Sebelum membahas tentang merdeka belajar, ada sebuah pertanyaan besar dalam benak penulis. Apakah pembukaan ajaran baru pada tanggal 13 Juli nanti siap mengaktualisasikan konsep merdeka belajar di satuan pendidikan ?
Dalam paradigma berpikir masyarakat Indonesia tentang merdeka belajar, terdapat pandangan pada orangtua dan guru. Bahwa pengembangan bakat kreatif memerlukan iklim keterbukaan dan kebebasan yang dapat menimbulkan konflik dalam pembelajaran karena bertentangan dengan disiplin.
Cara pandang ini sangatlah tidak tepat. Konsep merdeka belajar justru menuntut disiplin ketat agar dapat diwujudkan menjadi kegiatan belajar yang nyata dan bermakna. Karena konsep merdeka belajar tidak keluar dari konsep mastery learning dimana sebuah gagasan harus mencapai ketuntasan belajar.
Anak yang “Merdeka”
Anak yang memiliki peran sebagai pusat pembelajaran, selayaknya memang di fasilitasi sesuai dengan karakter unik dirinya. Sehingga menjadikan anak bertumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrahnya. Tetapi, sebagai warga negara, anak wajib memahami bahwa dirinya merupakan pelanjut generasi Indonesia. Sehingga kebebasan yang menjadi hak individunya diikat oleh kewajibannya sebagai warga negara.
Hakikatnya merdeka belajar itu terkait dengan peran anak sebagai pusat pembelajaran. Dan menjadi sebuah aksioma, anak sebagai peserta didik itu “unik” dengan seluruh potensi dan kapasitas yang ada pada diri mereka. Keunikan ini tidak dapat diseragamkan dengan satu aturan dan ukuran yang sama antara peserta didik satu dengan lainnya.
Merdeka belajar adalah sebuah konsep yang mempersatukan antara keutuhan anak sebagai fitrah yang merdeka. Tetapi tetap linier dengan tujuan konstitusi nasional yang tertera dalam pembukaan Undang-Undang Dasar, yaitu agar rakyat Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Pendidikan yang memerdekakan, mensyaratkan agar sistem yang ada di sekolah memiliki komitmen untuk terus belajar mengembangkan keilmuan, baik secara teori maupun praktek. Mutu dari lembaga pendidikanpun berorientasi pada proses. Dengan selalu memiliki orientasi yang jelas dalam merumuskan tujuan-tujuan pendidikan.
Lembaga pendidikan tidak hanya terpaku membangun dan mengembangkan sarana dan prasarana yang mewah, tetapi melupakan pembangunan terhadap iklim pembelajaran yang positif. Iklim pembelajaran tersebut merupakan ruh dari sebuah proses pendidikan. Dimana interaksi positif terjadi antara guru sebagai pendidik, anak sebagai peserta didik dan sekolah sebagai tempat berlansungnya proses pembelajaran.
Kreativitas Merdeka
Sistem pendidikan yang bermutu dapat diperhatikan dari proses pembelajaran yang berlangsung di kelas. Yakni apakah interaksi edukatif di kelas tersebut berlangsung secara menarik dan menantang? Sehingga anak sebagai peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan.
Fakta-fakta dilapangan, cara-cara konvensional yang lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit, lebih marak dilakukan dalam proses pembelajaran di kelas. Padahal untuk mencapai tujuan merdeka belajar, diperlukan kelas-kelas yang dapat memobilisasi segala sumber daya pembelajaran dan pendidikan.
Pengelolaan kelas yang ideal seharusnya menjalankan fungsinya sebagai ruang interaksi yang edukatif, dan memberi perhatian kepada pengembangan bakat kreatif peserta didik. Sehingga akselerasi anak dalam peran sentralnya di sebuah proses pendidikan dapat berlangsung dengan baik.
Ketidaksiapan secara konsep dalam memandang bakat kreatif peserta didik, menjadi satu persoalan yang manjadi titik perhatian dalam keberhasilan merdeka belajar. Padahal kreatif dan kreatifitas merupakan kebutuhan anak sebagai implementasi dari firah yang bermanfaat untuk pengembangan dan pewujudan dirinya. Abraham Maslow menyebutnya sebagai self actualization, sebuah hirarki tertinggi dari piramida kebutuhan manusia.
Dalam proses pembelajaran dilakukan dari proses merasakan dan mengamati adanya masalah. Membuat dugaan tentang kekurangan, menilai dan meguji dugaan atau hipotesis, kemudian mengubahnya dan mengujinya lagi sampai pada akhirnya menyampaikan hasil yang terbarukan.
Kreativitas yang diimplementasikan dalam pembelajaran di kelas diharapkan dapat melahirkan ide dan berbagai produk berbeda. Harapannya, ide dan karya yang divergen dan progresif akan muncul dalam proses pembelajaran tersebut. Sehingga kelas di sebuah sekolah menjadi hidup dengan adanya interaksi yang positif antara sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Bagaimana Seharusnya?
“What’s wrong in our classroom?” demikian ungkapan Kenedy ketika Amerika resah dengan ketertinggalan negaranya pada era perang dingin. Pernyataan ini menggaris bawahi bahwa kelas-kelas yang diampu oleh seorang guru memiliki peran penting dalam sebuah entitas pendidikan bermutu dan menjadi dasar dari sebuah bangunan peradaban.
Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa peran guru dapat dimetaforakan seperti seorang petani. Seorang petani yang baik akan melakukan proses menanam dan merawat tumbuhannya sesuai dengan kararter masing-masing tanaman. Baik itu untuk lahan yang akan digunakan ataupun metode dan assassmennya.
Metafora petani dan padi dapat dilihat juga dalam proses belajar mengajar. Bahwa guru dan lembaga sekolah harus menghargai perbedaan yang ada pada diri peserta didiknya. Keunikan-keunikan itu memang menimbulkan permasalahan tersendiri. Dimana ini kemudian mewajibkan seorang grur harus lebih effort untuk eksplorasi. Eksplorasi ini terkait dengan metode pengaplikasian konsep belajar merdeka dalam satu kerangka kerja terpadu.
Perkembangan anak didik dapat dikatakan baik ketika ada perubahan kualitas yang seimbang dari berbagai potensi. Sehingga tidak ada satu aspek perkembangan dalam diri yang dinilai lebih penting dan istimewa dari perkembangan lainnya.
Tantangan
Pengumandangan merdeka belajar tentu harus diikuti oleh penyelenggaraan pendidikan dengan memberikan pelayanan yang bersifat individual kepada peserta didik. Hal ini sebenarnya telah diamanatkan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yaitu:
“Agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Jika pada masa sebelumnya pembelajaran bertujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan yang berorientasi standar akademik tunggal, maka saat ini merdeka belajar perlu diupayakan. Pembelajaran yang berdiferensiasi untuk memberikan pelayanan terhadap perbedaan dalam minat, potensi dan kemampuan peserta didik.
Masa depan Indonesia sebagai sebuah state membutuhkan generasi yang memiliki kemampuan menghadapi tantangan dan perubahan di era yang semakin terbuka. Dalam era dunia 5.0 yang ditandai semakin sempitnya jarak, ruang dan waktu serta beralihnya kelekatan dunia pada kebudayaan dan bahasa. Maka setiap individu dituntut untuk mempersiapkan kompetensinya agar mampu menghadapi tantangan-tantangan ini.
Kebutuhan akan kreativitas sebagai aktualisasi bakat kreatif peserta didik dipandang menjadi bagian penting dalam penyelenggaraan pendidikan dewasa ini. Karena pemenuhan kebutuhan potensi setiap peserta didik dapat memberikan sumbangan yang bermakna bagi pembangunan sumber daya manusia bagi masyarakat dan negara.
Hal ini masih merupakan suatu tantangan besar bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Dari tingkat makro, meso, apalagi tingkat mikro di kelas yang menjadi ujung tombak merdeka belajar. Di tengah tantangan ketidak sepakatan terhadap makna dari merdeka belajar, perubahan sulit dari paradigma behaviorisme menjadi konstruktivisme dan penghargaan terhadap guru yang masih belum sepenuhnya diimplementasikan dalam kebijakan.
Editor: Sri/Nabhan