Perspektif

Belajar Online Melegitimasi Kemalasanku

3 Mins read

Corona atau sering disebut Covid-19 bukanlah hal yang asing lagi untuk diperbincangkan. Karena belakangan ini virus yang bermula dari Kota Wuhan, China tersebut mulai masuk dan meraba ruang gerak masyarakat Indonesia. Kabar masuknya Covid 19 ke Indonesia sangat cepat menjangkiti telinga-telinga masyarakat, apalagi para warganet yang selalu update tentang berita-berita terkini. Ini semua tidak lepas dari peran media di Indonesia.

Berbagai macam wajah berita yang masuk, mulai dari yang dilengkapi data-data sampai yang hanya sebatas kata-kata. Bahkan ada juga yang lengkap dengan data, tapi data palsu (hoax). Keberagaman corak dan wajah berita ini yang kemudian menjadi bahan pembicaraan kita selaku masyarakat indonesia.

Lantaran begitu seriusnya membahas semua berita itu, kita jadi lupa menyaring berita tersebut. Sehingga terjadi rantai kebohongan yang saling menyambung, memutar, mengelilingi, hingga masuk di setiap sudut kehidupan masyarakat. Virus ini menjadi bahan dialektika yang berkepanjangan, sehingga memunculkan barbagai macam sudut pandang. Baik dari sudut pandang agama, politik, maupun sosial.

Dari sini pula munculah pakar-pakar baru yang membahas corona. Pakar dadakan yang menyampaikan argumennya hanya untuk menakut-nakuti ataupun ingin membuat dirinya viral. Bahkan sampai ada yang harus berpindah tempat tinggal ke tahanan sebab memberikan informasi palsu tentang Covid-19 ini.

Lika-liku Informasi

Dilansir dari detik.com bahwa pada tanggal 19 Maret 2020, unit Resmob Sidrap berhasil mengamankan pelaku penyebaran berita hoax tentang corona. Pelaku membuat video kemudian diunggah ke akun YouTube yang memberitakan bahwa tiga orang masyarakat di sulawesi selatan positif corona. Hal yang seperti ini menjadi pemicu meningkatkannya ketakutan masyarakat, apalagi berita yang diedarkan dengan redaksi yang begitu mengerikan.

Baca Juga  Updating Data Pemilih Lindungi Hak Pilih

Padahal corona ini sendiri tidak semenakutkan seperti apa yang di beritakan oleh oknum-oknum yang tak bertanggungjawab. Dilihat dari sudut pandang sosial-politik, ada yang mengatakan bahwa peredaran berita corona ini sebagai penutup isu-isu yang ingin diangkat oleh pemerintah agar tidak terjadi hambatan dalam mengerjakannya, karena orang-orang terfokus pada satu titik, yaitu corona.

Ada juga yang mengatakan bahwa corona ini di sebarkan untuk mengurangi populasi penduduk, dengan berkurangnya penduduk, potensi kerusakan alam makin menurun. Sedangkan jika dilihat dari sudut pandang keagamaan, ada yang mengatakan virus ini adalah azab atas kezaliman orang-orang terhadap ekosistem. Dengan seperti ini orang-orang jadi saling menyalahkan, bahkan menghujat dan menganggap seakan akan ini benar-benar azab dari Allah tanpa memperhatikan penyebab dari virus ini ketika ditinjau dari dunia kesehatan seperti apa. Ditambah lagi adanya fatwa-fatwa yang bersifat dogmatis dengan dalil-dalil yang ada tanpa pemahaman yang luas tentang dalil tersebut.

Seharusnya orang-orang yang menyampaikan dalil tersebut memberikan pemahaman yang luas kepada masyarakat. Bukan malah memberikan sebuah arahan yang sifatnya mentahan tanpa penafsiran yang jelas. Karena hal ini justru menimbulkan kebingungan pada sebagian masyarakat. Padahal kalau kita perhatikan dan kita renungi corona ini sendiri punya hikmah yang sangat indah jika kita amati.

Fatwa dan Belajar Online

Di sini saya tidak akan membahas panjang tentang fatwa ini, karena sudah di bahas pada tulisan-tulisan terbitan sebelumnya. Mungkin saya hanya sedikit mengulang lagi, tentang persoalan fatwa ini. MUI telah menerbitkan fatwa yang salah satu isinya anjuran beribadah di rumah. Fatwa itu keluar untuk menyikapi wabah Corona.

Fatwa tersebut berjudul ‘Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19’. Setelah fatwa ini beredar di masyarakat, munculah pertanyaan-pertanyaan mengenai kejelasan fatwa ini. melihat hal itu, Ketua Bidang Fatwa MUI Huzaemah meluruskan informasi terkait isu MUI membolehkan masyarakat melakukan salat Jumat di rumah di tengah beredarnya virus corona.

Baca Juga  Dibalik Klaim Kerajaan Agung Sejagat

Huzaemah menegaskan, “Hanya dikatakan boleh tidak melakukan salat Jumat tetapi diganti salat Zuhur di kediaman masing-masing, nggak ada itu bunyinya boleh salat Jumat di rumah. Salat Jumat itu kan jemaah, bagaimana (kalau) di rumah,”. Bahkan ada yang sampai menetang fatwa, dengan dalih “hanya karena corona sampai rela meninggalkan salat jamaah di masjid”.

Dalam hal ini Ustadz Fathurrahman Kamal selaku Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah menyebutnya sebagai teologi neo-jabbariyah. Teologi yang menyeruhkan takut kepada Allah, bukan takut pada virus corona. Beliau juga mengatakan “dalam suasana seperti ini,umat hanya punya dua pegangan : Allah dan Rasulnya melalui fatwa para ulama kredibel, kenudian otoritas negara/pemerintah melalui gugus tugas covid-19, para ahli kebencanan, para dokter dan ahli kesehatan yang profesional. Saatnya kita mengakui otoritas ilmu wahyu dan sains”.

Di samping perdebatan tentang fatwa tersebut, selain fatwa MUI tentang anjuran untuk beribadah dirumah, ada juga kebijakan tentang kemudahan, yaitu belajar online. Hal inilah yang memunculkan sebuah lelucon dari seorang mahasiswa yang mengatakan, “kebijakan belajar di rumah telah melegitimasi kemalasanku”.

Lelucon ini diungkapkan oleh salah seorang mahasiswa. Di mana menurutnya kebijakan untuk belajar di rumah dengan sistem online sangat memudahkannya. Sehingga ia mengatakan kebijakan yang keluar telah melegitimasi kemalasannya.

Selain lelucon, ada juga duka yang dirasakan oleh para mahasiswa yang mendapatkan pembelajaran online. Bukan tentang materi yang diberikan, melainkan tugas terus menerus dari tiap mata kuliah selama belajar online. Ya, mau tidak mau kami selaku mahasiswa harus menerimanya sebagai konsekuensi dari menuntut ilmu.

Hikmah Covid-19

Segala sesuatu yang terjadi seperti musibah, pasti ada hikmah dan pembelajaran yang bisa diambil darinya. Salah satu hikmah dari adanya Covid-19 ini adalah, orang-orang jadi lebih sering melihat dalil-dalil mengenai musibah, saking penasaranya terhadap virus ini. Kemudian akan timbul rasa sadar akan kencintaan terhadap diri sendiri, kepada keluarga, dan kepada lingkungan.

Baca Juga  Saatnya Melakukan Transformasi Sosial di Bulan Ramadan!

Sebab tanpa adanya cinta terhadap diri dan lingkungan maka penyakit apapun akan mudah masuk. Keadaan ini dapat disebabkan kondisi lingkungan yang tidak terurus dan kumuh. Lewat kejadian ini, Allah memberikan sebuah musibah agar hamba-hambanya kembali mengingat akan kebesaran dan keagungan kuasa Tuhan.

Dibalik bencana ada hikmah, ada pelajaran, ada kebaikan. Mari kita renungkan, kita temukan rahasia di balik bencana yang selama ini terjadi. Wallahu a’lam.

Editor: Nabhan

Rahmat Balaroa
3 posts

About author
Mahasantri Pondok Shabran UMS Mahasiswa Ilmu Al Qur'an dan Tafsir UMS
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *