Perspektif

The Invisible Hand di Era Pandemi COVID-19

4 Mins read

Indonesia telah mengalami milestone tersulit dalam tonggak sejarah pasca krisis 1998. Gencatan pandemi COVID-19 secara perlahan namun pasti memporak-porandakan kehidupan manusia, baik kesehatan, pariwisata, industri, sosial-ekonomi, dan juga beberapa sektor lainnya.

Tercatat per tanggal 9 Juli 2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 mengumumkan angka kasus pasien terkonfirmasi positif sebanyak 70.736 orang, pasien sembuh sebanyak 32.651 orang, dan pasien meninggal sebanyak 3.417 orang. Kita semua tahu bahwasanya angka ini terus mengalami kenaikan setiap harinya.

Lonjakan angka positif COVID-19 tersebut semakin curam di era new normal yang tengah diberlakukan saat ini. Bahkan, kabarnya COVID-19 ini diperkirakan masih terus ada dan mengintai hingga akhir tahun 2020.

COVID-19 Bukan Sekadar Penyakit

Akhir 2019 dan awal 2020, virus COVID-19 datang mengguncang dunia. Dunia seakan dibuatnya berhenti berputar. Kantor, sekolah, tempat ibadah, mal, pasar, hotel, tempat wisata, dan jalanan menjadi lengang. Kendaraan hanya di parkir di rumah, pabrik berhenti beroperasi, konsumsi energi anjlok, layanan transportasi berkurang drastis.

Sejak COVID-19 merebak, emisi karbon di daerah yang menjadi episentrum pandemi berkurang drastis. Langit menjadi biru lagi, binatang berkeliaran di jalan mengambil alih manusia, air di kanal-kanal kembali bersih membawa ikan kembali ke dalamnya. Ternyata, virus COVID-19 membantu alam memperbaiki dirinya sendiri.

Ketika pemerintah tidak mampu memperbaiki kerusakan alam dan sangat lambat untuk menyadarinya, COVID-19 datang mengembalikan keseimbangan lingkungan hidup. Di sini tangan Tuhan bermain. Seperti janjiNya: “Dan sesungguhnya, Kami telah enciptakan tujuh lapis langit di atas kamu, dan Kami tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami” (QS. al-Mukminun: 17)

Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah sekali-kali tidaklah lengah terhadap yang lainnya, karena peredaran semua planet itu mengikuti peraturan tertentu. Seandainya Allah lengah terhadapnya, niscaya akan terjadi benturan-benturan planet itu satu sama lain, yang mengakibatkan timbulnya bencana yang tidak dapat diperkirakan kedahsyatannya.

Baca Juga  Makanan Islami adalah yang Halal dan Tayib!

Itu berarti adanya virus COVID-19 ini adalah bukan sekadar penyakit yang membuat manusia khawatir dengan ancaman yang sangat mematikan. Akan tetapi adanya virus COVID-19 ini juga membuat alam bisa memperbaiki lingkungannya.

Adanya larangan untuk beraktivitas di luar rumah serta peraturan PSBB membuat manusia tidak bisa lagi beraktivitas memanfaatkan hasil alam. Sehingga masyarakat yang biasanya melakukan aktivitas penebangan pohon dan pembakaran hutan sembarangan kini tidak bisa lagi karena adanya COVID-19 ini.

Keadaan EkonomI Indonesia

Pertumbuhan ekonomi indonesia sendiri pada kuartal 2 (Q2) versi Kementerian Keuangan berada pada titik sebesar -3,8%. Namun, angka ini baru bisa dipastikan dari rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Agustus nanti.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam koferensi pers virtual BNPB pada Selasa, 30 Juni 2020 mengungkapkan:
“Estimasi kami di Kementrian Keuangan negatifnya 3,8%, bandingkan dengan tadi negara-negara maju atau bahkan India, Singapura -6,8%. Namun ini adalah contoh estimasi yang berbasiskan indikator-indikator yang kita bisa track. Tentu kita akan melihat ketika BPS menyampaikan angka pastinya pada kuartal kedua awal Agustus yang akan datang.”

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat untuk tetap beraktifitas di dalam rumah membuat masyarakat khawair akan kelangsungan hidup mereka. Karena mereka yang sehari-harinya bekerja sebagai sopir, ojek online, dan sebagainya harus menerima kebijakan dari pemerintah untuk tidak bekerja dulu.

Peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan kini New Normal membuat mereka tetap beraktivitas di rumah, atau setidaknya mengurangi aktivitas di luar rumah. Dan sebagian warga juga ada yang melakukan karantina wilayah untuk mencegah penyebaran virus COVID-19 ini.

Adam Smith dan The Invisible Hand

Ekonom terkenal dunia, Adam Smith yang lahir di Skotlandia tahun 1723 menyampaikan gagasannya mengenai The Invisible Hand (tangan tak nampak), atau sering dikenal dengan frasa tangan Tuhan.

Baca Juga  Kebijakan Covid-19 Telah Diatur dalam Islam

Menurut Smith, tanpa campur tangan pemerintah, keseimbangan pasar akan terbentuk dengan sendirinya secara natural oleh tangan tak terlihat sebagai proses dialektik alamiah antara supply (penawaran) dan demand (permintaan).

Pandangan Smith ini menafikan peran pemerintah untuk menyeimbangkan pasar. Pemerintah dianggapnya sebagai organisasi formal yang justru menghambat perekonomian dan terbentuknya mekanisme pasar secara natural.

Interaksi antara penawaran dan permintaan secara natural merupakan respon rasionalitas manusia, di mana setiap individu mempunyai kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dan meraup sebesar-besarnya keuntungan pribadi. Tendensi tersebut mendorong orang untuk memproduksi barang kebutuhan konsumen.

Penawaran dan permintaan yang berjalan secara natural akan melakukan koreksinya sendiri. Jika produksi berlebih, maka pasar akan beraksi melalui penurunan harga. Jika yang terjadi sebaliknya, produksi berkurang dan barang menjadi langka, maka harga akan meningkat.

‘Tangan tak tampak’ merupakan metafora yang digunakan Smith untuk menjelaskan manfaat sosial yang tak terduga dengan terjadinya pemerataan pendapatan dan produksi yang muncul dari tindakan individu yang mengejar kepentingannya, yakni meraup keuntungan. Dengan catatan, tindakan tersebut bertujuan untuk memakmurkan masyarakat.

Sayangnya, pemerataan pendapatan dan produksi tidak terjadi dan tidak menguntungkan bagi konsumen. Teori Smith justru melapangkan jalan bagi kapitalisme. Para pemilik modal semakin rakus mengeksploitasi sumber daya alam dan melakukan konglomerasi usaha demi kepentingan pribadi.

The Invisible Hand ala Smith menciptakan kebebasan tanpa batas dan semakin mendorong orang untuk cenderung meraup cuan sebanyak-banyaknya dan mengakumulasi modal dengan satu keyakinan bahwa semua kekayaannya dapat membantu kaum miskin. Namun nyatanya,yang terjadi adalah the dirty hand.

The Invisible Hand di Era Pandemi

The Invisible Hand yang dicetuskan Adam Smith menemukan kembali relevansinya saat pandemi COVID-19 merebak. Ketika pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan-kebijakan seperti PSBB yang mengakibatkan beberapa pihak yang terkena dampak seperti mall, kantor, hotel, tempat wisata tidak bisa beroperasi akibat larangan dari pemerintah.

Baca Juga  Sidang Isbat dan Gerhana Matahari Hibrida

The Invisible Hand Adam Smith mengatakan bahwa pemerintah sedapat mungkin untuk tidak campur tangan dalam perekonomian suatu negara. Teori Adam Smith ini menggambarkan jika pemerintah tidak campur tangan, maka ekonomi akan berjalan lancar dan tidak akan mengalami krisis seperti saat pandemi ini.

Jika pemerintah tidak mengeluarkan peraturan-peraturan PSBB dan sejenisnya, mungkin saja kantor, mall, tempat wisata dan sektor lain masih bisa beroperasi seperti biasanya, sehingga ekonomi negara tidak mengalami krisis seperti ini.

Telah kembalinya relevansi The Invisible Hand Smith ini membuat alam dan lingkungan membaik. Para masyarakat yang tidak memiliki modal untuk bersaing menciptakan produk yang berkualitaspun kini telah bereaksi.

Adanya COVID-19 ini, menjadikan mereka mencoba membuat kreasi untuk menciptakan sebuah produk yang membantu untuk pencegahan COVID-19 dengan modal yang tidak besar. Bahkan mereka dapat mengandalkan barang bekas untuk dijadikan barang yang bisa mereka jual dengan harga yang tinggi.

Terakhir, COVID-19 ini bukan saja ancaman bagi semua negara, akan tetapi adanya COVID-19 ini membantu alam untuk memperbaiki ekosistemnya. Cukup sekali ini tangan Tuhan bekerja., COVID-19 tidak perlu dijadikan solusi untuk mengatasi masalah lingkungan.

Manusia harus belajar dari peristiwa merebaknya virus ini. Kita harus mendefiniskan kembali strategi pemanfaatan kekayaan alam untuk kesejahteraan bersama. Tidak ada lagi kebebasan tanpa batas pemilik modal yang menimbulkan ketidakadilan dan ketidakseimbangan. Selamat berpikir!

Editor: Rifqy N.A./Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya Prodi Perbankan Syari'ah
Articles
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *