Oleh Muhamad Ali
Sebetulnya saya malu menulis judul di atas. Tapi ini sekadar cerita saja tentang tantangan hidup menjadi santri, intelektual, dan aktivis. Kini, sebagai akademisi di research university, seperti University of California, saya menjadi bagian dari akademisi yang melakukan tri darma. Ketiganya sama dengan di Indonesia, tapi karena research university, maka kita fokus pada riset dan publikasi. Kemudian baru pengajaran, dan kemudian: pengabdian.
Riset dan publikasi dengan metodologi ilmiah sesuai disiplin ilmu, pengajaran dengan pedagogi yang tepat. Sesuai gaya masing-masing, asal sesuai dengan konteks research university, dan ketiga: pengabdian. Seperti menjadi panitia di kampus, menempati jabatan profesional, asosiasi keilmuan, dan public service (pelayanan publik) yang bisa berbentuk apa saja. Termasuk menjadi ketua atau pengurus lembaga sosial keagamaan, pendidikan, politik, isi pengajian, ceramah, nulis kolom, seni budaya, dan lain-lain.
Dari Madrasah ke Eropa dan Amerika
Saya teringat sejak menjadi siswa madrasah, lalu santri di Jawa Barat, lalu menjadi mahasiswa. Saya berusaha disiplin belajar (dan ehm, menjadi “juara” sekelas, sesekolah, seangkatan, dan sekampus waktu di IAIN), tapi juga berkiprah di organisasi intra dan ekstra (kebetulan dulu di jurusan Tafsir Hadis, Ushuluddin, lalu menjadi Ketua Senat Mahasiswa IAIN). Selain itu juga menjadi pengurus HMI Cabang Ciputat. Ikut diskusi-diskusi ektra kampus, termasuk diskusi dalam bahasa Inggris. Tak lupa mengambil kursus bahasa Inggris dan Perancis, sambil menulis kolom di koran-koran.
Pernah juga ambil kuliah S-2 Manajemen Kerjasama UI dan University Grenoble Prancis. Lalu, ketika mahasiswa S-2 di Inggris saya fokus kuliah bergumul di perpustakaan dan kelas. Berinteraksi dengan banyak mahasiswa dan profesor berbagai bangsa dan latar belakang. Ketika S3, saya fokus kuliah, tapi juga dipercaya menjadi ketua Permias (Persatuan Mahasiswa Indonesia di AS) dan pengurus EWCPA di asrama mahasiswa international.
Tahun-tahun ini sebagai bagian dari Pengabdian, saya dipercaya menjadi Direktur Program Middle East and Islamic Studies. Menjadi komite di Religious Studies, di Southeast Asian Studies, di Asian Studies, di Global Studies. Di American Academy of Religion, yang anggotanya dunia, saya pernah aktif di SC di Liberal Theology dan Southeast Asian Religions. Meskipun tetap ikut anggota di Contemporary Islam, dan study of Islam, selaku anggota International Quranic Studies Association, juga Association of Asian Studies, menambah jaringan juga.
Saya juga masuk di American-Indonesian Council on Religion and Pluralism dan American Institute of Indonesian Studies. Menjadi board of directors dan reviewers di berbagai jurnal dan diundang mereview manuskrip artikel dan buku juga bagian dari pengabdian.
Menjadi Santri, Intelektual, dan Aktivis
Kedepan saya sendiri belum tahu pasti. Tapi tantangannya, dari dulu sampai sekarang sama saja, adalah bagaimana kita tetap fokus dan mengatur waktu. Saya harus mengingatkan diri saya: jangan terlalu banyak perhatian dan kegiatan yang menganggu fokus dan konsentrasi dalam melakukan tugas sesuai dengan skala prioritas.
Jangan mudah terbawa arus, tapi juga tidak terlalu menyendiri atau mengasingkan diri dari berbagai isu kontemporer. Sulit memang, tapi ketika tugas demi tugas terlaksana, ada kepuasan yang mendalam, terus terang.
Untuk melakukan itu semua, ada ayat yang selalu kita ingat, “Ketika satu tanggung jawab selesai, maka bersiaplah pekerjaan lain dan selalu berharap sama Tuhan” (QS al-Insyirah [94]: 7).
Ayat di atas menunjukkan makna penting dalam kehidupan manusia, yaitu produktif, sibuk dengan aktivistas, dan terus berkarya.