Perlu kita ketahui, bahwa Covid-19 tidak hanya berhubungan dengan kajian kesehatan. Pandangan agama akibat potensi penyebarannya juga turut hadir mewarnai kajian terkait Covid-19. Informasi dari fatwa ulama menjadi pembimbing umat dalam melaksanakan teknis peribadatan.
Agama mendorong umatnya untuk senantiasa menjaga diri. Bahkan, para ulama telah banyak menjelaskan prinsip syariat, yang salah satuya adalah menjaga jiwa (hifzh al-nafs). Dalam menyikapi hal ini, telah banyak fatwa yang dikeluarkan oleh para ulama terkait teknis ibadah pada situasi pandemi Covid-19. Tak terkecuali fatwa MUI nomor 14 tahun 2020 yang membahas teknis ibadah di masa pandemi.
Kompilasi Fatwa Ulama
Prof. Dr. Mas’ud Shabri menulis sebuah buku dengan judul “Fatawa al-Ulama haula Virus Korona“. Buku yang diterbitkan oleh Dar al-Basyar li al-Tsaqafah wa al-‘Ulum Mesir dengan tebal 241 halaman ini menjadi obor penerang dalam memahami masalah agama kontemporer. Buku ini memberikan informasi, ajaran, dan bimbingan mengenai ibadah ketika terjadi wabah.
Anggota Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional ini melakukan kompilasi dan kodifikasi berbagai fatwa dalam penanganan Covid-19. Fatwa yang dikumpulkan terdiri atas 23 fatwa kelembagaan ulama, seperti fatwa ulama besar al-Azhar Mesir, fatwa ulama besar Saudi Arabia, fatwa Majelis Eropa, fatwa fukaha Amerika Selatan, fatwa ulama Irak, fatwa ulama Aljazair, juga fatwa-fatwa lainnya.
Beliau mengkomplikasikan pula fatwa ulama secara mandiri, seperti pendapat Syaikh Muhammad al-Dudwi, Dr. Hakim al-Muthayyiri, Syaikh Salim (Majelis Eropa), dan Dr. Ibrahim Abu Muhammad (Mufti Australia).
Dengan ketelitiannya, dikodifikasikan pula fatwa dan infomasi melalui media online Zoom Cloud Meeting. Hingga total seluruhnya, terdapat 34 fatwa pokok para ulama dan lembaga di berbagai belahan dunia.
Sajian buku ini memotret pergerakan ijtihad fikih, penguatan pemahaman historisitas ijtihad fukaha, juga memberikan kesempatan emas bagi pembahas dan pemerhati dalam menganalisis fatwa.
Kompilasi fatwa menjadi penguat untuk pengkaji hukum Islam dalam mengaitkan kenyataan dengan nas. Sehingga dapat menguatkan kesan bahwa Islam dapat memberikan solusi bagi kehidupan manusia, terlebih aspek ibadah.
Pembagian Tema
Penulis membagi tema besar yang berkaitan dengan salat Jumat dan berjamaah di masjid ketika wabah merebak. Metode kompilasi dan kodifikasi tidak berurutan secara tematik. Ia memulai penjelasannya pada fatwa kelembagaan ulama besar (seperti di al-Azhar), kemudian pada lembaga fatwa setiap negara, dan terakhir pada fatwa perorangan.
Pertama, pendapat bolehnya tidak melaksanakan salat Jumat dan berjamaah dengan tetap mengumandangkan adzan sebagai syiar Islam. Menurutnya, inilah yang dikemukakan oleh sebagian besar lembaga fatwa. Tema ini muncul pula pada fatwa pribadi ulama otoritatif seperti Dr. Ali Muhyiddin al-Qarhudagi, Dr. Khalid Hanafi, Dr. Sa’ad al-Kabisi, dan Dr. Murad Fadhl.
Kelompok pertama ini membolehkan untuk menunda salat berjamah. Orang yang salat di rumah dengan berjamaah tetap mendapatkan pahala. Pendapat ini berlandaskan pada fikih tentang orang uzur yang dibolehkan untuk tidak salat berjamaah, seperti karena sakit keras, hujan besar, juga khawatir akan penyebaran virus secara masif.
Kelompok ini berpegang pada keumuman nas Alquran dan hadis nabi yang mendorong pada kemudahan dengan menghilangkan kesulitan. Nas mengenai keringanan dalam salat berjamaah, begitu pula analogi mengenai orang yang memakan sesuatu yang menimbulkan bau tak sedap, dijadikan landasan pemikiran kelompok ini. Orang yang memakan makanan bau yang tak sedap saja boleh meninggalkan salat berjamaah, apalagi dengan penyebaran Covid-19.
Tujuan syariah dijadikan titik tolak kelompok ini. Memelihara jiwa dari kematian menjadi hal yang sangat penting. Sementara melaksakan salat berjamaah bertujuan untuk menyempurnakan agama. Oleh karenanya, kepentingan menjaga jiwa lebih didahulukan daripada menyempurnakan urusan agama.
***
Kedua, pendapat yang melarang salat berjamaah di mesjid bagi orang sakit, atau khawatir pada dirinya karena musibah, walaupun masih dugaan. Bagi orang pada kondisi kedua, pelaksanaan salat berjamaah dan jumat tetap dilaksanakan, sampai pada batasan yang memungkinkan menunda salat berjamaah di masjid.
Namun, apabila terdapat ketetapan dari lembaga otoritatif bahwa pelaksanaan salat Jumat dan berjamaah ini diduga keras berpotensi pada penyebaran Covid-19, ia tetap bisa melaksanakan salat berjamaah dengan beberapa orang saja.
Pemikiran ini mengemuka pada Lembaga Fukaha Amerika Selatan, khususnya berkenaan dengan orang sakit, atau khawatir pada dirinya karena musibah, walaupun masih dugaan. Begitu pula pendapat Syaikh Muhammad Hasan al-Dadwi, dan Syaikh Salim al-Syaikh (anggota Majelis Fatwa dan Kajian Islam).
Kelompok ini menerapkan kompromi pada dua kondisi di atas, tanpa memperhatikan tarjih. Mereka berpendapat bolehnya mengganti salat berjamaah sejatinya untuk orang uzur dan orang yang khawatir pada dirinya terkena penyakit.
Sementara orang sehat harus tetap melaksanakan salat Jumat dan berjamaah meskipun dikhawatirkan terkena penyebaran. Namun, salat Jumat dilaksanakan dengan batas minimal penyelenggaraan, sebagai implementasi beberapa dalil mengenai hal ini.
***
Ketiga, pendapat yang tetap mewajibkan salat Jumat dan berjamaah. Pandangan ini tidak membolehkan mengganti salat berjamaah di masjid. Fatwa ini dikemukakan oleh fukaha seperti Syaikh Muhammad Salim (Mauritania), Dr. Jaddi Abdul Qadir dan Thahir Balkhair (Aljazair), meskipun belum mencerminkan fatwa kolektif.
Pendapat ini berlandaskan pada keumuman nas yang mendorong tetapnya salat Jumat dan berjamaah dilaksanakan. Mereka menolak landasan pemikiran kelompok pertama yang membolehkan menunda salat Jumat dan berjamaah. Perintah agama, menurut kelompok ini, hanya untuk masing-masing personal yang dibolehkan untuk mengganti salat di masjid.
Adapun dalam kondisi wabah, urusan ini bergantung pada kebijakan pemerintah. Oleh karenanya, dalil mengenai bolehnya mengganti salat berjamaah karena uzur tidak dapat diterapkan dalam situasi seperti ini.
Permasalahan yang disajikan tidak hanya terhenti pada salat berjamaah dan Jumat. Masih terdapat masalah yang punya keterkaitan pada dua hal tadi, yaitu hukum qunut nazilah, pelaksanaan haji dan umrah, pengurusan jenazah (memandikan dan mengafani), jarak pada saf salat, dan hukum mengikuti ketetapan pemerintah dalam penanganan Covid-19.
Bahkan, dalam buku ini turut disebutkan pula hukum menimbun dan menaikkan harga, sebagai masalah ekonomi yang haram dilakukan.
Dari ketiga pendapat di atas, penulis buku ini berkecenderungan bahwa fatwa mengenai bolehnya menunda salat Jumat dan berjamaah mendominasi pemikiran ulama pada lembaga fatwa dibandingkan dengan fatwa perorangan.
Fatwa Ulama: Rujukan Umat
Fatwa menjadi rujukan umat dalam memahami dan menyikapi masalah. Fatwa berfungsi sebagai pendapat atau penafsiran pada suatu masalah pada hukum Islam. Ia pun menjadi jawaban, pendapat, dan nasihat bagi orang atau lembaga yang diberi fatwa.
Terlepas dari semua itu, yang namanya fatwa tetap tidak memiliki kekuatan hukum yang mutlak. Semua kembali pada tiap individu mau mengikuti fatwa yang mana. Namun yang terpenting adalah tidak adanya saling hujat di antara masing-masing penganut fatwa. Selamat membaca dan memilih!
Editor : Rifqy N.A.