Perspektif

Menjadi Intelektual, Menjadi Arsitek dan Aktor Peradaban

7 Mins read

Menjadi Intelektual Arsitek dan Aktor Peradaban

Mengapa perlu menjadi intelektual dan arsitek serta aktor peradaban? Para alim ulama dan pakar Islam antara lain seperti Syafi’i dan Al-Ghazali menarasikan kata-kata bijak yang menghentakkan kesadaran manusia dengan ungkapan; “Semua manusia mati, kecuali orang yang berilmu. Orang yang berilmu tidur, kecuali orang yang beramal. Orang yang beramal tidak diterima amalnya, kecuali orang yang ikhlas. Dan…orang yang ikhlas itu punya cita-cita, yakni meraih ridha Allah.”

Kata-kata tersebut sangat sederhana, tidak terlalu puitis dan tidak pula terlalu filosofis. Namun, apabila bagian kata-katanya hilang, maka makna kata bijak tersebut kehilangan mustika kata pada esensinya. Dan yang paling menyedihkan apabila ruh kata-kata di atas tidak dapat menjadi fokus kesadaran intelektual, spiritual, dan emosional yang mentransedental pada harmonisasi akal dan kalbu manusia dengan Tuhan, manusia dan alam semesta.

Chairil Anwar (Penyair Indonesia) pernah mengunakan kata yang singkat untuk menyadarkan bangsanya, yakni dengan kata, Hidup sekali berarti, setelah itu mati.  Mungkin ia menganggap bisa menjadi “berarti” itulah sebagai subtansi yang dikatakan hidup. Dalam hadis Nabi Muhammad Saw difahami sebagai “bermanfaat”.

Esensi hidup bukanlah kasta sosial, ekonomi dan politik belaka. Apalah artinya kasta sosial yang mumpuni di rumah mewah, bila terasa asing di tengah kasta menengah ke bawah; tak berarti kasta ekonomi yang bertengger di level “bursa” teratas, bila tak berempati pada kaum dhuafa dan hilangnya simpati pada  kaum marhen; tak ada manfaat bertahta di kasta politik yang penuh kedigdayaan, bila kebijakan tak berpihak pada wong cilik, dan tidak membela kaum termarginalkan.

Aksara dan Gerakan Literasi sebagai Akar Peradaban

Umpama, Semut berjalan di atas batu hitam. Sunyi…sepi…dan hening. Rembulan malam tak tampak cahayanya. Itulah gambar peradaban yang tidak dikenal. Ia berada di negeri antah berantah yang tak punya nama. Abjad belum ada. Ia hanya aksara bisu, tanpa huruf dan angka serta tanda.

Irama alam menggugah jiwa insani untuk berguru pada semesta. Dahulu, di era 4.000-5.000 tahun yang lalu, peradaban Mesir muncul di lembah Sungai Nil di Afrika Utara. Di sana ditemukan berupa tulisan Hieroglyph pada dinding kuburan para Firaun Mesir kuno. Lalu, peradaban Mohenjodaro dan Harappa di lembah Sungai Indus juga meninggalkan tulisan khas mereka. Kemudian muncul pula Cina dengan tulisan dalam bahasa Mandarin-nya.

Dilanjutkan dengan Peradaban Yunani dan Romawi dengan tulisan Romawi dan tulisan latinnya. Serta peradaban Arab Islam dengan tulisan Arabnya. Selain itu, eradaban Sumeria dan Babilonia muncul di Sungai Eufrat dan Tigris (Iraq sekarang). Ini merupakan peradaban tertua dengan meninggalkan “tulisan paku” pada prasasti batu dan lempengan tanah liat kuning, bangunan, dan barang-barang kuno. Termasuk juga aksara lokal yang ada di daerah di Indonesia, seperti salah satu aksara daerah yakni aksara incung di Kerinci yang tertulis di tanduk kerbau, bambu, dinding rumah tradisional dan lain sebagainya.

Dari kenyataan faktual di atas, peradaban dibangun dari aksara dan literasi. Maka semua penghuni dunia yang ada di negara, propinsi dan kabupaten mempunyai peran untuk menggairahkan semangat zamannya untuk menata peradaban yang hampir punah ini. Supaya dunia tahun bahwa di tempat ia hidup peradabannya masih ada, belum punah. Jadi, peradaban bisa tumbuh dan berkembang selama ada “aktor” peradaban yang menggerakkannya dengan “tradisi keilmuan” dan “gerakan keilmuan”, serta menggairahkan budaya literasi dengan membaca, menulis, dan berdiskusi serta penelaahan berbagai sumber ilmu.

Baca Juga  Meski COVID-19, Minangkabau Tetap Adakan Tradisi Sambut Lebaran

Faktor Penentu Peradaban Manusia

Adapun yang menjadi faktor penentu ada dan tidaknya peradaban suatu masyarakat adalah:kekuatan moral dan mental masyarakat serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS). Kedua faktor ini harus digali, dikaji, diteliti, dikembangkan, disebarkan dan direkam oleh “tokoh pembentuk sejarah” (arsitek peradaban); mereka adalah pemikir/filosof dan cendikiawan/ilmuwan (ulul albab).

Mengapa harus mereka? Karena pemikiran, ide atau gagasan merekalah yang mampu mempengaruhi masyarakat dengan pemikiran-pemikiran dan tindakannya melalui karya tulis mereka. Selain itu, tradisi keilmuan yang mereka lalukan berkembang dengan baik serta khazanah kepustakaan yang melimpah, yang menjadi sarana untuk menggali, mengkaji, meneliti, lalu ditulis dan dikembangkan, serta disebarkan pada masyarakat luas. Sehingga buku (termasuk e-book) yang ditulis yang disebarluaskan itu menjadi rekaman peradaban mereka di saat itu dan di masa yang akan datang. Juga menjadi referensi semua kalangan dalam mencerahkan peradaban dan meneguhkan keadaban privasi dan publik.

Jadi, tradisi keilmuan yang berkembang dengan baik dan khazanah kepustakaan (manual maupun digital) yang memadai dan melimpah. Itulah ciri-ciri kemajuan peradaban dan kemajuan umat manusia pada suatu zaman, peradaban, dan tempat tertentu.

Konklusinya, peradaban bisa muncul dari mana saja, tanpa membedakan wilayah, tempat dan zaman. Tergantung sejauhmana jangkauan “jangkar” peradaban itu mampu menggapai kegemilangan melalui “arsitek” dan “aktor” peradaban yang berkarakter ulul albab.

Hilangnya Tradisi Keilmuan (Intelektualitas atau Rausyanfikri)

Ada tiga penyebab hilangnya tradisi keilmuan (intelektualitas) atau rausyanfikri (istilah  Dr. Ali Syariati), yaitu:

Pertama, rendahnya budaya membaca (iqra’). Padahal dengan banyak membaca akan membentuk pemahaman. Kedua, kurangnya budaya diskusi (dialog, seminar, sarasehan, panel diskusi dan sejenisnya). Padahal dengan diskusi akan membentuk kedalaman. Ketiga, minimnya budaya menulis (mengarang). Padahal dengan menulis akan membentuk ketajaman sekaligus mengikatkan ilmu.

Ciri Kelemahan Keilmuan dan Penguatan Tradisi Keilmuan

Adapun kelemahan keilmuan serta cara penguatan tradisi keilmuan adalah:

Pertama, profesionalisme yang kurang. Maka harus menguasai ilmu dalam bidang masing-masing, hingga memiliki kearifan dalam hidup dan kecendikiawan dalam wawasan.

Kedua, kemampuan baca yang rendah. Maka harus berlatih dan membudayakan membaca, cinta buku, dan merasa integral dengan buku. Sehingga ‘candu’ dan ‘exstasi’ untuk menikmati bacaan.

Ketiga, kemampuan menulis lemah. Maka dilatih dan dibimbing untuk menulis apa saja secara intensif. Sehingga melahirkan ide cemerlang dalam bentuk tulisan.

Keempat, kemampuan komunikasi yang ‘gagap’ (tidak berani atau hanya sekedar asbun atau asal bunyi). Maka harus dilatih untuk berani dan percaya diri secara terus menerus, seperti memberikan tanggapan dalam forum diskusi/ilmiah, seminar, diskusi panel, sarasehan, dan lain-lain, walaupun pada mulanya dengan melihat konsep.

Jadi, keempat kelemahan itu apabila dilakukan dengan empat penguatan. Maka lahirlah insan cendikia (pemikir/filosof, cendikiawan/ilmuwan, rausyanfikri atau arsitek peradaban) yang berkarakter ulul albab. Yakni mereka yang memiliki kepribadian: kebebasan dalam berpikir, ketinggian dalam budi pekerti, ketajaman dalam analisa, kearifan dalam hidup, dan kecendikiaan dalam wawasan.

Baca Juga  Apakah Semua Lafadz dalam Al-Qur’an itu Berbahasa Arab?

Dengan kepribadian itulah akan menumbuhkan “energi cendekia”, yakni: daya pikir kritis, daya moral agamis, daya gerak dinamis, dan daya hidup filosofis. Energi cendekia ini yang akan mengantarkan langkah menjadi intelektual.

Kriteria Arsitek dan Aktor Peradaban

Adapun menjadi intelektual dengan dapat dilakukan dengan memenuhi kriteria arsitek dan aktor peradaban yang berkarakter ulul albab, antara lain:

Pertama, kearifan dalam hidup

Yaitu senantiasa bertakwa dengan buhul kalbunya tersambung dengan “sinyal” Ilahiah, sehingga rasa takutnya hanya kepada Allah. Sebagaimana firman Allah menyatakan:

“Katakanlah: ‘Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwallah kepada Allah hai orang-orang beraka;, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. 5: 100)

Kedua, ilmuwan yang profesional

Yakni, terdepan dalam menggerakkan “tradisi keilmuan” dan “gerakan keilmuan”, serta menggairahkan budaya literasi dengan membaca, menulis dan berdiskusi serta penelaahan berbagai sumber ilmu. Seperti firman Allah yang berbunyi:

“Dia lah yang menurunkan Al-Kitab (Alquran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Alquran dan yang lain (ayat-ayat) mutsyabihat). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutsyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang endalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutsyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. 3:7)

Ketiga, berwawasan Qurani dan menjadi “penafsir” zaman

Hal ini sesuai dengan firman Allah yang menyatakan:

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”

Keempat, ketajaman dalam analisa

Yakni selalu mengedepankan daya kritis yang dinamis seperti para pemikir/filosof.

Sebagaimana firman Allah:

“Yang mendengar perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. 39: 18)

Kelima, ketinggian dalam budi pekerti

Sesuai dengan firman Allah yang menjelaskan:

“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagain rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (QS. 13: 22)

Keenam, kecendikiawanan dalam gerakan pencerahan peradaban dan meneguhkan keadaban privasi dan publik

Seperti firman Allah menyebutkan:

“Alquran ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka memberi diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.” (QS. 14: 52)

Ketujuh, menepati janji dan menjalin tali silaturrahim, silatulfikri, dan silatulqalbi dengan siapapun

Sebagaimana firman Allah yang menjelaskan:

Baca Juga  Pendidikan Kolonial: Dulu dan Sekarang

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian dari orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS. 13: 19-21)

Kedelapan, berani dalam kebenaran meskipun dicela, dinina, dan difitnah

Seperti firman Allah Swt yang menyatakan:

“Katakanlah: ‘Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwallah kepada Allah hai orang-orang beraka;, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. 5: 100)

Kesembilan, seorang futurolog (pemeta peradaban ke depan) dengan mengambil ibrah pada tarikh masa lalu

Hal tersebut dijelaskan Allah dalam firmannya:

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Alquran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.: (QS. 12: 111)

Kesepuluh, selalu menjalin “komunikasi” dan “beraudensi” dengan Allah

Yaitu senantiasa “berkontemplasi” dengan zikir, “berkomonikasi” dalam munajat doa, dan “beraudensi” dalam shalat fardhu dan sunnah.

Sebagaimana firman Allah yang menyatakan:

“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah” ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.: (QS. 39: 9)

Dari kesepuluh kriteria arsitek dan aktor peradaban yang berkarakter ulul albab di atas, maka, apabila sudah dimiliki para aktivis intelektual atau rausyanfikri, sesungguhnya ketercerahan peradaban Islam dan bangsa bukan sekedar retorika belaka.

Menulis untuk Menjadi Intelektual

Dalam buku Heroes heroworship karya Thomas Carlyle disebutkan, bahwa, “Sesungguhnya seni menulis buku adalah penemuan manusia yang paling menakjubkan. Dan universitas yang sesungguhnya adalah kumpulan buku-buku yang dibaca.”

Begitu pula yang dikatakan Prof. Dr. HAMKA (1908-1981), bahwa, “Banyak kawan saya yang terlalu takut mengarang, maju mundur, sehingga tidak pernah mengarang. Mereka tak punya keberanian karena ingin karangannya sempurna. Mana ada di dunia ini yang sempurna.”

Dari motivasi dua tokoh di atas, setidaknya kita sudah memulai langkah menjadi intelektual. Sesederhana menulis sesuatu yang mencerahkan dan meneguhkan, walaupun hanya menulis status di Facebook,  WA, Instagram, Twitter, dan aplikasi lainnya. Dengan rutinnya membaca dan menulis serta menganalisa dengan baik, maka nanti akan merambah menulis ke media online, serta menulis dalam bentuk buku (termasuk e-book).

Jadi, mulai saat ini, jangan impikan impian-impian kecil, karena tak punya kekuatan menggerakkan hati manusia. Maka berpikir besarlah dan berjiwa besarlah. Kitalah arsitek peradaban yang akan menentukan hitam-putihnya masa depan. Dan kitalah arsitek dan aktor peradaban yang memiliki intelektualitas (rausyanfikri). Salam pencerahan! Mari kita teguhkan!

Editor: Nabhan

Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds