Insight

Mengapa Pecel Lele Merajalela?

5 Mins read

Ia bernama Muhammad Bastomi. Setelah lulus Madrasah Muallimin Muhammadiyah, Yogyakarta, pada tahun 1999, saya tidak pernah bertemu dengannya. Menurut kabar seorang teman alumni, ia menetap di Mataram, Nusa Tenggara Barat, ikut pamannya yang berjualan Pecel Lele.

Kabar ini sayup-sayup saya dengar. Ingatan saya tentangnya makin memudar seiring dengan kesibukan saya. Sesekali, namanya terdengar saat saya bertemu dengan teman alumni. Terbersit dalam pikiran saya, “untuk apa sih ia jauh-jauh merantau ke Mataram, sementara banyak dari orang luar pulau Jawa datang untuk mencari penghidupan di Jawa, khususnya di Jakarta”. Tapi, pikiran itu segera saya hilangkan. Saya berpikir positif bahwa merantau itu bisa di mana saja.

Pecel Lele di Mataram

Kini, setelah 14 tahun, saya memiliki kesempatan bertemu dengannya. Pada 21 Januari 2014, selepas salat Isya, saya dan Lalu Junaedi Rahman berangkat menuju tempat Bastomi berjualan, terletak di Jalan Panca Usaha, sekitar 30 meter dari Hotel Mataram Raya. Sesampainya di sana, saya memeluknya dan bersalaman.

Saya perhatikan dengan seksama. Ia tidak berubah, masih sama seperti dahulu dengan senyum khas, sikap rendah hati, dan bersahabat. Ia masih memiliki tinggi  sekitar 165 sentimenter, berkulit sawo matong. Namun di usia yang matang, 33 tahun, waktu telah mengubahnya menjadi orang yang berbadan gempal dengan perut yang agak maju dengan guratan wajah yang menandakan perjalanan hidupnya sebagai orang yang tekun dan pekerja keras.

Malam itu hujan terus menerus sejak siang hari. Cuaca buruk itu tidak dapat mengganggu keakraban kami bertiga dalam mengenang masa di Madrasah, menceritakan profesi kami masing-masing, dan berbagi kisah seputar kabar teman-teman seangkatan. Sambil ngobrol dengan saya dan Lalu, ia sesekali melayani pembeli, mulai dari memasak, memotong lalapan, dan mengembalikan uang kembalian.

“Maaf yo, aku sambi, soale ora ono sing bantu. Soale karyawan dua orang pada pulang kampung ijin libur Maulid”, katanya menjelaskan. Saya memaklumi itu. Ia menambahkan, “Nek Maulid neng kene koyo lebaran, bahkan melebihi lebaran, biasanya malah sebulan”. Tampaknya, ketidakhadiran karyawannya itu benar-benar membuatnya sibuk.

Ditemani dengan segelas jeruk panas, Bastomi bercerita perihal dirinya mengapa bisa sampai di Mataram. Menurut penuturannya, ia datang ke Mataram pada tahun 1999 diajak oleh Marzuki Ismail, pamannya, membantu berjualan Pecel Lele. Ismail ini mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), pernah kerja di Malaysia. Bekerja di negeri orang dengan gaji dan kehidupan yang tidak terlalu mensejahterakan membuatnya kembali ke Lamongan.

Baca Juga  Khilafah Ekologis: Etika Memperlakukan Alam

Ia kemudian nekat berencana berjualan Pecel Lele di Mataram. Awalnya, keinginan tersebut banyak diejek oleh para tetangganya di Lamongan yang sudah berjualan lama di Bali. Menurut para tetangganya, Mataram adalah tempat asing, jauh dari keramaian, dan kota tersebut tidak cukup menggeliat secara ekonomi.

Anggapan tetangganya ternyata salah. Mataram adalah kota yang cukup hidup meski tidak seramai Bali. Dengan membuka lapak Pecel Lele di pinggir jalan pada tahun 1997, menggunakan lahan parkiran di depan gedung perkantoran, itu ternyata membuat daya tarik tersendiri bagian sebagian besar masyarakat kota Mataram.

Dalam waktu seminggu, Ismail sudah memiliki langganan. Dengan membuka sebelum Magrib, warungnya selalu ramai dikunjungi orang. Ismail ini sebagai orang pertama yang berani berjualan warung di pinggir jalan. Ia melawan arus kebanyakan tradisi warung makan di Mataram yang memiliki tempat permanen. Namun, Ismail bukanlah orang yang serakah, memonopoli Pecel Lele untuk pundi ekonomi keluarganya. Ia mengajak sanak keluarga untuk juga berjualan di Mataram.

Dari sini, enam orang sanak keluarganya datang dan mereka kemudian berjualan Pecel Lele di sekitaran kota Mataram. Ada juga dari saudaranya yang berjualan Pecel Lele di Bima. Bahkan, ada tetangganya yang sudah mapan berjualan di Bali pindah ke Mataram mendengar kisah sukses Ismail ini.

Kumpulnya anggota keluarga Ismail dan Bastomi di Mataram tidak hanya memperkokoh ikatan persaudaraan mereka, melainkan solidaritas bisnis yang mereka jalani. Apabila ada saudara yang kekurangan nasi, maka saudara yang berjualan di jalan lain di Mataram akan segera mengirimkannya. Sebaliknya, apabila ada yang kekurangan ayam, maka akan dikirim ayam dari saudara yang lainnya. Mereka juga sudah berjejaring dengan pemasuk bahan mentah yang siap sedia bila ditelepon atau disms.

Banyaknya minat anggota masyarakat untuk makan Pecel Lele, membuat orang meniru. Sejak tahun 2000 hingga kini, di setiap sudut kota Mataram dan tengah kota, di depan gedung-gedung perkantoran, menjelang senja hingga tengah malam terdapat warung-warung tenda dengan terpal yang didirikan seadanya, ada yang berjualan Pecel Lele ataupun lauk lainnya.

Baca Juga  Ibu Kota Baru dan Pentingnya Memahami Geopolitik

Di sini, selain menyesuaikan dengan lidah orang Mataram dengan membuat sambalnya begitu pedas, lalapan daun kemangi, dan potongan timun, adalah dua hal yang menambah daya tarik orang untuk datang mencicipi Pecel Lele. Lalapan ini yang kemudian jadi tren di warung-warung makan di Lombok. Maksud tren di sini adalah bahwa lalapan menjadi keharusan untuk disediakan penyedia warung makan saat menyajikan ayam taliwang, pecel lele, ikan bakar, dan lauk pauk lainnya.

Bagi Bastomi awalnya ia sekadar ingin membantu pamannya. Di sela itu, ia berencana untuk masuk anggota kepolisian. Karena kesibukannya, ia menunda terus niatan itu. Selepas satu tahun membantu sang paman, ia berani untuk berjualan Pecel Lele sendiri.

Setelah 1 tahun bisa bertahan, ia mendaftarkan diri di UMPTN di Universitas Mataram. Diterima sebagai mahasiswa Hukum di Universitas negeri tersebut membuatnya ekstra keras membagi waktu, menyiapkan bahan-bahan untuk Pecel Lele di subuh hari, kuliah di pagi-siang hari dan berjualan Pecel Lele di malam harinya. Proses ini yang dijalani setiap harinya sampai bertahun-tahun.

Tak ada usaha yang sia-sia asalkan dijalani dengan ketekunan, komitmen, dan konsentrasi yang tinggi. Kerja kerasnya ini membuahkan hasil. Ia dapat menyelesaikan  kuliah S1-nya dalam waktu 3,5 tahun pada tahun 2003 dengan menggondol gelar Sarjana Hukum. Ia sudah memiliki seorang isteri dan dua orang anak yang cantik. Ia memiliki dua warung Pecel Lele, bertenda dan tempat permanen, dengan dibantu oleh 4 orang karyawan.

Ia juga memiliki mobil yang dapat menaunginya dari hujan dan panas serta untuk melancarkan mobilitas usahanya. Di balik kesuksesan itu tidak membuatnya tinggi hati, ia masih ramah seperti dahulu dan membantu orang-orang yang membutuhkan.

Migrasi dan Upaya Penghidupan Orang Lamongan

Bastomi dan Ismail Marjuki bukanlah satu-satunya orang Lamongan yang bermigrasi ke kota lain dan berjualan Pecel Lele. Jauh sebelum itu, tepatnya setelah peristiwa 1965-1966, menurut tuturan Soen’an Hadi Poernomo, Ketua Forum Silaturahmi Putra Lamongan, orang-orang Lamongan sudah berbondong-bondong ke Jakarta. Selain situasi ketika itu tidak aman terkait terjadinya pembantaian massal atas nama mereka yang PKI dan di-PKI-kan, kondisi alam tanah Lamongan yang terbilang keras dan kering membuat mereka harus beranjak keluar Lamongan.

Baca Juga  Bonus Demografi: Berkah atau Musibah?

Saking kerasnya alam di Lamongan sampai muncul istilah, “ yen ketigo gak iso cewok, yen rendeng gak iso ndodok (kalau musim kemarau tidak bisa berbilas, kalau musim hujan tidak bisa jongkok karena kebanjiran)”. Setelah itu, gelombang besar kedua perantauan orang Lamongan terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an (Kompas, 16 Februari 2014).

Saat usaha berjualan Soto dan Pecel Lele sukses, mereka mengajak sanak familinya untuk ikut berjualan ke Jakarta. Puncaknya adalah pasca krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998, mendorong orang-orang Lamongan bermigrasi, tidak hanya terbatas di Jakarta, melainkan kota-kota besar.

Hal ini juga bisa dilihat dari hasil kajian sederhana Forum Silaturahmi Putra Lamongan yang memperlihatkan persepsi orang Lamongan dan tanah rantau yang diincar selain Jakarta, yaitu Kalimantan, Bandung, Surabaya, Yogyakarta (40,9%); Bali, Bangka Belitung, Jawa Barat, Riau, Sidoarjo, dan Tangerang (9,1%); lain-lain 4,6% (Kompas, 16 Februari 2014) .

Selain itu, alasan mereka bermigrasi ke satu daerah itu disebabkan karena faktor kedekatan dengan keluarga ataupun tetangga. Sebagai dituturkan oleh Hadi Kuswanto, Kepala Desa Patihan, Lamongan, bahwa pedagang biasanya berasal dari desa tertentu dan menyasar ke wilayah tertentu pula. Sebagian warga Jabung, Kecamatan Laren, misalnya, biasanya memilih wilayah Ternate dan Maluku.

Sementara itu, warga Mindu, Kecamatan Kedungpring, kebanyakan jualan di Timika dan Papua. Warga Maduran memilih jualan di Makassar, Sulawesi Selatan, dan warga Siman, Kecamatan Sekaran, mendominasi Jabodetabek. Banyaknya orang-orang Lamongan yang merantau kemudian membentuk organisasi sebagai pengikat solidaritas komunal dan persaudaraan. Misalnya, di Jakarta ada organisasi Arek Lamongan Jaya dan Putera Asli Lamongan (Kompas, 16 Februari 2014).

***

Dengan demikian, itulah sekelumit kisah kawan saya dan juga orang-orang Lamongan yang mewakili tentang orang-orang jauh yang merantau ke daerah baru, bergelut dengan susah untuk bertahan hidup, dan mencoba mencari peruntungan di tengah celah yang dapat dimasuki.

Di sini, solidaritas sesama perantau atau sesama daerah akan terbentuk dan memperkuat solidaritas komunitas mereka. Namun, diakui, di balik kesuksesan ada sisa kecemburuan sosial di sampingnya, yaitu orang-orang lama yang sudah menetap tapi tidak bisa bergerak untuk meningkatkan daya ekonomi mereka karena ragam alasan. Terkait dengan sisa kecemburuan ini perlu dilakukan riset lebih mendalam.

84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Insight

Kesalehan Hibrid: Berislam Gado-Gado ala Milenial

4 Mins read
Revolusi industri 4.0 telah mendorong percepatan inovasi teknologi yang mengakibatkan perubahan dahsyat (disrupsi) terhadap kehidupan masyarakat. Masifnya internet tak hanya menghubungkan jutaan…
InsightPerspektif

Bonus Demografi: Berkah atau Musibah?

3 Mins read
Berdasarkan hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh lembaga pemerhati pertumbuhan beragama dunia yang berpusat di Amerika, yakni Pew Research Center Religious and…
InsightPerspektif

Wajah Ekonomi dan Politik Kini

4 Mins read
*Diambil dan diolah dari berbagai sumber

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds