Falsafah

Motif Fisiologis Beragama dalam Budaya Hijrah

9 Mins read

Kesakralan Agama

Kesakralan agama melalui doktrin yang tegas dan dogma yang spiritualis, serta kekudusan ritus, selayaknya menjadikan pengikut agama dan penganut kepercayaan kepada Tuhan menjadi lebih beradab secara privat dan publik. Karena melalui agama yang suci serta risalah ajaran yang di bawa para Nabi dan Rasul, mengantarkan sang hamba menemui Tuhannya.

Beragama bukan sekadar keterpenuhan kebutuhan materi dan motif fisiologis lainnya. Sebenarnya esensi kemanusiaan yang lahiriah dalam kehidupan beragama, akan terlewati pada esensi entitas spiritualitas. Bahkan bisa melampaui batas-batas dan skat ruang dan waktu yang kasat mata dan materi. Nilai esoterik “berpencar” dari kalbu salim pada laku hidup di alam nyata, dan “berpendar” dari mikrokosmos ke makrokosmos, bahkan ke tujuh petala langit dan bumi.

Namun, tubuh kasar sering “mengeluh” untuk dipenuhi kebutuhannya dengan motif fisiologi. Perilaku (behaviorisme) manusia sering dipengaruhi kebutuhan materi bagi jasadnya. Sehingga, dimensi esoterik dalam laku hidup beragama terasa formalistik belaka (topeng). Di sinilah perlunya melihat perspektif terori behaviorisme Barat dengan konsep Al-Qur’an tentang motif fisiologis manusia.

Proses Fisiologis Manusia Beragama dalam Teori Behaviorisme

Aliran perilaku (behaviorisme), yang diilhami John Broadus Watson dan digerakkan B.F. Skinner, tidak memberi banyak perhatian kepada agama atau perilaku beragama. Penganut aliran perilaku yang kental, bila mereka bersimpati pada agama, cenderung menyampingkan atau mengabaikan masalah agama dalam karya mereka.

Pengandaian mereka adalah bahwa perilaku keagamaan, sebagaimana perilaku lain, merupakan akibat dari proses fisiologis manusia.

Dengan demikian, behaviorisme tak menyediakan cukup kemungkinan untuk menggali agama dari segi metafisikanya.

Skinner berpendapat, bahwa perilaku manusia pada umumnya dapat dijelaskan berdasarkan teori pengkondisian operan (operant conditioning). Manusia berbuat sesuatu dalam lingkungannya untuk mendatangkan akibat-akibat, entah untuk mendatangkan pemenuhan kebutuhan atau menghindari datangnya hukuman atau pengalaman yang tidak enak. Segala tindakan manusia dapat dimengerti dalam kerangka pemikiran itu (Ancok dan Suroso: 1995, 72).

Pandangan John Broadus Watson dan B.F. Skinner di atas, sebagaimana dikutip dari Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, maka ada beberapa kesimpulan yang menurut penulis dapat dipahami tentang proses fisiologis manusia dalam beragama menurut teori Behaviorisme, yaitu:

Pertama, B.F. Skinner berpendapat beragama merupakan pengkondisian operan sebagai “wahana” belajar hidup manusia di dunia.

Maka perilaku keagamaan, sebagaimana perilaku lainnya, merupakan ungkapan bagaimana manusia dengan pengkondisian operan belajar hidup di dunia yang dikuasai oleh hukum ganjaran dan hukuman.

Kedua, B.F. Skinner menggangap beribadah sebagai faktor pengalaman yang “memuaskan”, bukan faktor niat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Sehingga ia menolak mekanisme internal dan eksternal untuk menjelaskan pengalaman keagamaan. Ucapan seperti, “Saya merasa suka pergi ke tempat ibadah”, dipandang dari sudut pengertian behavioristis tidak berbicara apa-apa.

Apakah perasaan menjadi penyebab orang pergi ke tempat ibadah atau Tuhan yang membangkitkan perasaan untuk pergi ke tempat ibadah itu? Masalah pokoknya adalah orang yang bersangkutan mengetahui apa yang terjadi dengan orang yang merasa suka pergi ke rumah ibadah. Faktor pengalaman yang memuaskan itu mendorongnya pergi ke tempat ibadah dan tidak pergi ke tempat lain.

***

Ketiga, B.F. Skinner berargumentasi, bahwa beragama dianggap manusia sebagai penguat dan meredakan ketegangan manusia dalam menjalani hidup.

Jadi, menurutnya, kegiatan keagamaan diulangi karena menjadi faktor penguat sebagai perilaku yang meredakan ketegangan. Penjelasan ini merupakan “mitor primitif yang telah lama kehilangan manfaatnya.”

Keempat, B.F. Skinner memandang institusi agama berupa lembaga/organisasi sebagai “paham/aliran” yang kehadirannya sebagai penguat dan pengawal kebiasan masyarakat.

Maka dalam pandangannya, kelembagaan agama merupakan “isme” sosial yang lahir dari faktor penguat. Satu masa hidup terlalu pendek bagi manusia untuk mendapatkan pengalaman langsung tentang segala faktor penguat yang ada.

Lembaga-lembaga sosial, termasuk di antaranya lembaga keagamaan, bertugas menjaga dan mempertahankan perilaku atau kebiasaan masyarakat. Anak dilahirkan ke dalam masyarakat itu seperti dia dilahirkan ke dalam lingkungan fisiknya.

Manusia menanggapi tuntutan yang terkandung dalam lembaga-lembaga itu dan ikut melestarikan lewat cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku.

Kelima, John Broadus Watson berkesimpulan bahwa manusia tidak memiliki will power, manusia hanya “robot” hidup yang bergerak tergantung stimulus lingkungannya.

Sehingga, katanya,bahwa aksi dan reaksi manusia terhadap suatu stimulus hanyalah dalam kaitan dengan prinsip reinforcement (reward dan punishment). Manusia tidak mempunyai will power. Ia hanyalah sebuah robot yang beraksi secara mekanistik atas pemberian hukuman dan hadiah.

Baca Juga  Kemanusiaan Universal: Pesan Abadi Ibadah Haji

***

Keenam, John Broadus Watson berkilah bahwa faktor ekternal bukan Tuhan tapi manusia lainnya dan lingkungannya.

Maka menurutnya, penentu kehidupan manusia adalah faktor-faktor eksternal yang mengenai manusia itu.  Dan faktor eksternal itu sama sekali bukan Tuhan.

Ketujuh, John Broadus Watson melecehkan manusia dan mengabaikan kekuasaan Tuhan atas diri manusia.

Sehingga tahun 1924, John Broadus Watson begitu yakin dengan pandangannya yang amat mengabaikan komponen O (organisme) itu hingga dia berani menyatakan bahwa dia bisa menjadikan bayi menjadi apa pun yang dia kehendaki; dokter, ahli hukum, seniman, saudagar, dan juga pengimis ataupun pencuri.

Penjelasan John Broadus Watson dan B.F. Skinner di atas tentang proses fisiologis manusia dalam beragama menurut teori Behaviorisme bukanlah kesimpulan yang harus dijadikan referensi final.

Masyarakat Barat yang dahulunya cenderung hidup dalam dunia sekuler, tidak akan sama dengan kultur masyarakat Timur yang agamis. Jadi, untuk menemukan perbedaan konsep teori Perilaku (Behaviorisme), maka perlu ditelusuri bagaimana konsep Al-Qur’an tentang motif fisiologi manusia.

Motif Fisiologis Manusia dalam Al-Qur’an

Motif fisiologis biasa juga disebut dengan motif primer. Menurut Muhammad Utsman Najati, maksudnya adalah motif bawaan yang bertalian dengan kebutuhan-kebutuhan fisiologis dan kekurangan atau gangguan keseimbangan yang terjadi pada jaringan tubuh. Motif fisiologis ini berfungsi mengarahkan perilaku individu pada tujuan-tujuan yang akan memuaskan kebutuhan tubuhnya. Atau, menutupi kekurangan yang terjadi pada jaringan tubuh dan mengembalikannya kepada keadaan seimbang seperti sedia kala (Najati, 2005: 23).

Allah Swt telah menjadikan makhluk manusia dalam rupa yang sebagus-bagusnya. Pada diri manusia diberikan karakter dan sifat-sifat khusus sebagai jati diri manusia dalam melaksanakan tugas kemanusiaannya terhadap sesama makhluk Tuhan dan alam semesta. Termasuk juga melaksanakan tugas sebagai “mandataris” Tuhan di bumi, selain memakmurkan, juga melakukan pengkhidmatan dan peribadatan yang spiritualistik. Sehingga manusia dijadikan dalam bentuk yang sempurna lahiriah dan batiniah oleh Allah Swt.

Esensi pesan langit menagarahkan bagaimana kekuasaan Allah Swt yang telah mampu menciptakan manusia dalam kesempurnaan fisik secara paripurna, seperti firman Allah:

“Musa berkata, Rabb kami adalah yang telah memberi tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberi petunjuk.” (QS. Thaha {20}: 50)

“Sucikanlah nama Rabb-mu Yang Mahatinggi, yang telah menciptakan seraya menyempurnakan, yang menentukan, kemudian memberi petunjuk.” (QS. Al-A’la {87}: 1-3)

Fungsi fisiologis itu terdiri dari: (1) motif menjaga diri; (2) motif kelangsungan keturunan. Fungsi-fungsi fisiologis ini akan menunaikan fungsi biologis yang penting bagi hewan dan manusia.

Sebagaimana dikatakan Muhammad Utsman Najati, bahwa fungsi-fungsi fisiologis ini bertugas merespons kebutuhan-kebutuhan tubuh serta menutupi segala kekurangan yang bersifat organik atau kimia. Selain itu, fungsi-fungsi fisiologis juga akan mengalami segala kerusakan, gangguan, atau ketakseimbangan (Najati, 2000: 24).

Dalam penelitian W.B. Cannon, seorang fisiologi Amerika, yangdipublikasikan dalam buku Hikmatul Badan (The Wisdom of the Body) pada tahun 1932. Ia mengungkapkan adanya kecenderungan alamiah pada tubuh manusia dan hewan untuk menjaga keseimbangan pada tingkatan yang stabil.

***

Apabila keseimbangan tersebut terganggu, timbullah motif untuk melakukan aktivitas penyesuaian agar tubuh kembali pada kondisi yang seimbang seperti sedia kala. Aktivitas penyesuaian tersebut akan sempurnaan atas dasar fisiologis semata, bukan karena keinginan manusia.

Hal seperti itu terjadi, misalnya, saat tubuh mengeluarkan keringat karena temperatur yang tinggi sehingga membutuhkan penurunan tingkat suhu tubuh sebagai akibat dari penguapan keringat.

Atau, sebagaimana terjadi ketika benda asing masuk ke bawah pelupuk mata, maka iar mata akan menyelamatkannya dari benda asing itu. Aktivitas penyesuaian ini adakalanya sempurna karena individu melaksanakan aktivitas tertentu yang disengaja, misalnya makan saat lapar atau minum saat haus.

Sebenarnya konsep yang disampaiakan W.B. Cannon tentang keseimbangan telah lama dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an:

“Dan bumi Kami hamparkan dan Kami letakkan padanya gunung-gunung serta Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukurannya.” (QS. Al-Hijr {15}: 19)

Kemudian dijelaskan lagi dalam firman-Nya:

“…Dan segala sesuatu pada sisi-Nya berdasarkan ukurannya.”(QS. Ar-Ra’d {13}: 8).

Baca Juga  Memperkokoh Keimanan dengan Filsafat

Lalu dalam firman-Nya:

“Yang telah menciptakanmu, kemudian menyempurnakanmu serta menyeimbangkanmu.” (QS. Al-Infithar {82}: 7).

Makhluk hidup, baik manusia maupun hewan diciptakan dalam proses yang akurat dan kadar tertentu, sehingga ia berada dalam keseimbangan. Proses kegiatan dalam pemenuhan kebutuhan materi merupakan proses menjaga keseimbangan dalam tubuh manusia.

Maka sangat jelas, bahwa Al-Qur’an lebih dahulu membicarakan motif fisiologis manusia dibandingkan pandangan John Broadus Watson dan B.F. Skinner. Namun, ajaran Islam tidak hanya untuk memenuhi motif fisiologis yang bersifat kebutuhan materi saja. Akan tetapi, ajaran Islam lebih kepada nalar spiritual, yakni memenuhi kebutuhan mental spiritual yang bersifat rohani.

Motif Fisiologis Beragama dalam Budaya Hijrah

Ada baiknya melihat bagaimana motif fisiologis beragama dengan budaya hijrahisasi manusia massa saat ini. Dalam ruang dan waktu yang lagi tren inilah, dapat dilihat, apakah perilaku beragama benar-benar ingin menemui Allah dalam kekudusan diri?

Atau beragama sambil “menstimulusnya” dengan kecenderungan memenuhi motif fisiologis yang bersifat pribadi? Atau, malah menggunakan formalitas label “hijrah” sebagai sarana untuk menunjukkan identitas beragama “manusia massa” yang berlindung dalam “topeng” bahasa dan jargon “atas nama agama”.

Budaya hijrahisasi manusia massa pada zaman sekarang, bukanlah hal yang aneh dan langka. Budaya hijrahisasi menjadikan pengikut agama menjadi “manusia massa”. Budaya populisme suatu agama bisa saja dikarenakan adanya sosok figur selebritis yang ikut “mengiklankan” buku melalui pelatihan motivasi, sehingga “sihir” sang motivator yang digelari “ustadz/ustazhan” itu membakar semangat, menyentuh kalbu, dan muncul simpati dari narasi yang membakar ghirah beragama. Terkadang berhubungan dengan institusi organisasi massa, partai politik, bahkan produk bisnis.

Budaya “pop Islami” dinarasikan dengan sosok “muallaf” yang menemukan kebenaran agama dari “ustadz/ustadzah” melalui konten media sosial, maupun langsung kepada ulama yang mumpungi. Namun, terkadang pengertian dan pemahaman agama tidak berbanding lurus dengan simbol dan gelar yang disematkan yakni “ustadz/ustadzah”.

Sehingga nilai-nilai esoterik yang spiritualistik yang diharapkan berubah kepada “pendewaan” para “begawan” agama, mengagungkan organisasi tertentu, dan terkadang mengklaim kebenaran sepihak dengan menapikan pihak lain.

Dalam kultur hijrahisasi, bukan saja perobahan dari pakaian yang ketat menjadi longgar, aurat dahulunya terbuka menjadi berhijab, wajah terbuka menjadi bercadar. Begitu juga dengan dagu mulus menjadi berjenggot, celana menjulur ke bawah mata kaki menjadi cengkrang, baju kaos berkanti koko, topi berganti peci haji yang bertengger di kepala. Terkadang terbawa arus yang murni dakwah beralih kepada perebutan kekuasaan.

***

Budaya bukanlah dunia bebas, ia juga diikat oleh ruang dan waktu di mana ia berada. Begitu juga dengan manusia, manusia sebagai makhluk materi. Karena pemenuhan materialitas itulah sosok manusia keterikatan dengan ruang dan waktu yang meliputi sepanjang hidupnya.

Maka, dari kebutuhan materi ini yang memunculkan motif fisiologi manusia untuk memenuhi hajat tubuh fisiknya serta keinginan nafsu dan syahwatnya.

Jadi sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa motif fisiologis merupakan motif bawaan yang bertalian dengan kebutuhan-kebutuhan fisiologis dan kekurangan atau gangguan keseimbangan yang terjadi pada jaringan tubuh.

Motif fisiologis ini berfungsi mengarahkan perilaku individu pada tujuan-tujuan yang akan memuaskan kebutuhan tubuhnya. Atau, menutupi kekurangan yang terjadi pada jaringan tubuh dan mengembalikannya kepada keadaan seimbang seperti sedia kala.

Perpaduan antara kebutuhan materi, motif fisiologis, serta pangsa pasar, maka kehadiran budaya hijrahisasi manusia massa, merupakan sebuah tren globalisasi. Karena ia digerakkan secara massif dari media sosial dan media elektronik, sehingga menjadi tren massif kepada seluruh lapisan masyarakat, seperti: mahasiswa di kampus, siswa kelompok rohis, ibu-ibu pengajian, ormas, LSM, selebritis, atlit, tokoh nasional, dll.

***

Memang manusia tidak bisa terhindar dari kontradiksi dengan dirinya sendiri. Walaupun di berbagai forum dan tempat ia mengkampanyekan antiasing, namun dalam kenyataan hidupnya tidak bisa terpisah dari produksi asing.

Pada saat bersamaan, ia benci dengan ideologi kapitalisme dan liberalisme, namun pada saat yang bersama ia membuat “kapitalisme” gaya baru dengan “stempel” syar’i, Islami, muslim, dll. Mulai dari busana Islami, investasi syariah, bank syariah, ansuransi syariah, produk muslim, dll.

Satu sisi itu sangat bagus untuk melakukan perlawanan terhadap kapitalisme dan liberalisme Barat. Namun semuanya perlu pengkajian mendalam secara komprehenshif pada aspek-aspek fiqh klasik dan kontemporer. Sehingga tidak hanya tempelan agamis belaka. Kerena banyak korban dari investasi syariah yang bodong.

Baca Juga  Maqashid Syariah dari Al-Ghazali ke Syamsul Anwar

Budaya hijrahisasi manusia massa terkadang sudah menjadi tren dalam masyarakat pedesaan yang sebelumnya dianggap kuat menjaga agama dan adat. Yang terjadi di masyarakat pedesaan justru cara berpakaian, berbicara, bergaul dan perilaku hidup layaknya budaya pop para selebritis di ibukota.

Pada satu sisi memang positif, namun pada sisi lain justru bertolak belakang dengan niat hijrah secara total dengan aspek esoritik. Akan tetapi berubah pada pamer busana, produk, dan pemenuhan motif fisiologis belakan. Sebenarnya bukanlah hal yang salah, namun esensi dari laku beragama hilang dikarenakan menonjolkan aspek fisiologis: dimensi Ilahi hilang dalam niat tersembunyi!

Solusi Dilema Motif Fisiologis dalam Idealisme Beragama

Kebutuhan materiil merupakan kebutuhan vital manusia dalam memenuhi motif fisiologis. Namun, dalam realitas, terkadang manusia dilematis antara memenuhi motif fisiologis dengan idealisme beragama.

Pengaruh pemenuhan kebutuhan tubuh yang bersifat fisiologi mempengaruhi perilaku (behaviorisme) dalam beragama. Perayaan keagamaan terkadang bukan lagi motif untuk meningkatkan rasa keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan. Akan tetapi, didorong ingin menikmati aneka ragam hidangan yang disajikan dalam perayaan tersebut. Termasuk untuk melihatkan ambisi, materi, gensi dan kursi serta posisi diri.

Ritus ibadah shalat akan terasa kurang kekhusyukannya bila kondisi perut yang masih lapar dan ibadah puasa kurang dinikmati bila terasa haus dalam teriknya matahari siang hari. Terkadang simbol keagamaan juga dijadikan standar beragama, pengajian terasa tidak kompak apabila tanpa seragam yang sama dalam satu kelompok, salat jamaah dianggap tidak pantas bila memakai kaos oblong, jelana cenis jens, serta tanpa peci yang bertengger di atas kepala.

Yang lebih terasa adalah ketika dilema antara pemenuhan kebutuhan materiil yang memunculkan gejala psikologis seperti: ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sehingga komitmen sebagai manusia-tauhid menjadi tidak seimbang antara tetap berperilaku sebagai hamba Allah yang sabar menerima ketentuan Allah, dengan keputusasaan terhadap ketentuan tersebut.

Menjalankan doktrin, dogma, dan ritus agama dalam kondisi serbaada secara materiil tentu tidak menjadi kendala membuat “pernak-pernik” hidup dengan menampilkan wajah kesalehan dalam berbagai forum pertemuan dan pengajian.

***

Namun, dalam kondisi yang serbakekurangan secara materiil membuat sebagai penganut agama menghindari forum pengajian. Bisa dikarenakan forum pengajian yang ekslusif dengan keseragaman pakaian, posisi tempat duduk yang dibedakan antara VIP dengan emperan, serta tidak menunjukkan daya peduli pada orang yang awam. Sebagaimana firman Allah menyatakan:

Dan sungguh Kami akan memberi cobaan kepada kalian dengan sesuatu berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan hanya kepada-Nya kami kembali’. Mereka itu akan mendapat shalawat dari Rabb mereka dan rahmat. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. Al-Baqarah {2}: 155-157)

Dalam kondisi termarginalkan, terpinggirkan dan yang terdhuafakan, bukanlah hanya persoalan kaum wong cilik, marhen, dan masyarakat bawah. Secara psikologis, kaum yang dianggap memadai secara ekonomipun merasakan gejala ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Apalagi saat kondisi wabah yang merajalela, resesi ekonomi, krisis pangan dan maraknya kejahatan. Maka ‘sinyal’ langit memberikan solusi sabar positif sebagai terapi secara Islamnya. Seperti firman Allah yang berbunyi:

“Sungguh kalian akan diuji dengan harta kalian dan diri kalian. Dan kalian benar-benar akan mendengar gangguan yang banyak dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan juga dari orang-orang yang mempersekutukan Allah. Namun, jika kalian bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang patut diutamakan.” (QS. Ali Imran {3}: 186)

Dari teori perilaku (behaviorisme) dan konsep Al-Qur’an tentang motif fisiologis manusia, maka kita dapat melihat sampai sejauh mana “perantauan” intelektual kita dalam memahami ajaran agama, dan bagaimana laku hidup beragama kita. Kemudian, sampai berapa kemampuan frekuensi spiritual kita mampu melampau kemanusiaan dan keberagamaan formalistik menuju esensi kehambaan yang autentik di hadirat-Nya, baik secara eksoterik maupun esoterik: jiwa yang kudus dan hati yang sublim.

Editor: Yahya FR

Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds