Dewasa ini, kita melihat bahwa perbedaan tidak dipandang lagi sebagai sunnatullah yang menjadi kewajaran bagi alam semesta. Perbedaan, salah satunya dalam masalah agama dipandang sebagai hal tabu. Sehingga harus diseragamkan oleh sejumlah orang-orang tertentu dengan mengatasnamakan Tuhan.
Tak ayal berbagai vonis seperti kafir, bid’ah, dan sesat selalu digaungkan oleh mereka ketika menghadapi orang-orang yang berbeda secara pemahaman. Tak cukup dengan vonis, terkadang mereka juga menghalalkan segala tindakan ekstrem untuk menghakimi orang lain yang berbeda, meski itu hanyalah masalah furu’iyah.
Kini, orang-orang menjadi baper dalam menyikapi perbedaan agama meski tak substantif, dampaknya orang-orang hobi mengadakan aksi bela Tuhan dan agama. Padahal nyata-nyata mereka tak membela keduanya. Di balik semua itu, bisa jadi ada suatu kepentingan yang sifatnya politis guna merebut atau melengserkan suatu kekuasaan.
Mereka seolah diberi kewenangan oleh Tuhan untuk melakukan segala sesuatu agar pendapatnya bisa diterima orang lain. Agama tak dijadikan sarana untuk mendewasakan hidup orang, namun hanya sebuah simbol untuk melawan keragaman dengan perkataan maupun tindakan.
Jelas-jelas Allah SWT tidak sepaham dengan perbuatan tersebut sebagaimana yang tercantum dalam QS Yunus ayat 99:
وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنۡ فِى الۡاَرۡضِ كُلُّهُمۡ جَمِيۡعًا ؕ اَفَاَنۡتَ تُكۡرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوۡنُوۡا مُؤۡمِنِيۡنَ
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”
Bukannya Allah tidak mampu mengupayakan keseragaman, namun Dia memang sengaja membuat bumi dan segala isinya berbeda. Termasuk dalam masalah keagamaan. Maka agenda menyeragamkan paham agama menurut satu golongan tertentu merupakan sebuah kemustahilan.
Wahbah Az Zuhaili menjelaskan dalam tafsir Al Wajiz bahwa yang bisa memaksa manusia agar seragam dalam keimanan hanya Allah. Bukan kewenangan manusia untuk menyeragamkan manusia lain.
Sehebat apapun manusia ia tak dapat melampaui kewenangan Allah. Setinggi apapun pangkat dan jabatan yang melekat, ia tak akan bisa menyatukan seluruh umat yang ada di bumi.
Toleransi dalam Menyikapi Perbedaan
Merupakan sebuah ke sia-siaan ketika manusia mencoba menyeragamkan segala hal yang ada di bumi. Dia tidak akan mampu, bahkan cenderung memicu konflik destruktif yang akan mengakibatkan pada perpecahan antara satu golongan dengan golongan lain.
Maka, yang harus dikedepankan dewasa ini bukanlah sebuah ‘teologi baperan’. Sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit mengeluarkan vonis, dan sedikit-sedikit melakukan persekusi terhadap sebuah perbedaan.
Solusi tepat untuk menyikapi masalah ini ialah dengan bertoleransi. Tanpa toleransi, merupakan kemustahilan membangun persatuan di dalam perbedaan. Toleransi merupakan sebuah jembatan penghubung di mana perbedaan bukanlah sebuah sekat pemisah antar golongan, suku, ras, bahkan agama.
Dalam sudut pandang toleransi, kemajemukan dan perbedaan adalah sebuah keunikan dalam sebuah komunitas yang harus dijaga meski nyawa menjadi taruhannya. Usaha penyeragaman dengan vonis dan perbuatan anarkis merupakan sebuah tindakan amoral yang harus dicegah, karena bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Konsep Toleransi dalam Piagam Madinah
Menurut Sayikh Muhammad Said Ramadhan dalam kitab Fiqhus Sirah, saat Rasulullah SAW hidup di Madinah. Beliau berinteraksi dengan berbagai macam orang yang berbeda, termasuk berbeda secara keyakinan. Beliau tak pernah mempunyai jarak dengan orang-orang Yahudi, Nasrani, maupun orang-orang lain yang berbeda secara keyakinan selama mereka mematuhi perjanjian dalam Piagam Madinah (Madinah Charter).
Meski memegang puncak kekuasaan tertinggi, Rasulullah SAW tidak merasa superior terhadap golongan lain yang saat itu dianggap inferior. Beliau juga tidak pernah mendahulukan satu golongan tertentu, dan mengesampingkan golongan lain. Bagi beliau, semua golongan setara dan bermitra, bersama-sama mewujudkan sebuah kota yang berperadaban tinggi (tamaddun).
Hal itu diwujudkan dalam pasal 1 Piagam Madinah yang berbunyi:“Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari manusai lain.”
Teknis pelaksanaan dari pasal 1 Piagam Madinah digambarkan dalam pasal 25-35, yang intinya beberapa golongan golongan di luar Islam seperti Yahudi diperlakukan sama tanpa ada perbedaan sedikit pun.
Piagam Madinah menjadi inspirasi bagi kita yang hidup di zaman modern ini, di mana kemajemukan bukanlah modal sosial untuk saling menjatuhkan, tetapi untuk saling bertoleransi dengan membuang jauh-jauh teologi baperan; memandang sebuah perbedaan sebagai virus mematikan, dan menganggap keseragaman merupakan vaksinnya.
Kita harus mencontoh apa yang dilakukan Rasulullah SAW beserta sahabat lain bisa hidup berdampingan dengan komunitas lain tanpa mengedepankan ego pribadi dan golongan. Toleransi menjadi kata kunci di mana ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.
Dalam konteks kenegaraan, toleransi dalam Piagam Madinah merupakan bukti sahih secara historis bahwa pluralisme bisa diwujudkan dengan mengedepankan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, welas asih, dan peduli terhadap sesama tanpa memandang sekat pemisah.
Oleh karenanya, spirit tersebut harus terus digaungkan demi terciptanya perdamaian dalam skala nasional maupun skala global, sehingga misi Islam sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam bisa tersampaikan (Islam Rahmatan Lil ‘Alamin). Wallahu A’lam.