Saya menyimak perdebatan dalam kolom komentar bung Amin Mudzakkir terkait dengan opininya yang berjudul “Benarkah Pluralisme di Tubuh NU Hanya Mitos?” ini dimuat di alif.id. Sebuah opini yang menanggapi artikel Marcus Mietzner dan Burhanuddin, “The Myth of Pluralism: Nahdlatul Ulama and the Politics of Religious Tolerance in Indonesia”, dalam Contemporary Southeast Asia, Vol. 41, No. 1, 2020.
Mitos Pluralisme NU
Ini karena, obyek amatan bahasan tentang mitos pluralisme NU (dalam hal ini Nahdlatul Ulama) yang ditulis kemudian menulis balik dengan menjadi subyek yang mengkritik. Tesis apakah subaltern bisa bicara yang digaungkan Spivack menemukan argumen yang kuat. Harus diakui, riset hasil survei yang kemudian dimuat di jurnal internasional melewati proses tinjauan ketat. Sangat tidak sebanding dengan opini populer
Namun, mengajak penulis opini untuk naik ke ring yang sama dengan melawannya dengan data dan menuliskannya ke dalam sebuah jurnal atau minimal ke New Mandala sebagai website kolom akademis populer, pada satu sisi merupakan ajakan tanding yang adil.
Akan tetapi, subyek yang mengamati ini tidak melihat bagaimana konteks antara jurnal itu diproduksi dan juga opini itu dibuat. Jurnal itu dibuat tentu saja dalam ranah pemenuhan akademik dan bagian hukum publish or perish.
Di sisi lain, jurnal itu bicara bukan kepada obyek amatan, melainkan kepada lingkaran elit akademisi global yang bicara tentang hal yang sama.
Tantangan dari Mietzner
Sementara, opini itu dibuat sebagai subyek yang bersuara tentang dirinya dan komunitasnya yang sedang mengusahakan dan memperjuangkan lalu merasa perjuangannya merasa sia-sia dengan kerangkeng perspektif pluralisme sebagai mitos. Di sini apa yang dibaca melalui survei, wawancara, dan telaah literatur, dan apa yang sedang dikerjakan dan diperjuangkan sebagai bagian dari komunitas tampak tidak menemukan titik tautan.
Seandainya Amin Mudzakkir kemudian menerima tantangan untuk mengkritik artikel jurnal tersebut. Lalu dimuat dalam versi bahasa Inggris di New Mandala sebagaimana diminta oleh Marcus Mietzner. Tentu hal itu merupakan sebuah kelebihan di tengah kapasitas yang memang berbeda secara ekonomi dan infrastruktur fasilitas.
Dengan cara ini, setidaknya Amin Mudzakkir bisa menjadi medium terkait dengan sejumlah amatan para Indonesianis yang sebenarnya tidak luput dari bias kepentingan. Namun, jikalaupun tidak menerima ya engga apa-apa juga. Setidaknya sebagai bagian dari obyek amatan sudah berani untuk menyuarakan bahwasanya “kami tidak mau dibingkai seperti itu”.
Dengan kata lain, resistensi ini menjadi semacam alarm bahwasanya ada representasi yang tidak bisa direpresentasikan. Di sini, melengkapi kemudian dengan turun lapangan, melakukan wawancara mendalam untuk melengkapi temuan hasil survei menjadi penting sebagai bagian dari validasi data survei melalui riset kualitatif.
Bersuara dari Dalam
Dalam konteks yang berbeda, kehendak untuk bersuara dari dalam (insider) terkait dengan isu-isu sosial dan politik di Indonesia perlu dikedepankan. Upaya untuk bersuara dari dalam ini sebenarnya dimungkinkan bisa dilakukan oleh teman-teman yang mendapatkan tempaan pendidikan S3 di luar negeri dengan mempublikasikan karya-karyanya di jurnal internasional untuk bertarung dalam medan akademisi global.
Memang, selain fasilitas perpustakaan dan akses jurnal internasional, ada jebakan birokrasi kampus yang membuat mereka sepulang dari S3 luar negeri tidak lagi mampu menulis untuk bertarung di jurnal internasional seperti mereka menempuh S3. Namun, bagi saya, tidak adanya imajinasi perspektif poskolonial cara melihat diri sendiri dan dunia luar membuat daya kritis mereka menjadi tumpul.
Sayangnya, daya kritis ini justru memiliki energi lebih bagi sejumlah intelektual publik untuk menyuarakan ketimpangan itu di luar kampus. Sementara itu, teman-teman akademisi kampus sendiri merasa menjadi bagian dari intelektual publik di luar kampus dengan melakukan resistensi terhadap pelbagai hal mengenai jurnal internasional.
Residu Jajahan Belanda
Apa yang ditempuh oleh perguruan tinggi Islam dengan memperjuangkan jurnal mereka dalam Indeks global, sehingga berhasil masuk indeksasi scopus 5 jurnal. Di sisi lain, harus dilihat sebagai cara membangun blok sejarah perlawanan sendiri dengan membuat arena tanding sendiri-sendiri untuk merepresentasikan apa yang disebut Kajian Islam di Indonesia.
Ya, cara ini memang belum bisa dibilang tepat karena tidak ada dialog gagasan karena kurangnya para Indonesianis untuk menulis jurnal tersebut. Setidaknya, langkah ini bisa ditiru oleh kampus-kampus lain dalam bidang ilmu sosial dan humaniora. India jauh-jauh hari sudah melakukan cara seperti ini membuat mereka menjulang dengan kajian-kajian poskolonial.
Dengan membandingkan negara di Asia Tenggara (Malaysia dan Singapura), kondisi ini membuat saya secara tentatif menyimpulkan residu jajahan Belanda tampak tidak ada bau-bau intelektualnya yang membekas hingga saat ini.
Editor: Azaki