Perspektif

Milad 59 IMM: Babak Baru Gerakan IMM dan Gen Z

3 Mins read

Kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada 14 Maret 1964 tidak hanya sekedar ceremonial dan sebatas memperluas gerakan Muhammadiyah dengan organisasi otonom yang bergerak di dalam tubuh mahasiswa.

Jauh lebih dalam dari itu, kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah berangkat dari akar permasalahan yang sangat krusial pada masanya. Sehingga, kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah berangkat dari kesadaran filosofis dan juga historis atas ketidaksepakatan terhadap realita pada waktu itu.

Sejak tahun 1936 wacana untuk mendirikan organisasi yang dapat mewadahi para mahasiswa, khususnya dalam ruang lingkup Muhammadiyah sudah menjadi perbincangan yang alot dalam tubuh aktivis persyarikatan. Wacana untuk mendirikan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah makin menguat pasca-kemerdekaan, khususnya pada dekade tahun 1950-an sampai 1964 tersebut.

Menguatnya wacana pendirian Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di internal aktivis persyarikatan tidak bisa dilepaskan dari faktor politik dan sosial saat itu. Hal ini ditandai dengan kuatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia dalam proses pengambilan kebijakan politik nasional saat itu. Pada akhirnya, ikhtiar mendirikan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah terlaksana di Yogyakarta pada 14 Maret 1964.

Dinamika Wacana Pasca Kelahiran IMM

Setahun setelah berdirinya IMM, yakni pada tahun 1965. Lahirlah enam penegasan IMM untuk menekankan orientasi gerakan IMM. Enam penegasan IMM ini lahir saat Musyawarah Nasional I IMM tahun 1965 di Surakarta (Solo), atau biasa juga disebut dengan Deklarasi Kottabarat (DEKOBAR).

Pada forum ini juga, Soekarno merestui IMM sebagai organisasi yang sah. Meskipun IMM telah diresmikan menjadi sebuah organisasi, ternyata ikhtiar untuk mempertegas orientasi gerakan organisasi ini tetap bergulir.

Hal ini ditandai dengan banyaknya wacana-wacana yang dikeluarkan oleh IMM. Seperti, Identitas IMM yang lahir pada Tanwir IV di Magelang 1970, Profil Kader Ikatan yang lahir pada SEMILOKAS di UMS 1986, Nilai Dasar Ikatan yang lahir pada Muktamar VII di Purwokerto 1992, dan beberapa Deklarasi (Deklarasi Garut 1967, Deklarasi Masjid Raya Baiturrahman 1975, Deklarasi Kota Malang 2002, Manifesto Politik 40 Tahun IMM 2004, Deklarasi Kota Medan 2012, dan Deklarasi Setengah Abad IMM 2014).

Baca Juga  Djazman English Scholarship dan Internasionalisasi Gerakan IMM

Hal ini menjadi pertanda bahwa kelahiran IMM baik pra maupun pascanya sarat akan wacana dan pendobrakan atas realitas yang dihadapi. Kelahiran wacana-wacana Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sangatlah dipengaruhi dari pengelolaan organisasi, khusunya perkaderan dan gerakan sosialnya. Wabil khusus dalam sistem pengelolaan sumber daya manusianya (SDM) yang kritis, solutif, adaptif, dan responsif.

PR Besar IMM di Umur 59 Tahun

Hari ini, di umur Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang semakin senja, yakni 59 tahun. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah menghadapi babak baru persoalan yang harus ditangkap, diurai, lalu dipecahkan untuk mewujudkan transformasi sosial. Setidaknya, ada tiga persoalan mendasar yang harus diselesaikan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai Mahasiswa, dan Generasi Z.

Pertama, percepatan teknologi dan informasi membuat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah agaknya sedikit bingung dalam mencari model gerakan yang pas. Apalagi, hal ini semakin menguak dengan massifnya penggunaan media digital saat covid melanda. Hal ini membuat wacana transformasi digital multisektor sering muncul kepermukaan, bahkan dalam forum-forum akademis.

Sayangnya, hal ini belum menjadi perhatian serius dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang dicanangkan menjadi akademisi Islam. Jikalaupun ada, yang diperbincangkan hanya pada tataran normatif-dialogis tanpa arah. Belum sampai kepada lahirnya gagasan ataupun wacana bagaimana menemukan model organisasi yang terintegrasi dengan realitas sosial kita hari ini. Khusunya di era-digital.

Kedua, karakteristik sumber daya manusia atau pelaku organisasi yang notabenenya adalah generasi-z. Generasi Z adalah generasi yang lahir pada kisaran tahun 1997-2009, dimana mayoritas sekarang sedang menempuh pendidikan di kampus-kampus. Kelahirannya disambut megah dengan perkembangan dan kemajuan dari revolusi industri 4.0 tadi.

***

Ikatan Mahasisawa Muhammadiyah sebagai organisasi yang mewadahi para mahasiswa tentunya harus dapat menangkap gejala ini. Tidak sedikit pembahasan yang digulirkan untuk membahas generasi ini. Ada yang menyebut generasi-z sebagai generasi yang kreatif, lebih cerdas dari generasi sebelumnya, dan mudah beradaptasi.

Baca Juga  Islamofasisme: Gerakan Islamisme atau Gerakan Nasionalisme Ekstrem?

Namun disisi lain, tidak sedikit pula yang mencap generasi ini sebagai generasi yang karbitan, pragmatis, malas berfikir, individualis, dan lainnya. Oleh karena itu, hal ini perlu menjadi pembicaraan serius dalam tubuh ikatan.

Menjadi sebuah keniscayaan untuk menghadirkan rumusan pengelolaan sumber daya manusia dalam tubuh ikatan yang apresiatif dan progresif agar para aktivis IMM (Kader IMM) tetap dapat menjaga nilai-nilai perjuangan yang ada dalam tubuh ikatan ini secara filosofis-historis.

Ketiga, kompleksitas permasalahan sosial-politik Indonesia dan menguatnya oligarki. Pada hari ini, hampir setiap hari tampaknya pemberitaan di media sosial terkait permasalahan-permasalahan sosial-politik Indonesia. Entah itu berita tentang kriminalitas, pelecehan dan kekerasan seksual, korupsi, hingga kasus-kasus pelanggaran HAM. 

Hal ini tentunya harus menjadi perhatian serius dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Mengingat kelahiran IMM berangkat dari sejarah ketidaksepakatan IMM terhadap masalah sosial-politik dimasanya.

Namun, dalam mengatasi permasalahan satu ini, hemat penulis IMM perlu menyelesaikan permasalahan di atas terlebih dahulu. Agar gerakan IMM memiliki signifikasi yang jelas dan memberikan dampak yang luas serta memberikan alternatif gerakan yang solutif. Wallahu a’lam.

Editor: Soleh

Ramadhanur Putra
12 posts

About author
Ramadhanur Putra, lahir di Matur, Kab.Agam, Sumatera Barat pada 14 November 2001. Rama menempuh pendidikan dasar di kampung halaman, kemudian mondok di Ponpes Tahfidzul Quran Muallimin Muhammadiyah Sawah Dangka. Selama sekolah, Rama aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan mengakhiri pengabdiannya pada tahun 2020 sebagai Ketua Umum PD IPM Bukittinggi. Sekarang Rama kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di Program Studi PAI. Ia juga aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, menjadi bagian dari forum diskusi ‘Komunal_YK’, alumni SILAM Angkatan II (Sekolah Pemikiran Islam) dan juga forum Baret Merah Angkatan XX di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds