yahudi, zaman ini, bukan karena pilihan setelah dewasa, tapi lebih karena orang tua dan lingkungan kita. Mereka yang tidak beridentitas agama tertentu lebih banyak karena pilihan mereka meskipun mereka lahir dari keluarga dengan agama tertentu.

Baca Juga  Semangat Al-Maun Era Society 5.0

Saya kenal banyak orang yang pindah agama atau meninggalkan agama, juga karena faktor lingkungan dan pengalaman hidup. Ada faktor sejarah dan budaya mengapa kita beragama, dan mengapa kita beragama tertentu Islam, atau Kristen, atau lainnya. Jika saya lahir di Betawi dan Banten sejak abad ke-14 ke atas, kemungkinan saya akan menjadi Muslim. Jika Anda lahir di tempat dimana Kristen datang dan berkembang, maka kemungkinan besar Anda Kristen.

Sejarah Hindu-Buddha ke Nusantara sejak awal abad-1 Masehi, sejarah Islam sejak abad ke-14 (jika merujuk bukti historis dan arkeologis), sejarah agama Kristen sejak abad ke-16 dan seterusnya.

Lalu artinya apa? Kita bisa tetap dan bahkan makin beragama, dengan kesadaran dan wawasan bahwa keberagamaan kita juga adalah kelanjutan dari agama orang tua dan lingkungan kita, karena kita belajar, bergaul, dan mengkondisikan dan dikondisikan diri kita dengan agama tertentu, bukan agama lainnya.

Apa yang kita yakini benar, sebagiannya karena kita menerima dari orang tua, bimbingan, pendidikan, bacaan, ceramah, pergaulan, dan lingkungan kita, masa lalu kita, dan hasil dakwah dan misi para pendahulu dan leluhur kita yang sebagian besarnya kita tidak kenal. Agama-agama seperti Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Buddha, Konghucu, lahir dari tempat yang berbeda dan sejak berabad-abad lalu. Dan kita yang hidup di Nusantara, pada awalnya menerima agama-agama dari para pendatang yang mendahului kita.

Kita semua, manusia berakal budi, berbudaya, dan ada dalam sejarah ruang dan waktu. Agama adalah bagian dari proses itu, terlepas dari keyakinan kita bahwa keislaman, atau kekristenan, atau kehinduan kita, terjadi hanya karena Tuhan saja, yang memilih kita, dan bukan orang lain. Kita belajar agama setelah kita beragama. Kita jarang diberi pilihan lebih dari satu.

Baca Juga  Indonesia: Sabuk Permata Hijau di Sekeliling Khatulistiwa

Kesadaran historis dan kultural ini membuat kita rendah hati dan memahami perbedaan dan keragaman. Tidak ada alasan untuk membenci orang lain yang berbeda agama dengan kita, apalagi hanya aliran keagamaan dalam agama yang sama (yang justru lebih banyak menyita energi umat beragama saat ini). Juga apalagi antara NU, Muhammadiyah, NUMU, atau bukan. Juga antara Kristen ortodoks, protestan atau katolik, dan juga antara Buddha Teravada, Mahayana, atau Tantra.

Awal dari semua itu karena tempat dan lingkungan yang berbeda. Jika Anda lahir di Iran, kemungkinan besar Anda akan menjadi Syiah. Jika Anda lahir di Madura, kemungkinan besar Anda NU. Jika Anda dari Padang, kebanyakan Anda terkondisikan menjadi Muhammadiyah. Jika Anda lahir di Indonesia, atau Asia Tenggara, kemungkinan besar Anda menjadi Sunni. Jika Anda lahir di Malaysia dari orang tua Melayu Anda akan Muslim, dan masuk Melayu berarti menjadi Muslim. Jika Anda lahir di Amerika saat ini, Anda tidak tahu apakah Anda Sunni atau Syiah. Dan pasti bukan Muhammadiyah atau NU, kecuali karena Anda Muslim dari Indonesia.

Tidak ada dasar bagi kita untuk memusuhi orang hanya karena mereka berbeda cara beragama atau berbeda cara memahami tuhan, hakikat manusia, alam, dan kehidupan.
Kita beragama, merujuk sejarah, teks, para ahli yang kita percaya, menggali inspirasi dari sumber-sumber itu, bagi langkah kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat.

Pada saat yang lain, begitu banyak orang lain yang juga merujuk sejarah, teks, para ahli, dan menggali inspirasi dari tradisi mereka, bagi kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, seperti yang mereka yakini dan pahami. Dan banyak lagi manusia yang mengikuti akal-budi mereka tanpa merujuk teks dan otoritas keagamaan tertentu dan mereka tetap merasa nyaman dan bahagia.

Baca Juga  Dakwah Muhammadiyah 4.0: Cara Konvensional dan Kultural Harus Seimbang

Pada saat yang bersamaan, dalam perbedaan-perbedaan itu, dan misteri kehidupan, ada satu hal yang sama: setiap kita adalah manusia. Dan dalam kemanusiaan inilah kita saling mengenal dan bekerja sama. Karena banyak sekali masalah itu mengena kita tanpa mengenal agama kita apa dan dari mana kita berasal.

Wabah Virus Corona ini salah satu bukti nyata. Lingkungan hidup yang rusak juga bukti lainnya. Belum lagi ketimpangan sosial ekonomi, kekerasan rumah tangga, pembunuhan, korupsi, dan kejahatan-kejahatan kemanusiaan lainnya.

Dengan keluarga, atau komunitas sosial kita, ormas kita, jaringan kita, kita beragama dengan lapang dada, tanpa sesak dada memusuhi identitas agama dan aliran lain, tanpa sempit pikir menyesat-nyesatkan orang yang memahami dan mendekati Yang Maha dan Alam Semesta, dengan cara mereka. Karena ketika kita memusuhi orang lain karena mereka berbeda, kita sedang mengizinkan mereka untuk memusuhi kita dan agama kita karena alasan yang sama

15 posts

About author
Associate Professor, Jurusan Kajian Agama, Direktur Program Studi Timur Tengah dan Islam, University of California, Riverside.
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds