Muhammad Abduh ketika dijumpai Jamaluddin Al-Afghani pertama kali di Mesir pada tahun 1869 adalah seorang mahasiswa Al-Azhar. Ia gemar kepada Tasawuf serta mengasingkan diri dari masyarakat, seperti umumnya mahasiswa dan ulama Al-Azhar pada waktu itu. Orang Afghanistan itulah yang mengeluarkan dia dari lautan sunyi Tasawuf dan membawanya ke alam terang dan cahaya perjuangan Islam, serta mengisi jiwanya dengan butir-butir gemerlapan daripada mutiara ajaran Islam yang hakiki.
Abduh menyingkapkan tabir lamunannya dan membuka mata. Maka dilihatnya nasib bangsanya yang amat menyedihkan, tertindas oleh angkara murka dan menghajatkan perjuangannya. Suara Jamaluddin terdengar olehnya bagai bunyi terompet dan genderang perang. Ia terbangun dan mempersiapkan diri dan tampil ke depan. Itulah permulaan jalan hidupnya yang gilang-gemilang. Dengan darah mudanya yang panas diikuti perjuangan gurunya itu, bergelimang dalam pergolakan politik.
Pengalaman Abduh di Mesir dan sewaktu melibatkan diri dengan penuh kesadaran di dalam pemberontakan Kolonel Arabi, pengalamannya dalam pengasingan di Beirut serta apa yang dilakukannya di Paris, memberi pelajaran yang mematangkan jiwanya. Tetapi, rupanya Allah telah takdirkan dia bukan pejuang politik, melainkan pembina mental dan pembangun masyarakat. Sedang Jamaluddin dilahirkan untuk menjadi pejuang politik yang ulung dan berpantang surut.
Bagi Jamaluddin, rakyat yang tertindas harus digerakkan untuk memegang kekuasaan, baik dengan jalan legal parlementer ataupun jika terpaksa dengan revolusi. Barulah nanti perbaikan masyarakat di mulai dalam suasana merdeka. Itulah Jamaluddin. Sedangkan Abduh setelah menarik kesimpulan dari pengalamannya, berpendapat bahwa yang harus didahulukan ialah pembinaan atau revolusi mental rakyat dengan perbaikan kondisi sosial dan ekonominya, di samping juga meningkatkan kecerdasan serta keinsafannya kepada kewajiban agama.
Perbedaan itu sesungguhnya tidaklah prinsipil, melainkan dalam memilih titik tolak dari perjuangan. Demikian pula satu hal yang prinsipil keduanya sepakat. Yaitu bahwa rakyat dan negara-negara Islam harus maju dan merdeka politik, ekonomi dan kebudayaannya dengan berpedoman ajaran Islam yang murni serta diamalkan.
Peristiwa pemberontakan Arabi di mana beribu-ribu jiwa menjadi korban. Pengkhianatan dan siasat kotor yang dilakukan oleh mereka yang haus harta, kekuasaan dan kedudukan; telah membuat Abduh membenci politik. Demikian bencinya kepada politik yang senantiasa kotor itu hingga dikatakannya kepada Rasyid Ridla: ”Setiap perkara apabila telah dimasuki politik, pasti rusak. Dijauhkan Allah kiranya aku daripada politik, dari kata-kata politik dan dari pengertian politik.”
Tetapi yang demikian itu bukan berarti bahwa dia telah kehilangan rasa kebangsaan dan semangat kemerdekaan, tidak! Perlawanannya terhadap Khadewi Abbas yang sangat dipengaruhi Inggris itu menjadi bukti yang nyata.
Bahkan, pernah dikatakannya kepada Rasyid Ridla: ”Sesungguhnya, anak-anak Mesir ini lebih cerdas dari bangsa lain dan pemuda-pemudanya lebih tangkas dan maju. Tetapi setelah meningkat remaja mereka tergoda oleh kesenangan dunia sehingga terhentilah cita-cita dan perjuangannya untuk maslahat umat. Demi Allah, jika di negeri ini seratus orang saja yang benar-benar lelaki, tak akan Inggris menetap di sini atau tak akan kuasa berbuat apa-apa jika mereka mengadakan perlawanan!” (Bersambung)
Sumber: buku Aliran Pembaharuan dalam Islam dari Jamaluddin Al-Afghani Sampai KHA Dahlan karya Djarnawi Hadikusuma. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan
Editor: Arif