Perspektif

Menghentikan Pelecehan Guru Ngaji pada Santriwati

4 Mins read

Oleh: Basrowi

Membaca berbagai berita di berbagai media massa, banyak sekali kasus guru melakukan pelecehan kepada murid, dosen kepada mahasiswa, guru mengaji kepada santriwati, pemuka agama kepada jamaah, tuan rumah kepada pembantu, pelatih olahraga kepada atlit, orang yang mempunyai kedudukan kepada kaum lemah, dan sebagainya.

Mengapa semua itu sangat lazim terjadi? Bahkan, mayoritas terjadi karena ada di bawah ancaman. Semua kasus tersebut laksana “pagar makan tanaman”.

Pagar (Jangan) Makan Tanaman

Sebagai pagar sudah semestinya melindungi tanaman yang ada di dalamnya dengan penuh kasih sayang, agar seluruh tanaman dapat tumbuh dan berkembang. Dan pada saatnya nanti dapat dipetik hasilnya. Namun, apa yang terjadinya malah sebaliknya. Keberadaannya malah disalahgunakan dengan melakukan pengrusakan kepada tanaman yang seharusnya dijaganya.

Dalam kasus oknum “guru mengaji” dan santriwati terjadi karena oknum tersebut merasa dirinya lebih superior di atas santriwatinya. Santriwati sebagai anak didik dianggap oknum “guru mengaji” harus menuruti seluruh kemauannya agar tidak ‘kuwalat’. “Ngawur kan jadinya!.

Santriwati yang setiap hari dididik dan diwajibkan untuk selalu ‘tawadhu’ (menghormati) malah dijadikan sasaran pencabulan. Jarang sekali yang berani melaporkannya. “Kalau aku yang jadi santriwati nya, pasti aku laporkan lah, enak aja.”

Hindari Berkhalwat via Chat

Berkomunikasi lawan jenis bukan mahram yang berlajan terus menerus secara intensif antara guru dan siswa, dosen dan mahasiswa, tokoh agama kepada jamaannya, ustadz dengan satriwati, atasan kepada bawahan, tuan rumah kepada pembantu, awalnya memang biasa-biasa saja. Hal itu tentu tidak dilarang manakala memenuhi syarat dan ketentuan dalam Islam.

Namun, tidak berhenti di situ. Dengan komunikasi yang intensif, lama-lama membuat rasa ingin memiliki tumbuh bersemi. Tumbuh dalam hatinya penyakit yang memiliki muatan keinginan buruk. Komunikasi di antara keduanya memberikan rasa ikatan dalam hati. Apalagi, berbagai bonus, pemberian, buah tangan, makanan, dan berbagi bentuk perhatian lainnya diberikan oleh orang yang merasa superior. Tentu diterima dengan senang hati oleh orang yang berada pada posisi inferior.

Baca Juga  Memasifkan Lumbung Pangan Sebelum Krisis Pangan Terjadi

Ketika komunikasi chatting sudah terjadi secara nyaman, apalagi godaan agresif dan pemberian harapan palsu (PHP) dari orang yang superior selalu dibalas. Senyum dibalas senyum. Emoji ‘kiss’ di pipi dibalas emoji yang sama, emoji simbol cinta di kedua mata dibalas dengan emoji yang sama. Gambar bunga di balas dengan gambar bunga, bahkan jumlahnya lebih banyak.

Maka, komunikasi itu laksana gayung bersambut. “Tumbu entuk tutup” (Jawa: mendapat sambutan yang signifikan). Ya sudah jadilah apa yang disebut dengan ber-khalwat. Tindakan ini dapat mengakibatkan atau memberikan peluang kepada pelakunya untuk terperosok pada pelecehan, perbuatan yang dilarang Allah SWT.

Dalam Islam, komunikasi dengan lawan jenis bukan mahram yang isinya dapat menarik hati orang yang membacanya adalah dilarang. Karena hal itu akan menyebabkan fitnah. Kata-kata juga dapat menyebabkan terjadinya hubungan istimewa yang kemudian menimbulkan keinginan yang tidak baik. Berbagai isyarat yang mengandung kebaikan tetapi bisa menyebabkan fitnah, karena menyebabkan timbulnya perasaan khusus atau keinginan tidak baik pada diri lawan bicara yang bukan mahram.

Di sini sangat jelas, bahwa chatting di luar keperluan syar’i termasuk khalwat. Meskipun berniat berdakwah, tetapi karena dilakukan dengan beda jenis bukan mahram, maka tetap dilarang. Karena berdakwah dengan lawan jenis bukanlah suruhan agama. Namun bila ada tuntunan syar’i yang sangat darurat, hal itu diperbolehkan sesuai dengan keperluan. Di sinilah kejujuran kepada Allah dalam menentukan sejauh mana darurat dan tidaknya.

Ketika kebiasan ber-khalwat melalui media sosial sudah menjadi penyakit ketagihan, komunikasi selanjutnya akan mengatur tempat pertemuan. Pertemuan di suatu tempat yang telah disetujui bersama, menjadi awal terjadinya pelecehan maupun hubungan haram. Kalau hal itu berlanjut secara terus menerus tentu akan mengakibatkan hal-hal yang kurang baik.

Baca Juga  Pesantren Gua Tsur: Refleksi Filosofis dari Hijrahnya Rasulullah

Bila tangan orang yang merasa superior itu berlaku ‘cabul’ dan pihak yang berada pada posisi inferior tersebut tidak menolak, maka pihak superior akan ketagihan dan pelecehan berlanjut terus menerus secara berulang-ulang—di lain waktu, lain tempat, dan lain kesempatan—untuk memuaskan nafsu. Astaghfirullahaladziim!

Sebaliknya, bila pihak yang ‘dijahilin’ merasa dilecehkan maka ia akan berontak, melawan, dan melapor.

Memilih Tempat yang Aman

Saat ini sudah banyak pesantren yang sudah baik dalam mengasuh santriwan dan satriwatinya. Mereka yang sudah baik itu dicirikan, ada spesialisasi pengasuhan. Santriwati hanya diasuh oleh ustadzah untuk semua mata pelajaran mengaji. Begitu juga sebaliknya, santriwan hanya diasuh oleh ustadz (laki-laki).

Ketika ustadz masih diberi kelas untuk mengajar santriwati, maka besar kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Seorang ustadz yang tidak sempat lagi ke mall, tidak layak lagi ke tempat-tempat hiburan, tidak layak lagi bernyanyi di karaoke, maka setan yang menggodanya tentu lebih canggih dibandingkan setan yang menggoda orang awam. Di sinilah perlunya menguatkan hati dan iman seorang ustadz.

Ustadz juga manusia. Pendeta juga manusia. Dosen juga manusia. Jadi semua berpeluang untuk digoda oleh setan yang pekerjaannya memang menggoda manusia agar terjerumus pada lembah dosa.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, sudah selayaknya orang tua sebelum memondokkan putrinya, perlu menanyakan berbagai hal. Termasuk pola asuh yang diterapkan oleh pondok pesantren yang akan dituju.

Anjuran untuk Menghindari Pelecehan

Bagi para ibu, latihlah dan beri kesadaran kepada anak-anak perempuan mereka untuk selalu melapor kepada orang tuanya, sekecil apapun yang dilakukan oleh para lelaki. Baik ayahnya, kakaknya, pamannya, pakde/om-nya, gurunya, teman laki-lakinya, guru mengajinya, pemuka agamanya, dan lelaki lainnya. Jalin komunikasi seindah mungkin dengan anak perempuan.

Baca Juga  Resiprokal Diri dengan Cara Bermedsos

Berikan literasi yang mendidik kepada seluruh anak perempuan untuk ‘tidak terima’ ketika dilecehkan atau dicabuli. Jangan mudah dibujuk rayu oleh orang yang berada pada posisi superior. Jangan mudah tertipu dengan pemberian harapan palsu mereka. Jangan mudah percaya dengan berbagai ‘modus’ yang digunakan.

Anak-anak perempuan sejak kecil jangan sampai terlalu manja dengan ayah dan orang orang terdekatnya. Memakai baju, berganti baju, cara duduk, dan cara tidur pun, latihkanlah kepada mereka agar selalu tertutup baik dengan ayahnya, kakaknya, dan orang terdekat lainnya. Sesungguhnya, mereka itulah yang paling berpeluang pertama kali melakukan pelecehan dan pencabulan kepada anak-anak perempuan.

Saat ini, di era medsos sudah merasuki seluruh orang, komunikasii laki-laki dan perempuan baik di lembaga pendidikan umum, pesantren, dan lembaga keagamaan lainnya, merupakan hal yang sangat mudah terjadi. Dalam waktu 2-4 hari perempuan bisa jatuh ke pelukan laki-laki penggoda yang sudah jago merayu dengan berbagai modus dan PHP, karena komunikasi yang dilakukan sangat intens.

Dalam sehari, perempuan yang sudah termakan bujuk rayu laki-laki, bisa saja melakukan ribuah komunikasi WhatsApp dan media sosial lainnya.  Sehingga, tidak mustahil, dalam sehari, pelaku playboy ulung akan mampu menggaet perempuan, hingga bertekuk lutut kepadanya.

***

Lalu apa yang harus orang tua lakukan? Pertama, cek dan control setiap saat HP si buah hati jangan sampai termakan bujuk rayu lelaki yang tidak bertanggungjawab. Kedua, sadarkan kepada semua buah hati, jangan mudah terbujuk rayu lelaki yang selalu ber’modus’. Ketiga, kurangi menjawab komunikasi dari laki-laki yang sudah kelihatan punya modus. Keempat, kontak lelaki yang sudah mengarah pada pembicaraan yang tidak semestinya. Semua langkah itu, tentu akan mampu mengurangi terjadinya pelecehan atau pencabulan kepada anak perempuan. 

*) Pengamat Sosial Alumni S3 Ilmu Sosial Unair dan S3 Manajemen SDM UPI YAI Jakarta.

Avatar
13 posts

About author
Pegiat Ekonomi Syariah, alumni PPs UIN Raden Intan Lampung, Pesma Baitul Hikmah Surabaya, S3 Ilmu Sosial Unair, & S3 Manajemen SDM UPI YAI Jakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *