Tasawuf

Mitos di Masyarakat tentang Kesehatan Mental

3 Mins read

Term ‘mental yang sehat/kesehatan mental’ sering dimaknai oleh sebagian orang sebagai kondisi seseorang yang tidak stres, tidak edan, tidak berpakaian compang-camping, alias waras. Di salah satu program televisi swasta, penulis pernah menonton seorang tokoh partai besar di Indonesia yang mengenakan setelan jas rapi dan diwawancarai oleh seorang wartawan dari televisi swasta tersebut.

Seorang laki-laki dengan setelan jas rapi tersebut mengatakan kepada wartawan bahwa wawancara harus berlangsung singkat. Sebab ia sedang stres dengan pekerjaan yang kian menumpuk. Jika laki-laki dengan setelan jas rapi ini merasa stres, apakah Ia tidak memiliki mental yang sehat?

Contoh lainnya adalah sebutan edan yang disematkan dalam julukan salah satu klub sepak bola terbesar di Indonesia, yakni singo edan (singa gila). Apakah istilah edan dalam julukan sebuah klub sepak bola, menunjukkan bahwa seluruh manusia yang terlibat di dalam klub tersebut memiliki gangguan mental/bermental tidak sehat?

Mitos Terkait Masalah

Contoh-contoh di atas merupakah satu di antara contoh dari beberapa gambaran persepsi yang telah beredar di masyarakat tentang kesehatan mental atau gangguan mental. Persepsi-persepsi yang kurang benar memang perlu diluruskan agar memunculkan pemahaman yang berbanding lurus dengan realita sosial di masyararakat.

Mitos pertama tentang kesehatan mental adalah anggapan bahwa kesehatan mental sama dengan ketenangan batin. Untuk menguak kebenaran di balik persepsi (mitos) ini, dibutuhkan benang merah yang mampu membedakan antara ketenangan batin dan kesehatan mental.

Kartika Sari Devi (2012) dalam buku ajar tentang kesehatan mental menjelaskan bahwa ketenangan batin adalah ungkapan ketiadaan konflik atau masalah di dalam kehidupan. Sedangkan kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan, manusia yang bermental sehat ­bukan berarti tidak dapat tertimpa masalah. Tetapi mampu menyesuaikan diri dengan setiap masalah yang dihadapai (baik masalah dari diri sendiri, orang lain, atau lingkungan).

Baca Juga  Manuskrip Pasaman Bicara Soal Adab Suluk

Manusia yang sedang tidak menghadapi masalah berarti sedang memiliki batin yang tenang. Namun tidak selamanya manusia hidup tanpa masalah. Ungkapan satir bahkan menyebutkan bahwa manusia hidup saja sudah jadi masalah, apalagi hidup dalam masalah.

Bukan Penyakit Turunan

Persepsi yang kedua adalah anggapan tentang gangguan mental adalah sejenis penyakit turunan. Jika memang benar, maka seharusnya jumlah rumah sakit jiwa di Indonesia banyak sekali karena harus menampung seluruh manusia yang memiliki orang tua bermental tidak sehat. Secara medis memang gangguan mental dapat disebabkan oleh faktor genetik, tetapi tidak semua orang yang bermental tidak sehat disebabkan oleh faktor gen.

Interaksi individu pada awal kehidupannya dan masalah intrapsikis yang terjadi juga dapat memengaruhi perkembangan kesehatan mentalnya. Selain dua hal di atas; pola asuh keluarga, pengaruh agama & budaya, serta pengalaman sebagai korban tindak kriminalitas juga dapat mengganggu kesehatan mental seseorang.

Satu di antara pengalaman penulis yang tak kan lekang oleh waktu terkait dengan keyakinan penulis bahwa gangguan mental bukan penyakit turunan adalah kunjungan ke Rumah Sakit Jiwa Lawang dalam rangka tugas akhir perkuliahan jurnalistik pada tahun 2014. Seorang perempuan setengah baya yang selalu menyenandungkan lagu-lagu Rhoma Irama terlihat disuapi makanan oleh seorang pemuda berkacamata. Setelah beberapa jam menggali informasi dari beberapa suster di Rumah Sakit Jiwa tersebut, penulis mendapatkan fakta bahwa pemuda yang menyuapi adalah anak dari perempuan setengah baya.

Perempuan tersebut mengalami gangguan mental karena tidak siap menerima kenyataan bahwa anak laki-lakinya tidak menjadi seperti Rhoma Irama. Perempuan setengah baya mengalami gangguan mental bukan karena faktor gen, tetapi karena faktor harapan yang tidak menjadi kenyataan.

Baca Juga  Konsep Sufistik ala Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Mitos Pakaian dan Lingkungan

Mitos selanjutnya adalah anggapan tentang manusia bermental tidak sehat menggunakan pakaian compang-camping/sobek-sobek/jelek. Sedangkan manusia bermental sehat mengenakan pakaian yang rapi/necis/bagus. Fakta yang pernah dialami oleh penulis secara langsung adalah pertemuan dengan seorang lelaki tua yang mengenakan pakaian pegawai negeri lengkap (bahkan memakai sabuk khas perkantoran) dan setiap hari pekerjaannya adalah berkeliling di seluruh jalan Kota Surabaya.

Usut punya usut, ternyata lelaki tua tersebut adalah mantan pelamar CPNS yang tidak lolos dan mengalami tekanan psikologis. Di sudut lain, telah menjadi tren seorang artis menyamar menjadi seorang gelandangan dengan tujuan menemukan orang-orang yang masih berkenan berbagi makanan meskipun dalam kondisi kekurangan.

Jadi, lelaki tua dengan pakaian resmi pegawai negeri yang mengalami tekanan psikologis dan seorang artis dengan  pakaian gelandangan yang berniat mencari manusia berhati tulus; manakah yang bermental sehat?

Persepsi yang terakhir adalah anggapan tentang gangguan mental merupakan aib/noda bagi lingkungan. Padahal fakta yang terjadi di lapangan justru kontradiktif, sebab lingkungan-lah yang menjadi satu di antara penyebab gangguan mental. Rasisme adalah salah satu contoh wujud kejahatan lingkungan dalam memberikan tekanan psikologis terhadap kelompok yang dianggap berbeda. Padahal semboyan nusantara adalah bhinneka tunggal ika.

Bullying juga merupakan contoh lain dari kekejaman lingkungan dalam mempermainkan orang-orang yang sering mengalah karena menghindari pertumpahan darah.

Pembaca yang budiman, saudara-saudara kita yang sedang mengalami gangguan mental; sedang butuh bantuan, bukan olokan. Mari bersama-sama menggenggam tangannya, memeluk tubuhnya, dan berbisik lirih di telinganya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Editor: Nabhan

8 posts

About author
Penulis. Alumnus Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Articles
Related posts
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (3): Praktik Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah tidak menjadikan tasawuf sebagai landasan organisasi, berbeda dengan organisasi lainnya seperti Nahdlatul Ulama. Akan tetapi, beberapa praktik yang bernafaskan tentang tasawuf…
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (2): Diskursus Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah pada awal mula berdirinya berasal dari kelompok mengaji yang dibentuk oleh KH. Ahmad Dahlan dan berubah menjadi sebuah organisasi kemasrayarakatan. Adapun…
Tasawuf

Urban Sufisme dan Conventional Sufisme: Tasawuf Masa Kini

3 Mins read
Agama menjadi bagian urgen dalam sistem kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pasti memiliki titik jenuh, titik bosan, titik lemah dalam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds