Oleh: Djarnawi Hadikusuma
Menurut Muhammad Abduh, agama Islam adalah yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Rasul kemudian perjalanan Khulafaur Rasyidin serta sahabat Rasulullah. Atas dasar itulah, ia menyiarkan agama Islam yang murni dengan uraian yang sesuai dengan akal dan kemajuan. Karena Islam adalah agama kemajuan, bukan uraian yang penuh dengan dogma serta kultus perseorangan ataupun penuh mitos.
Bagi Abduh, madzab adalah jalan yang telah digunakan oleh ulama di dalam menganalisa dan berpikir untuk sampai kepada apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Yaitu menetapkan hukum atau pendirian dengan menggunakan pengertian lughat Arab yang fasih. Dan adalah semua Imam dan ulama madzab memberi petunjuk untuk meneliti pemahaman dan penggunaan dalil-dalil yang dipedomaninya, dan berpesan kepada orang yang memegang teguh Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Jadi, bermadzab adalah mengikuti jalan atau sistem tertentu untuk sampai kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, dengan pengertian yang tepat. Oleh karena itu, barangsiapa yang bermadzab dengan jalan menjadikan perkataan imamnya sebagai agama atau dasar ibadahnya, maka sebenarnya ia telah menghapus agama itu sendiri. Yaitu menghapus agama Allah dan ditukar dengan agama imam. Pekerjaan semacam itu dilarang oleh Allah dan tergolong ke dalam kelompok mereka yang dimaksud Allah dalam firman-Nya Surat At-Taubah ayat 32 yang artinya: ”Mereka telah jadikan ulama dan orang shalih mereka sebagai Tuhan selain Allah.”
Maka, wajiblah bagi setiap orang alim untuk mengajar dan memberi petunjuk dengan mengemukakan dalil-dalil. Wajib atas setiap orang untuk mempelajari agamanya sampai kepada nash-nash Al-Qur’an dan Sunah Rasul, menurut kadar kemampuannya.
Jasa Muhammad Abduh kepada kemajuan umat Islam diakui oleh semua ahli sejarah, oleh umat Islam sendiri dan juga oleh umat non-Islam. Orang Barat menggelari dia dengan ”Reformer,” yakni orang yang melaksanakan perbaikan dengan mengadakan bentuk atau peraturan baru. Gelar ini tidak tepat karena Abduh tidak membentuk ajaran Islam baru, tetapi sebaliknya. Ia mengembalikan ajaran Islam yang ada yang sudah berubah sebagai pahamnya orang, kepada bentuk dan isi yang asli sebagaimana diajarkan Rasul pertama kali.
Dengan demikian, jelaslah kembali keasliannya dan terkikislah tambahan-tambahan yang dilekatkan orang. Gelar ”Reformer” itu dapat tepat jika diartikan bahwa Abduh telah mengubah cara berpikir cara berpikir umat Islam dalam memahami agamanya, dengan cara yang sesuai dengan kecerdasan akal dan pemikiran yang sehat atau ”sound reasoning” menurut tuntutan kemajuan zaman dengan tidak menyimpang dari keaslian ajaran Islam itu.
Adapun Sayid Rasyid Ridla menggelari Abduh dengan ”Mujaddid” yang berarti ”orang yang membarui ajaran agama.” Arti ”membarui” di sini juga bukan menciptakan hal baru, tetapi mengembalikan ajaran Islam itu ke dalam keadaannya sewaktu baru dahulu, seperti yang diajarkan oleh Rasul.
Ibarat sebuah bejana daripada logam, ketika baru selesai dibuat keadaannya bersih mengkilap. Setelah usang dimakan masa, warnanya menjadi suram karena penuh debu dan kotoran, sehingga keasliannya tidak kelihatan lagi. Maka ”membarui” berarti membersihkan bejana itu, mengikis daki-dakinya hingga bersih dan bercahaya sebagai semula. Usaha semacam itu dinamakan tajdid dan orangnya bernama mujaddid.
Semacam bejana itulah keadaan semua agama, termasuk agama Islam. Pada zaman Rasulullah dan para sahabat, ajaran Islam masih murni dan segala persoalan dapat ditanyakan langsung kepada Nabi atau sahabat yang pernah hidup bersama Nabi. Dalam perjalanan masa dari tahun ke tahun dan dari abad ke abad sesudah wafatnya Nabi dan para sahabatnya, ajaran Islam dikaburkan oleh perkembangan kebudayaan yang di sana-sini dipengaruhi oleh hawa nafsu dan unsur politik.
Ajaran yang prinsipil menggerakkan umat untuk berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan serta ajaran tentang hukum kemasyarakatan tidak sampai atau sengaja tidak disampaikan kepada umat. Ajaran yang teguh tentang kemutlakan tauhid dikaburkan dengan ajaran lain tentang kekeramatan segolongan manusia yang dinamakan ”wali” dan ”ulama besar” yang kewibawaannya berlangsung terus meskipun orang telah meninggal.
Ajaran pengeramatan itu menjurus kepada kemusyrikan, lagi pula membelenggu jiwa dan akal serta mempersempit langkah. Ajaran ibadah ditambah-tambah sehingga kaburlah antara yang asli dan yang tambahan, akhirnya keduanya dianggap sebagai keseluruhan ibadah menurut ajaran Allah, padahal tidak.
Kesemuanya itu mengakibatkan merosotnya mental dan potensi umat Islam yang sejak dahulu telah dibina oleh Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin serta para Khalifah dan ulama serta para pemimpin umat yang benar-benar berpedoman kepada ajaran Allah dan benar-benar memimpin.
Maka, dalam keadaan lemah dan mundur seperti itulah, umat Islam menjadi mangsa dan bulan-bulanan serta menjadi domba aduan oleh imperalis dan kapitalis Barat serta Raja-raja Islam yang menjadi alatnya, sebagaimana ternyata dalam negara-negara Islam di mana Jamaluddin dan Muhammad Abduh berjuang.
Maka umat Islam perlu dibangkitkan dan untuk itu perlu dikenalkan kembali kepada ajaran Islam yang murni dibimbing untuk melaksanakannya. Pelaksanaan ajaran Islam harus menyeluruh, segala bidang. Diterapkan pada diri sendiri, kepada keluarga, dan kepada masyarakat. (Bersambung)
Sumber: buku Aliran Pembaharuan dalam Islam dari Jamaluddin Al-Afghani Sampai KHA Dahlan karya Djarnawi Hadikusuma. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan
Editor: Arif