Barangkali mengherankan juga bahwa Khadewi Abbas mengangkat Muhammad Abduh menjadi Mufti Kerajaan Mesir pada tahun 1899 dan ia bersedia menerima jabatan tersebut. Mungkin juga pengangkatan itu dalam rangka mendekati dan mencari dukungan Al-Azhar dan rakyat dan juga untuk berbaik kembali kepadanya. Tetapi, dengan terbitnya Al-Mannar itu, pengaruh Abduh lebih meluas. Atau juga boleh jadi pengangkatan Abduh menjadi Mufti itu termasuk salah satu usaha Khadewi untuk menyibukkan dia sehingga tidak sempat lagi bertekun di Al-Azhar.
Di lain pihak juga menimbulkan pertanyaan, mengapa Abduh yang telah menyerap semangat Jamaluddin yang non-kooperatif itu mau menerima jabatan kenegaraan apalagi sebagai Mufti. Barangkali dia juga mengetahui maksud yang sebenarnya dari Khadewi itu. Jabatan Mufti diterimanya, tetapi masih tetap bertekun memberi kuliah dan ceramah di Al-Azhar, justru Darul Ulumlah yang ditinggalkan. Jamaluddin dahulu juga berbuat demikian, sudah menjadi Menteri Pertahanan Iran, masih juga mau memberikan ceramah-ceramah kepada rakyat, khususnya para pemuda.
Jabatan Mufti adalah kedudukan yang tinggi dan mulia serta berwibawa. Karena Mufti merupakan ulama tertinggi yang fatwanya wajib diikuti. Jika Khadewi mempunyai rencana, maka Abduh pun mempunyai rencana juga. Mufti-mufti sebelum dia tidak pernah langsung bertemu atau berada di tengah rakyat.
Jika sedang tidak ke istana atau ke kantor ataupun menghadiri majlis-majlis, seorang Mufti tinggal di gedungnya yang indah dan perjalanannya terbatas antara masjid dan tempat tinggalnya. Kalau sedang shalat kelihatan seram dan menakutkan, lama sekali dan doanya pun panjang dan kadang-kadang lebih lama dari shalatnya. Khusyu-nya sedemikian serius seperti dibuat-buat. Mulutnya berkomat-kamit seakan-akan payah sekali mengucapkan bacaan shalat karena harus benar-benar fasih sedang keduabelah matanya terpejam.
Kepada urusan masyarakat tidak peduli sama sekali dan kepada orang miskin tidak mau tahu. Kepada perjuangan umat dan Islam menganggap itu bukan bidangnya. Siapapun yang berkuasa, entah baik entah tidak, bukan soal, asal dia tetap menjadi Mufti.
Berlainan dengan Muhammad Abduh. Sebagai Mufti selain masih giat memberi kuliah, ia juga tidak segan-segan berada di tengah-tengah rakyat. Ia menyaksikan sendiri keadaan masyarakat dan rakyat itu sehingga diketahui penghidupan mereka dalam segala segi. Sebagai Mufti dengan sendirinya Abduh menjadi anggota Dewan Wakaf Kerajaan yang antara lain tugasnya membangun, memperbaiki serta memakmurkan mesjid.
Atas inisiatifnya dibentuklah dalam Dewan itu satu bagian yang bernama Idarul Masajid yang pekerjaannya mengatur imam dan khatib. Segera para imam dan khatib diperbaruinya dengan ulama-ulama yang berpikiran maju dan dapat memberi petunjuk kepada umat dalam menjalani hidupnya selaku orang Islam yang insaf.
Diperbaikinya pula tingkatan gaji dan pengurus masjid itu sehingga tempat-tempat ibadah itu semakin bersih dan indah. Jamaah shalat fardlu digerakkan di mana-mana, maka semakin makmurlah masjid-masjid itu. Ketika Masjid Jami Rifai selesai dibangun dan merupakan yang terbesar di waktu itu, pemimpin harian Al-Muayyad mengusulkan kepada Khadewi agar Rasyid Ridla ditetapkan menjadi Khatib di masjid itu, tetapi usul ini ditolak oleh Khadewi dengan alasan akan mencari Khatib yang lebih baik lagi.
Rakyat Mesir umumnya terdiri daripada petani, dan petani itu kebanyakannya miskin karena tanah-tanah di sana sebagian terbesar dan yang tersubur telah dimiliki oleh tuan-tuan tanah yang dilindungi oleh kerajaan. Untuk rakyat jelata yang sengsara itulah, dahulu Jamaluddin telah berjuang dengan radikal. Dan untuk mereka juga, Muhammad Abduh berjuang dalam bidang pendidikan dan kesosialan. Anak-anak yang sekian banyak jumlahnya tidak mampu bersekolah itu telah menarik perhatian beberapa ulama yang berpikiran maju. Mereka telah berhasil membentuk perkumpulan sosial dengan nama Al-Jamiyatul Khairiyah yang bertujuan mendirikan sekolah-sekolah bagi orang yang tidak mampu dan memberikan pertolongan kepada orang miskin.
Pembiayaan dikumpulkan dari shadaqah, derma, dan wakaf dari para hartawan dan dermawan. Pada waktu, Abduh menjabat Mufti perkumpulan itu sudah berumur tujuh tahun serta telah memiliki empat buah madrasah. Melihat keutamaan Mufti baru ini, maka pengurus perkumpulan tersebut memohon agar Abduh bersedia menjadi ketuanya, dan permohonan itu diterima dengan segala senang hati. Maka Abduh bersama-sama dengan pengurus lainnya, seperti Hasan Pasya Ashim dan Saad Zaghlul Pasya bekerja giat mengumpulkan biaya dan mendirikan gedung-gedung sekolah baru hingga jumlahnya menjadi tujuh buah dan sistem serta susunan pelajaran diperbaiki.
Dengan duduknya Mufti sebagai ketua, maka kepercayaan masyarakat kepada perkumpulan itu bertambah besar dan meluas, demikian pula bantuan yang berupa derma dan wakaf berdatangan dari para hartawan, baik di Mesir maupun dari Iskandariyah. Apalagi sering pula Abduh bertindak sendirian mengumpulkan bantuan. Nama Abduh semakin harum dan dirinya makin pula dicintai rakyat dari segala lapisan, kecuali mereka yang merasa khawatir dan iri hati.
Pada tanggal 25 Juni 1899, Abduh diangkat menjadi anggota Majlis Syura Al-Qawanin, yakni suatu majlis pembuat undang-undang. Dengan demikian, kedudukannya semakin meningkat, apalagi setelah dalam majlis itu ia membuktikan dirinya sebagai ulama yang memiliki keadilan dalam ilmu hukum dan perundang-undangan.
Tetapi jabatannya yang baru itu pun tidak mengurangi kegiatannya dalam bidang pendidikan dan sosial dan tidak menghilangkan semangat perjuangannya dalam membela serta meningkatkan derajat umat Islam. Bahkan, sekarang cita-citanya ditingkatkan, tidak hanya berjuang untuk rakyat Mesir, tetapi juga untuk kemajuan rakyat di negara-negara Islam lainnya. Maka tergerak hatinya untuk menyaksikan dari dekat keadaan umat di negara-negara itu dan ingin pula mengetahui pandangan orang-orang di Eropa. Hal ini perlu diketahui untuk menjadi bahan pemikiran di dalam menentukan arah dan cara bagaimana umat Islam baru dibina.
Sumber: buku Aliran Pembaharuan dalam Islam dari Jamaluddin Al-Afghani Sampai KHA Dahlan karya Djarnawi Hadikusuma. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan
Editor: Arif