Tajdida

Moderasi Politik Muhammadiyah, Kaum Muda vs Kaum Tua

6 Mins read

-Kaum Muda vs Kaum Tua- Pasca wafat KH. Ahmad Dahlan (1923) dan KH. Ibrahim (1934), proses regenerasi kepemimpinan di Muhammadiyah tampak lebih dinamis. Pada masa kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan (1912-1922), faktor kharisma sang tokoh masih sangat kuat mempengaruhi keputusan Algemene Vergadering (Rapat Umum Terbuka) atau Jaarvergadering (Rapat Tahunan) dalam memilih Sang President, begitu pula pada masa kepemimpinan KH. Ibrahim (1923-1933).

Tetapi setelah memasuki masa kepemimpinan H. Hisyam (1934), faktor kharisma tidak lagi berpengaruh dalam proses regenerasi kepemimpinan. Seiring dengan menguatnya sistem dan institusi, maka mode kepemimpinan di Muhammadiyah pasca KH. Ibrahim tampak sangat dinamis. Berdasarkan analisis hasil kongres 1937, kaum muda menjadi unsur penting penggerak dinamika kepemimpinan di Muhammadiyah.      

Kaum Muda vs Kaum Tua

Sebenarnya, pada masa kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Ibrahim peran kaum muda sudah cukup strategis. Hanya saja, faktor kharisma kedua tokoh ini masih sangat kuat sehingga kiprah kaum muda belum begitu tampak. Pada masa kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan memasuki tahun 1916, masuknya “Turki-Turki Muda”—istilah yang populer pada waktu itu untuk menyebut “kaum muda” yang terlibat dalam jajaran HB Muhammadiyah—adalah kekuatan baru bagi sang President yang sedang memimpin gerakan pembaruan lewat organisasi Muhammadiyah pada waktu itu.

Gerakan “kaum muda” di Turki tampaknya telah menginspirasi kaum muda di Kauman, Yogyakarta, untuk berperan aktif merebut wacana pergerakan nasional, khususnya di kalangan umat Islam bumiputra. Djarnawi Hadikusuma dalam bukunya, Aliran Pembaharuan dalam Islam dari Jamaluddin Al-Afghani hingga KHA Dahlan (t.t.), menyebutkan bahwa lahirnya gerakan Hizbul Wathan (HW) pada tahun 1918 inspirasinya dari keberhasilan Hizbul Wathan di Turki. Sedangkan di Arab Saudi, pada sekitar 1926, gerakan “kaum muda” menjadi identitas bagi para pembaru keagamaan.

***

Korespondensi Haji Hanad, redaktur Soeara Moehammadijah 1926 dengan Haji Baqir, saudaranya yang sedang menetap di Makkah, mengungkapkan bahwa gerakan kaum muda Muhammadiyah di tanah Jawa dianggap identik dengan gerakan kaum muda di Arab Saudi sekalipun tidak memiliki hubungan struktural maupun kultural (lihat “Soerat dari Mekah”, Soeara Moehammadijah no. 7 Th. VII/1926). Di tanah air, khususnya di Minangkabau, pada awal abad ke-20, istilah “kaum muda” memang identik dengan kelompok muslim modernis-progresif yang menghendaki perubahan.

Keterlibatan kaum muda dalam jajaran HB Muhammadiyah terhitung sejak 1916 ketika tokoh-tokoh muda seperti R. Ng. Kartopringgo, R.Ng. Djojosoegito, Moh. Hoesni, R.Ng. Sosrosoegondo, dan lain-lain bergabung dalam jajaran HB Muhammadiyah (Djarnawi Hadikusuma, Matahari-matahari Muhammadiyah, t.t., h. 18). R. Ng. Kartopringgo mula-mula duduk sebagai sekretaris KH. Ahmad Dahlan (Islam-Bergerak, Senin 1 April 1918, h. 1), menggantikan KH. Abdullah Siradj yang sudah sangat tua.

***

Kepemimpinan di HB Muhammadiyah sangat dinamis karena tidak lama kemudian R.Ng. Djojosoegito bergabung dan dipercaya sebagai sekretaris menggantikan R. Ng. Kartopringgo. Wakil sekretaris HB Muhammadiyah adalah Moh. Hoesni yang tidak lain adalah pemuda lulusan sekolah kolonial. Sedangkan R. Ng, Sosrosoegondo yang berstatus sebagai guru Bahasa Melayu di Kweekschool Jetis bergabung dalam Bagian Sekolahan (1920) sebagai sekretaris bersama H. Hisyam sebagai ketua (lihat Berita Tahoenan Moehammadijah Hindia Timoer 1927, h. 90).

Baca Juga  Winai Dahlan: Nantikan Kiprah Muhammadiyah di Thailand

Sampai memasuki kepemimpinan KH. Ibrahim, peran kader-kader muda yang direpresentasikan oleh tokoh-tokoh seperti Syujak, Fachrodin, Hisyam, Mochtar, Hadjid, Washool Dja’far, R. Doeri, dan lain-lain sangat signifikan. Bahkan terkesan sosok KH. Ibrahim sebagai Sang President seperti hanya menjadi simbol kepemimpinan belaka. Sebab, peran-peran kepemimpinan HB Muhammadiyah justru lebih banyak diisi oleh kaum muda. Sampai memasuki periode kepemimpinan pasca KH. Ibrahim, dinamika kepemimpinan di tubuh HB Muhammadiyah mulai berubah.

***

Kongres Akbar XXIII pada tahun 1934 di Yogyakarta berhasil memilih 9 formatur: MJ. Anies, H. Hisyam, H. Mochtar, H. Hadjid, H. Syujak, H. Faried Ma’ruf, H. Hadjam, H. Siradj Dahlan, dan H.M. Amjad. Dari 9 formatur inilah dipilih dan ditetapkan H. Hisyam sebagai President HB Muhammadiyah (lihat Boeah Congres XXIII, h. 7).    

Pada masa-masa awal kepemimpinan H. Hisyam, struktur HB Muhammadiyah diisi oleh kader-kader didikan KH. Ahmad Dahlan sehingga tidak tampak senioritas di antara mereka. Kepemimpinan tampak solid lewat penguatan institusi dan sistem di internal Muhammadiyah. Tetapi memasuki akhir masa kepemimpinan H. Hisyam mulai muncul tanda-tanda organisasi yang kurang sehat karena gejala senioritas kembali tumbuh. Otoritas kepemimpinan menumpuk dan mengerucut pada tiga tokoh: H. Hisyam, H. Syujak, dan H. Mochtar.

Meminjam istilah Djarnawi Hadikusuma, mereka dikenal dengan julukan “trio kaum tua.” Gejala yang tidak sehat ini kemudian direspon oleh kaum muda yang dipelopori oleh antara lain Ahmad Badawi, Hasyim, M. Basiran, Abdul Hamid BKN, dan Farid Ma’ruf. Dalam konteks inilah, peran Ki Bagus Hadikusuma dan Hadjid yang bersikap netral mampu mendamaikan antara kaum tua dengan kaum muda dalam Kongres Muhammadiyah XXVI di Yogyakarta.

Moderasi Politik

Beberapa bulan sebelum pelaksanaan Kongres Muhammadiyah XXVI (1937) di Yogyakarta, kritik dari kaum muda yang semula hanya diabaikan oleh kaum tua semakin tajam. Di mata kaum muda, HB Muhammadiyah dinilai terlalu fokus mengembangkan program-program pendidikan, tetapi lemah menjalankan program dakwah. Memang pertumbuhan sekolah-sekolah Muhammadiyah pada masa kepemimpinan H. Hisyam sangat pesat dan banyak mendapat subsidi dari pemerintah kolonial.

Sebagai bentuk apresiasi pemerintah kolonial atas usaha Muhammadiyah memajukan pendidikan, sang president bersama tokoh-tokoh bumiputra lainnya mendapat anugrah bintang Ridder Orde van Oranje Nassau dari Kerajaan Belanda. Inilah puncak kritik kaum muda yang menganggap HB Muhammadiyah terlalu dekat dengan rezim kolonial.      

***

Ki Bagus melihat gelagat dan sepak terjang kaum muda yang terlalu tajam mengritik kaum tua dinilai kurang sehat dalam konteks budaya organisasi. Ia segera berdiskusi dengan Hadjid untuk menemukan jalan keluarnya. Menurutnya, sangat penting mendengar aspirasi kaum muda yang terus menerus mengritik HB Muhammadiyah yang direpresentasikan oleh trio kaum tua. Ki Bagus dan Hadjid inilah yang kemudian menyampaikan aspirasi dan sekaligus meyakinkan kaum tua agar mendengar aspirasi kaum muda.

Baca Juga  Literasi Khutbah Jumat: Agar Tidak Membosankan dan Temanya Itu-itu Saja

Menjelang bulan Oktober 1937, para utusan kongres dari berbagai daerah telah datang ke Yogyakarta. Ki Bagus dan Hadjid menemui beberapa tokoh yang telah lebih dahulu hadir di Yogyakarta, seperti AR. Sutan Mansur (Konsul Muhammadiyah Minangkabau), Tjitrosoewarno (Konsul Muhammadiyah Pekalongan), KH. Mas Mansur (Konsul Muhammadiyah Surabaya), dan Moeljadi Djojomartono (Konsul Muhammadiyah Surakarta).

***

Kepada mereka disampaikan aspirasi kaum muda yang menghendaki peremajaan pimpinan di HB Muhammadiyah. Dengan integritas dan kepiawaian kedua tokoh Kauman tersebut dalam menyampaikan aspirasi kaum muda, maka keempat Konsul Muhammadiyah tersebut menyatakan sependapat sehingga perlu segera digelar forum pertemuan yang dapat memoderasi aspirasi tersebut. Maka forum permusyawaratan angkatan muda digelar beberapa hari sebelum pelaksanaan kongres dengan menghadirkan unsur-unsur kaum muda dan kaum tua sekaligus.

Keempat Konsul Muhammadiyah bersama Ki Bagus dan Hadjid turut hadir memoderasi aspirasi peremajaan pimpinan di Muhammadiyah. Pada mulanya, forum tampak kaku—karena faktor senioritas membuat sungkan para undangan dari kaum muda—tetapi setelah Ki Bagus dan Hadjid menjelaskan maksud dan tujuan forum tersebut, ketiga tokoh senior (H. Hisyam, H. Syujak, dan H. Mochtar) dapat menerima dengan tulus dan ikhlas.

Bahkan, pernyataan tulus dari H. Hisyam sempat menciptakan suasana haru di kalangan kaum muda. “…bekerja dalam Muhammadiyah bukan untuk kedudukan, bukan untuk jabatan, dan bukan sumber penghasilan, melainkan amal dan jihad demi Allah semata-mata. Jika Muhammadiyah tidak memakai kami sebagai Pengurus Besar, maka kami bersedia ditempatkan di manapun dalam gerakan Muhammadiyah,” demikian pernyataan H. Hisyam sebagaimana direkam oleh Djarnawi Hadikusuma.

Sekalipun forum moderasi kaum muda dengan kaum tua telah berhasil, tetapi masalah tidak lantas selesai. Sebab, Muhammadiyah sudah memiliki mekanisme peralihan pimpinan yang harus disahkan lewat forum permusyawaratan tertinggi yang disebut kongres (sekarang muktamar). Sistem dan institusi kepemimpinan di Muhammadiyah telah terbentuk sejak era kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan. Djarnawi Hadikusuma mengisahkan bahwa pemilihan Pengurus Besar Muhammadiyah menggunakan sistem pemilihan secara langsung. Yaitu, setiap ranting atau grup Muhammadiyah jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan kongres harus mengusulkan sejumlah nama, kemudian dikirim ke Panitia Pemilihan Anggota Pengurus Besar.

***

Dari sejumlah nama-nama yang dikirim oleh ranting-ranting Muhammadiyah kemudian dihimpun dan disusun berdasarkan urutan abjad untuk kemudian dikirim kembali ke ranting-ranting. Tugas anggota ranting-ranting adalah memilih 9 nama berdasarkan suara terbanyak lalu dikirim kembali ke Panitia Pemilihan Anggota Pengurus Besar. Panitia Pemilihan kemudian menjumlahkan suara untuk 9 nama dengan urutan suara terbanyak. Kesembilan nama dengan suara terbanyak itulah yang kemudian dibawa ke forum kongres untuk disahkan.

Baca Juga  KH Mas Mansur (10): Pemrakarsa Berdirinya Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI)

Dengan mengetahui mekanisme pemilihan secara langsung pada waktu itu, maka nama H. Hisyam, H. Syujak, dan H. Mochtar secara otomatis memperoleh suara mayoritas sehingga tidak mungkin Panitia Pemilihan menganulir hasil pemilihan suara secara langsung. Akan tetapi, atas kesiapan dari ketiga Konsul Muhammadiyah mendukung peremajaan pimpinan, maka langkah berikutnya adalah pembentukan presidium dan menentukan calon president HB Muhammadiyah.

Di sinilah proses yang cukup alot karena hampir semua perwakilan dari kalangan kaum muda tidak ada yang bersedia menjadi president. Begitu juga Ki Bagus dan Hadjid yang dinilai telah berhasil menjembatani kaum tua dan kaum muda tidak berkenan ditunjuk sebagai president.

Lalu Ahmad Badawi, Abdul Hamid BKN, dan Hasyim menemui KH. Mas Mansur meyakinkan Konsul Muhammadiyah Surabaya ini agar bersedia ditunjuk sebagai president. Awalnya, Mas Mansur sempat menolak, tetapi atas kegigihan ketiga tokoh muda Kauman tersebut, akhirnya “Sapu Kawat dari Jawa Timur”—julukan KH. Mas Mansur—bersedia menjadi president dengan syarat: Ki Bagus Hadikusuma harus menjadi wakil ketua (vice president).

***

Setelah melewati proses dialog yang cukup alot, Ki Bagus tetap tidak bersedia, tetapi ia berhasil meyakinkan KH. Mas Mansur agar Ahmad Badawi menempati posisi tersebut. Maka terbentuklah ‘Pengurus Besar Bayangan’ yang akan diperjuangkan di Forum Permusyawaratan Konsul-konsul Muhammadiyah (Sidang Tanwir) jelang kongres. Mereka adalah: KH. Mas Mansur, Ahmad Badawi, Farid Ma’ruf, Abdullah, Basiran Noto, Abdul Hamid BKN, Hasyim, Muhadi, dan R. Doeri.

Sebelum pelaksanaan Sidang Tanwir, AR. Sutan Mansur, Tjitrosoewarno, dan Moeljadi Djojomartono telah terlebih dahulu melakukan lobi-lobi dengan para utusan Muhammadiyah. Sedangkan dalam proses Sidang Tanwir, banyak aspek dalam organisasi Muhammadiyah yang ditinjau kembali, tidak hanya fokus pada regenerasi kepemimpinan semata.

Sidang Tanwir berjalan dengan baik sekalipun banyak agenda besar perubahan dalam organisasi. Sampai memasuki masa kongres yang digelar pada 8-15 Oktober 1937 di Yogyakarta, peran Sutan Mansur, Tjitrosoewarno, dan Moeljadi Djojomartono sangat menentukan dalam proses pelolosan struktur hasil Sidang Tanwir. Kelancaran Sidang Tanwir dan kongres 1937, dalam catatan Djarnawi Hadikusuma, menjadi pertanda bahwa organisasi Muhammadiyah telah mapan sehingga agenda-agenda kecil seperti regenerasi kepemimpinan tidak membuat gejolak di internal.

***

Peristiwa dalam kongres 1937 ini menjadi penting karena mekanisme pemilihan pimpinan lewat proses penjaringan jelang Sidang Tanwir akan menjadi model dalam proses regenerasi kepemimpinan dalam Muhammadiyah hingga hari ini. Dalam catatan Djarnawi Hadikusuma, mekanisme pemilihan pimpinan pusat lewat pemilihan langsung oleh ranting-ranting Muhammadiyah berlangsung sejak masa awal berdirinya organisasi ini sampai kongres ke-33 di Palembang (1956).

Djarnawi Hadikusuma yang pada waktu itu menjabat sebagai sekretaris Panitia Pemilihan Anggota Pimpinan Pusat memberi catatan kritik bahwa mekanisme pemilihan secara langsung memiliki banyak kelemahan, terutama karena banyak ranting yang tidak mengirimkan nama-nama yang betul-betul memiliki kualitas kepemimpinan yang memadai.

157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds