Mengapa orang antipati terhadap demonstrasi, sementara itu menjadi cara agar suaranya didengarkan? Antipati itu semakin diakumulasikan lebih luas ketika yang demonstrasi itu terjadi rusuh yang mengakibatkan kerusakan fasilitas publik.
Kerusakan fasilitas publik kemudian menjadi stigma bahwasanya yang melakukan demonstrasi justru telah merugikan publik yang lebih luas. Padahal, ini yang menarik, ia sendiri tidak berada pada lokasi di mana demonstrasi tersebut terjadi, tetapi kemudian memaki kepada mereka yang demonstrasi yang kemudian berakhir rusuh. Di sini, antipati terhadap demonstrasi sebenarnya jauh lebih tertanam dahulu ketimbang menempatkan posisi netral untuk melihat itu menjadi bagian dari proses demokrasi yang harus diterima.
Lima Alasan Orang Antipati Terhadap Demonstrasi
Saya melihat ada lima alasan mengapa kemudian orang antipati terhadap aksi demonstrasi. Pertama, tipikal senioritas. Ini tipikal orang yang sudah mapan dalam dunia kerja yang dahulu pernah merasakan sebagai mahasiswa atau mahasiswi yang juga pernah turut ke jalan.
Yang muncul dalam logika tipikal ini biasanya adalah romantisme dan sangat patronizing. Saya sebut romantisme karena ia selalu menggunakan kata “waktu saya dulu” yang kemudian disertai menyalahkan orang yang melakukan demonstrasi.
Ketika terjadi perusakan fasilitas publik, tipikal semacam ini makin menguatkan posisinya dirinya dan menyalahkan orang yang melakukan demonstrasi tersebut. Tanpa sadar, tipikal orang semacam in sebenarnya telah menunjukkan dirinya sudah tua. Sikap tersebut menunjukkan ketidakmampuan dirinya seperti anak-anak muda yang sedang membawa perubahan. Sementara itu, ia bercermin dalam cermin retak seolah-olah dirinya memang masih muda.
Kedua, tipikal yang berusaha netral, tapi kemudian marah ketika terjadi perusakan. Tipikal semacam ini biasanya memang ikut aktivitas kampus tapi memang jarang atau tidak pernah turun ke jalan. Akibatnya, ketika ada yang melakukan demonstrasi di mana awalnya berusaha untuk netral, lalu biasanya menyalahkan orang-orang yang melakukan demonstrasi. Alasannya tentu saja, perusakan fasilitas publik, apapun alasannya adalah salah.
Sementara itu, realitas di lapangan ia tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dalam setiap demonstrasi, provokator dari luar biasanya memang selalu ada untuk menyulut demonstrasi lebih destruktif. Di satu sisi, barisan muda yang menjaga demonstrasi dari pihak kepolisian, harus diakui juga seringkali tidak sabaran untuk menenangkan kerumunan demonstrasi. Dua tautan ini yang seringkali tidak bisa dilihat hanya dengan membaca berita atau lini masa media sosial.
***
Ketiga, termakan omongan buzzers yang masih menganggap ini masih seperti Pilpres 2019. Jika diamati, orang-orang yang tidak setuju terhadap demonstrasi ini, suaranya kebanyakan memiliki nada yang sama dengan buzzers-buzzers politik. Alurnya semacam ini. Ketika ada buzzers politik yang berusaha membelokkan narasi di Twitter, lalu kemudian content itu digunakan di Facebook dan kemudian Instagram.
Ungkapan “apakah sudah membaca” ini persis memiliki reproduksi dari buzzers yang kemudian diamplifikasi oleh followers-nya. Hal yang sama dengan ucapan, “Kalau memang UU Cipta Kerja ini untuk pengusaha, mengapa tidak jadi pengusaha juga?”. Tipikal ini biasanya selalu meneguhkan diri bahwasanya pendapatnya yang benar sambil kemudian menyeleksi informasi yang cocok untuk dirinya untuk menyalahi secara keras orang yang melakukan demonstrasi.
Keempat, orang yang selalu menggelorakan anak-anak muda harus tampil dan bersuara, tapi sunyi ketika ada protes publik. Saya melihat tidak sedikit anak-anak muda yang berusaha untuk berdaya tapi dengan tipikal ala-ala oligarki milenial. Orang seperti ini selalu membedakan dirinya dengan orangtua dan menganggap dirinya membawa perubahan.
Tentu saja, kondisi ini merupakan hal yang positif dan bisa diajak kerjasama untuk program-program kementerian ataupun partai politik. Namun, orang-orang semacam ini akan diam ketika berurusan dengan ketidakadilan. Saat mahasiswa dan mahasiswi turun ke jalan untuk menyuarakan keadilan, orang-orang semacam ini diam seribu bahasa, seolah-olah tidak terjadi apa-apa di Indonesia. Mengapa? ya mereka sedang main aman.
***
Kelima, orang-orang muda yang punya doktrin; kuliah, pacaran, dapat pekerjaan dengan gaji tinggi di korporasi, lalu cari cara bagaimana terus mengakumulasi kapital untuk mensejahterakan dirinya. Tipikal seperti ini tidak sedikit. Mereka biasanya berasal dari kelas menengah dan atas. Kehidupannya disibukkan dengan ketiga hal tersebut.
Ketika ada yang melakukan demonstrasi, tipikal semacam ini biasanya memiliki kesadaran naif bahwasanya orang-orang yang melakukan demonstrasi itu adalah yang tidak punya masa depan, bodoh, dan menghabis-habiskan waktu saja, padahal usianya masih muda.
***
Kalau kamu masuk di antara kelima tipikal yang saya petakan di atas, maka berterima kasihlah kepada teman-teman yang turun ke jalan dan melakukan suara kritik terus-menerus di media sosial. Melalui tindakan mereka inilah, mau tidak mau, elit politik akan terus bercermin setiap kebijakan yang dibikin.
Jika suara protes itu berhasil, kamu juga beruntung karena tidak mendapatkan resiko apa-apa, syukur-syukur mendapatkan kesejahteraan secara tidak langsung. Ingatkan tentang protes buruh terkait dengan jam kerja yang manusiawi? itu dari keringat mereka yang protes dijalanan. Karena itu, jika suara mereka tidak berhasil dan kemudian berakhir destruktif, toh kamu punya senjata untuk memaki-maki mereka di media sosial.