Dalam beragama, manusia akan terus berproses. Barangkali hanya mati dan kematianlah yang menghentikan. Ini terjadi tak hanya pada adam manusia pertama, tapi juga Ibrahim, hingga Muhammad. Ibrahim sendiri menjadi tauladan bahwa agama adalah akal. Ia akan terus berdialog, berdebat, saling seteru dan pada akhirnya menjelma dalam praktik sekaligus dalam hati. Ada kesatuan, antara derap langkah, ucapan, dan bisik hati. Begitulah gambaran bagaimana agama bukanlah sesuatu yang final. Meski kita tahu secara prinsip dan ajaran sudah berakhir semenjak kematian Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalahnya.
Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman, manusia sendiri tak bisa dipungkiri ia ada pada dua peranan. Manusia bisa dipandang sebagai objek, sekaligus subjek dari agama. Sehingga tak bisa dipisahkan pandangan orang pada umumnya saat memberikan stempel agama tertentu jahat, buruk, dan tak manusiawi saat ia melihat pemeluk agama tertentu melakukan teror dan tindakan di luar kemanusiaan.
Sekelompok anak muda yang tinggal dan bermukim di Pondok Hajjah Nuriyah Sobron mencurahkan proses (pengalaman) beragama tersebut pada buku Refleksi Cendekiawan Berpribadi (2019). Sebagai anak muda yang sebagian besar masih menempuh studi di fakultas agama islam, pemikiran mereka masih terasa baru. Mereka adalah mahasiswa semester satu sampai lima yang berasal dari berbagai wilayah baik Jawa, Kalimantan maupun Sumatera.
Proses pencarian mereka terhadap Islam menjadi pemikiran menarik saat dikaitkan dengan kaum milenial. Kaum milenial biasanya identik dengan tempat belanja, gaya hidup serba teknologis, serta eksis. Para milenialis ini biasanya memang jauh dari buku. Sebab gawai sudah di tangan mereka. Akan tetapi, kita menemukan hal lain dari kehidupan keseharian mereka. Tinggal di pondok, berorganisasi, aktif kuliah dan akrab dengan buku. Alhasil, kita bisa menemukan pengakuan serta pengalaman mereka saat merefleksikan Islam mereka.
Semua anak muda di buku ini setidaknya mengalami tiga hal ; resah, haus akan pencarian, dan tak berhenti belajar. Proses pencarian tentang islam bakal kita temukan di hampir semua tulisan di buku ini. Mari kita tengok cuplikan tulisan mereka yang menggambarkan keresahan dan kegelisahan mereka yang cenderung berubah. Dewasa ini, saya secara tidak sadar merekonstruksi makna religius yang dikatakan ustad/ustadah dulu (h.9).
Pada tulisan lain, Muk Andhim misalnya mengisahkan tranformasi pemikirannya di kala kecil dan berubah saat SMA. “Ketika masih anak-anak, terutama waktu SD, saya masih menganggap bahwa islam itu hanya syahadat, shalat, zakat, puasa, dan Haji. Saya mulai tertarik dan semakin penasaran dengan banyaknya perbedaan, sehingga mendorong diri untuk lebih mendalami harokah-harokah yang ada di sekitar saya.” (h.31).
Pemikiran mereka kemudian berkembang serta tak lagi kaku saat mengikuti kuliah pemikiran Islam di Fakultas Agama Islam di UMS. UMS sendiri termasuk universitas yang cukup tua di Solo. Melalui Pondok Sobron, lahirlah pemikir dan tokoh islam yang mumpuni seperti Zakyudin Baydawi, Syamsul Hidayat yang menjadi tokoh moncer di pimpinan pusat Muhammadiyah, juga Sunanto yang kini menjabat sebagai ketua Pemuda Muhammadiyah, atau Ahmad Norma Permata yang kini jadi cendekiwan di UIN Sunan Kalijaga.
Karen Amstrong di bukunya Islam Sejarah Singkat (2002) menulis hal menarik mengenai bagaimana proses pencarian islam. “ Kita tidak pernah mengalami transendensi secara langsung: ekstase kita selalu “membumi”, terpatri pada sesuatu atau orang yang di bawahnya. Orang-orang religius dididik untuk melihat ke bawah permukaan yang tidak menjanjikan demi menemukan kesakralan di dalamnya. Mereka harus menggunakan imajinasi kreatif mereka.” Selanjutnya Amstrong menambahkan “Tiap tradisi mendorong orang yang beriman untuk memfokuskan perhatian mereka pada sebuah simbol duiawi yang sangat jarang menjadi dirinya sendiri, dan mengajarkan diri mereka sendiri untuk melihat Tuhan di dalamnya.”
Pemikiran anak muda yang masih mencari dan menemukan islam di buku ini bisa dipandang sebagai sebuah upaya merefleksikan, bertransformasi, dan mendektonstruksi makna “Islam” sebagai sebuah proses yang tak henti. Mereka merumuskan “Islam” tak lepas dari pengaruh orangtua, guru atau ustad, hingga buku-buku yang mereka baca. Sebagaimana pengakuan mereka saat kuliah dan mendapati mata kuliah FIK (Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman) yang mendobrak mereka lebih kritis terhadap cara mereka memandang Islam. Kita bersyukur, pandangan keislaman mereka bergerak makin inklusif dan reflektif. Dengan begitu, kita optimis tentang masa depan pencarian “Islam” mereka tidak berhenti pada islam doktriner, konservatif, yang identik dengan kekerasan dan bom.