Muhammadiyah tetap konsisten terkait penanganan Corona Covid-19. Sejak awal munculnya virus ini kampanye dan penanganan nyata terus dilakukan dengan didukung hastag #BersatuHadangCorona. Di tengah masyarakat dan himbauan untuk “damai” dengan Corona, Muhammadiyah tetap konsisten. Saat ini digelorakan hastag #BersatuPerangiCorona.
Tentu hastag yang dibangun itu tidak untuk gagah-gagahan atau mencari popolaritas. Muhammadiyah bukan partai politik yang hanya sering mencari untung atas dukungan masyarakat. Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah berusaha konsisten memberikan bantuan ke masyarakat untuk mengatasi berbagai problem dasar masyarakat. Bahkan sejak sebelum negara ini berdiri. Gerakan keagamaan, sosial, dan kemasyarakatan menjadi pendorong gerakan ini berdiri.
Sejak virus ini muncul, Muhammadiyah tanpa diminta pemerintah telah berada di garis depan dengan sumber daya manusia dan sumber daya dananya. Lihat saja Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) telah mengucurkan bea siswa berupa potongan biaya pendidikan. Tak kurang berjumlah Rp 78 miliar. Itu belum termasuk sumbangan lain di luar potongan biaya pendidikan.
Dalam tindakan medis, Muhammadiyah juga secara cepat merespon masyarakat yang terkena dampak virus itu. Muhammadiyah lalu membentuk Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) yang dipimpin dr Corona Rintawan. MCCC ini dibawah langsung Majelis Pembina Kesehatan Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MPKUPPM).
***
Lalu 20 Rumah Sakit Muhammadiyah juga disiagakan untuk membantu masyarakat dalam menangani wabah ini. Sebut misalnya (1) RS Universitas Muhammadiyah Malang, (2) RS PKU Muhammadiyah Bantul, (3) RS Muhamamdiyah Lamongan, (4) RS Fastabiqul Sehat PKU Muhammadiyah Pati, (5) RS PKU Muhammadiyah Surakarta, (6) RSI Muhammadiyah Kendal, (7) RS PKU Muhammadiyah Gamping, (8) RS PKU Muhammadiyah Wonosobo, (9) RS PKU Muhammadiyah Gombong, (10) RS PKU Muhammadiyah Roemani Semarang, (11) RS Fatimah Banyuwangi, (12) RS Siti Khotijah Sepanjang, Sidoarjo, (13) RS Muhammadiyah Palembang, (14) RS Muhammadiyah Metro, Lampung, (15) RSI PKU Muhammadiyah Palangkaraya, (16) RSI Jakarta Cempaka Putih, (17) RSI Jakarta Pondok Kopi, (18) RS Aisyiyah Ponorogo, (19) RS Asiyiyah Muntilan, dan (20) RS PKU Muhammadiyah, Yogyakarta.
Mengapa itu semua dilakukan Muhammadiyah? (1) tanggung jawab sebagai gerakan keagamaan yang juga mengedepankan kepedulian sosial, (2) dorongan pada tenaga medis/tendis yang ikut berjuang di garda depan, (3) bantuan kepada pemerintah secara nyata tanpa pamrih, (4) sebagai salah satu implementasi amal usaha Muhammadiyah yang kemanfataannya sudah diterima masyarakat umum selama 108 tahun terakhir.
Semangat Melawan atau Berdamai?
Di tengah semangat untuk mengatasi covid-19 ada ide pemerintah dan didukung sebagian masyarakat agar kita berdamai dengan covid-19. Tentu ini bagai petir di siang hari. Ada beberapa alasan mengapa ide itu penting dicermati.
Pertama, pemerintah sudah kewalahan mengatasi virus yang kian berkembang dari hari ke hari. Ketiadaan sumber daya dan dana menjadi penyebab pemerintah terkesan menyerah. Kalau tidak menyerah kenapa harus damai? Kenapa tidak bertekad bulat memerangi virus ini? Jika pemerintah berusaha memahami kenyataan yang ada kenapa harus berdamai? Bisa jadi istilah damai ini bentuk lain dari ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasinya.
Bisa jadi alasan dukungan finansial yang tidak memadai. Sementara negara ini sangat kaya. Hanya karena tidak dikelola dengan baik sumber dananya tidak dibelanjakan secara proporsional. Sebagaimana kita tahu, penyalahgunaan anggaran masih mewarnai setiap kebijakan politik pemerintah.
Kedua, damai hanya akan melemahkan semangat mereka yang tengah berjuang tanpa lelah dalam mengatasi virus ini. Sebut saja tenaga medis (tendis). Mereka berada di garda depan, meninggalkan keluarga, dan selalu dalam ancaman penyebaran virus. Kalau diajak berdamai ini tentu bisa melemahkan semangat mereka. Harusnya diberikan dorongan atau tunjangan dana demi menjaga semangat kerja mereka. Kalau tidak para tendis itu siapa lagi?
Jangan heran jika usulan damai dengan virus ini disambut dengan istilah “terserah”. Terserah ini bentuk dari protes bahwa pemerintah seolah tidak lagi peduli dalam usaha memberikan dorongan tenaga medis, tetapi justru melemahkan semangatnya. Tenaga tendis bisa jadi akan mengatakan, “Terserah. Mau damai terserah. Mau tertulari virus ya terserah. Kami juga capek”. Tapi Muhammadiyah tetap dengan gelora semangat #BersatuPerangiCorona.
Ketiga, pemerintah sedang membiarkan virus ini menyebar dengan sendirinya. Ada kecenderungan untuk mencapai herd immunity. Jika demikian adanya, maka pemerintah lebih mementingkan soal ekonomi dari pada nyawa manusia. Sementara selama ini bentuk kepedulian pemerintah dalam kesehatan masih belum mencukupi, lalu pemerintah membiarkan virus menyebar.
Keempat, pemerintah tidak bisa koordinasi secara rapi. Perbedaan pendapat soal mudik dan Pulkam, apakah virus ini sudah menyebar atau belum di awal Maret 2020, boleh mudik atau tidak, mengijinkan mudik tetapi membuka bandara, mengesahkan UU Minerba, menaikkan BPJS bentuk kurangnya koordinasi. Masyarakat tentu memaklumi tetapi tanpa diimbangi empati maka akan muncul antipati. Serasional apapun, kenaikan BPJS di tengah pandemi ini secara akal sehat akan sulit dipahami masyarakat umum.
Keempat, pelajaran penting bahwa pemerintah perlu sesegera mungkin lepas dari cengkeraman oligarkhi. Kelompok kecil inilah yang dianggap menjadi biang kedali ketidakmandirian pemerintah dalam segala kebijakan. Kebijakan berlindung dibalik kepentingan kaum oligark itu. Kaum oligark ini apalagi kalau tidak berusaha mendapatkan keuntungan. Silang pendapat dan tarik ulur kebijakan pemerintah menjadi indikasi soal itu.
Mengapa kebijakan social distancing tanpa diimbangi dengan penegakan sanksi yang keras? Kenapa mall dan pasar tetap diperlolehkan buka tanpa pengawasan protokol yang memadai? Membiarkan geliat ekonomi masyarakat berjalan dengan tanpa diimbangi penegakan aturan yang memadai menandakan bahwa pemerintah lebih memprioritaskan soal ekonomi. Bagaimana tidak? Ekonomi kita selama ini sudah carut marut. Bangsa lain sudah hampir bisa berhasil mengatasi virus ini tetapi bangsa kita belum.
Maka himbauan demi himbauan terus dilakukan tetapi pelanggaran akan jalan terus. Mudik dilarang tetapi bagaimana mungkin masyarakat hanya dihimbau? Aturan hukum saja kadang dilanggar apalagi hanya himbauan. Anehnya, pelanggaran aturan itu juga selama ini dicontohkan elite politiknya.
Maka, pilihan “Bersatu Perangi Corona” harus terus diteriakkan dan digelorakan. Kita memang harus realistis “berdamai” dengan kenyataan. Tetapi damai ini akan menjadi masalah jika dipahami oleh masyarakat sebagai sikap masa bodoh pemerintah dan munculnya pendapat sebagian masyarakat bahwa kehidupan sudah kembali normal. Padahal virus covid-19 ini dimungkinkan terus menyebar dan mewabah tanpa diketahui ujungnya. Maka wajar jika Muhammadiyah menolak ajakan berdamai dengan virus corona.