Sebelumnya, saya mengucapkan selamat ulang tahun yang ke-4 untuk IBTimes.ID, semoga selalu menjadi media yang mencerahkan dan mewartakan Islam yang progresif. Begitu juga untuk 2 Dekade MAARIF Institute merawat pemikiran Buya Syafii Maarif, semoga tetap menjadi ruang belajar yang mendewasakan umat manusia.
Tepat di hari ke 19 bulan Ramadhan, bulan yang sangat mulia, bahkan dikatakan sebagai bulan seribu bulan saking mulianya, IBTimes.ID memasuki usia yang ke-4 tahun.
Sebuah doa dan hikmah puasa di hari ke 19 adalah tentang berkah dari segala kebaikan-kebaikan. Bahkan doa yang dianjurkan di hari ke 19 ini adalah;
اَللَّهُمَّ وَفِّرْ فِيْهِ حَظِّيْ مِنْ بَرَكَاتِهِ وَ سَهِّلْ سَبِيْلِيْ إِلَى خَيْرَاتِهِ وَ لاَ تَحْرِمْنِيْ قَبُوْلَ حَسَنَاتِهِ يَا هَادِيًا إِلَى الْحَقِّ الْمُبِيْنِ
Artinya: “Ya Allah, jadikanlah aku di bulan ini lebih bisa menikmati berkat-berkat-Mu dan mudahkanlah jalan-ku untuk mendapat kebaikan-kebaikannya. Jangan Engkau haramkan aku untuk menerima kebaikan-kebaikannya. Wahai Pemberi Petunjuk kepada jalan yang terang.”
Tuhan adalah Sang Maha Pengabul Doa, tangis dan harapan seorang hamba ketika selalu menyebut-nyebut Nama-Nya adalah suara yang paling indah. Oleh sebab itu, kebaikan dan keberkahan di hari ke 19 ini akan menjadi momentum harapan umat manusia untuk senantiasa menebar kebaikan kepada sesama.
Memahami Perbedaan
Menyadari segala perbedaan, menghormatinya dan memberikan ruang bagi kemajemukan, adalah bagian dari mengerjakan doa di atas. Kebaikan itu diciptakan, seperti halnya pemahaman yang dibangun oleh Kyai Alder dalam teorinya tentang teleologi. Bahwa manusia menentukan tujuan hidupnya sendiri tanpa ditekan dan dijerat masa silamnya.
Semangat Islam progresif ini harus ditangkap oleh umat muslim sebagai bentuk pengejawantahan rahmatan lil’alamin. Ketika Gus Dur dengan samangat Humanismenya menjunjung tinggi kesetaraan sosial keberagamaan, begitu juga dengan Buya Syafii Ma’arif yang mendudukan kemanusiaan dalam kursi panjang, sejajar dengan semangat keadilan sosial.
Diskriminasi terhadap minoritas, perskusi, dan tindakan-tindakan destruktif politik identitas adalah problem solving sosial yang harus mendapat perhatian lebih dari pihak-pihak terkait. Jika penjajahan harus dihapuskan, begitu juga praktik-praktik diskriminatif mayoritas terhadap minoritas harus juga dihapuskan.
Karena pada dasarnya, hidup dengan landasan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah semangat udkhulu fi silmi kaffah. Dalam hal ini pemaknaannya adalah perdamaian, kesejahteraan dan kemaslahatan bagi semua. Dalam tradisi jawa dikenal dengan slametan, salaman, salim, jika ditarik pada akar katanya adalah salam yang berarti damai.
Untuk menciptakan perdamaian tidak harus dengan menegasikan konflik. Sebab prinsip keseimbangan juga diperlukan. Akan tetapi jika konflik itu justru dipicu oleh politik identitas, ketimpangan sosial, diskriminasi, terlebih korupsi, maka menjadi kewajiban setiap manusia untuk menyadari nilai kemanusiaannya, menyadari sikap keberagamaannya, menyadari ruh persaudaraannya, dan lain sebagainya. Sehingga menjadi basis kontrol yang kuat untuk menciptakan kehidupan yang tata tentrem karta raharja, dalam pengertian ini baldatun tayyibun wa rabbun ghafur.
Semangat Islam Progresif
Dalam bukunya “Membumikan Islam” Buya Syafii menegaskan bahwa memang sudah menjadi kewajiban kita untuk berdakwah mengajak mereka (non-Muslim) menganut Islam melalui cara-cara yang beradab dan sopan. Namun, Bilamana mereka tidak bersedia menganut Islam, kita harus menghormati mereka dan bergaul dengan mereka secara baik dan saling menghargai.
Begitu juga Gus Dur, sikapnya yang tegas dalam melindungi golongan Ahmadiah. Kemudian meresmikan Agama Konghucu, dan bersikap menghormati terhadap perbedaan agama dan kepercayaan menjadi bukti bahwa nilai-nilai profetik yang menjadi amanah Tuhan kepada Nabi Muhammad dijalankan dengan baik.
Dalam Surat Al Anbiya ayat 107 yang artinya, “Tidak Kami utus engkau (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” Hal ini jelas bahwa Nabi Sendiri menjadi menebar kebaikan tidak hanya untuk umat Islam saja, melainkan mereka yang non-muslim juga berhak menerima kebaikan itu.
Inilah semangat pluralisme yang kerap disalahartikan menjadi rangkaian sikap liberal. Tidak sedikit saudara kita sesama muslim yang apatis dengan semangat pluralisme multikultural, karena menganggap bahwa berteman dengan non-muslim maka termasuk golongan menyerupai.
Ada fenomena sosial yang cukup mengernyitkan dahi, di mana simbol-simbol agama menjadi alat justifikasi. Semisal, ada yang membakar baju barunya karena ada simblo “+” dalam motif baju kokonya. Mengapa tidak diberikan kepada tetangga yang kurang mampu saja, daripada dibakar, bukankah itu justru menjadi sangat berlebihan. Padahal Tuhan tidak suka sikap yang berlebihan.
Kehidupan yang sejahtera, saling membantu sesama, gotong royong, bahu membahu menciptakan kemaslahatan umat manusia adalah semangat yang juga dibawa oleh panutan kita Al Amin Al Badru Muhammad Saw.
Perbedaan adalah anugerah yang perlu disyukuri dan dijadikan satu prinsip keseimbangan. Sebab dengan itulah akan menjadi upaya kita untuk mencapai rida ilahi rabbi.
Menata Kehidupan yang Luhur
Islam mengajarkan kita untuk saling mengenal satu sama lain, karena perbedaan itu adalah fitrah. Tugas manusia di adalah mengabdi dan menjaga haqqul adaminya (prinsip kemanusiaannya).
Seperti doa yang kerap kita sebut, yakni Doa Sapu Jagad. Tujuannya adalah menjadi baik di dunia dan di akhiratnya pula. Caranya adalah dengan menciptakan kehidupan yang luhur. Di mana polanya adalah saling menjunjung tinggi nilai dan moralitasnya.
Prinsip kebudayaannya adalah satata gama karta raharja, bahwa semua agama itu menata untuk kesejahteraan uman manusia. Islam menyempurnakan keluhuran itu dengan tidak hanya bahagian di dunia, tetapi juga bahagia di akhirat.
Buya Syafii membagikan wacana tentang kehidupan yang luhur ini dalam spektrum sosial keberagamaan. Di mana memahami Islam dengan benar, adalah memadukan sikap religiusitas, spiritualitas dan inteletualitas. Kemudian menguatkan aspek pendidikan, sebagai sarana menangkap perkembangan dan kemajuan jaman. Ditopang dengan prinsip kemandirian atau ekonomi yang kuat.
Tidak hanya itu, dalam merajut kebersamaan harus diperkuat dengan kebudayaan yang adiluhung; prinsip musyawarah untuk mufakat. Sebab dalam pandangan Islam umat manusia itu sama di mata Tuhannya, terlepas dari kemelekatan yang ada di dalam dirinya. Dominasi strata sosial dalam Islam sama sekali dihapuskan, kanjeng Nabi Muhammad mencontohkan itu.
Ketika Islam menempatkan manusia itu sejajar di mata Tuhan, maka prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan umat manusia seluruh dunia secara umum adalah upaya untuk mengejawantahkan prinsip Islam rahmatan lilalamin dalam kehidupan ini.
Oleh sebab itu, harapan saya adalah dengan ulang tahun IBTimes.ID yang ke 4, serta 2 Dekade MAARIF Institute dengan semangat Buya Syafii Maarif menjadi mercusuar pemikiran dan kebudayaan Islam yang selalu mencerahkan umat manusia dan menjadi salah satu lokomitif menuju masyarakat yang berbudi luhur, makmur dan saling menjaga kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.
Editor: Soleh