Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr, Mesir pada tahun 1849 M dan wafat pada tahun 1905 M.
Muhammad Abduh
Pendidikan pertama yang ditekuni Muhammad Abduh adalah belajar al-Qur’an, dan berkat otaknya yang cemerlang maka dalam waktu dua tahun, ia telah hafal al-Qur’an di usianya yang ke- 12 tahun. Pendidikan formalnya dimulai ketika ia dikirim oleh ayahnya untuk belajar di masjid Syaikh Ahmadi yang terletak di desa Thantha.
Namun, karena sistem pembelajarannya yang dirasa membosankan, akhirnya ia memilih untuk menimba ilmu dari pamannya, Syaikh Darwisy Khidr di desa Syibral Khit yang merupakan seseorang yang berpengetahuan luas dan penganut paham tasawuf.
Kemudian, ia melanjutkan studinya ke Univesitas Al Azhar, di Kairo dan berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1877 M.
Ketika menjadi mahasiswa di Al Azhar, pada tahun 1869 M ia bertemu dengan seorang ulama’ besar sekaligus pembaharu dalam dunia Islam, Jamaluddin al-Afghani dalam sebuah diskusi. Sejak saat itulah Abduh tertarik kepada beliau dan banyak belajar darinya.
Kegelisahan di Bidang Pendidikan
Ketika ia mulai belajar di masjid Syaikh Ahmadi, yang hanya ia tempuh selama 2 tahun saja Namun, ia merasa tak mengerti apa-apa. Tentang pengalamannya ini Abduh menceritakan “Satu setangah tahun saya belajar di masjid Syaikh Ahmadi dengan tak mengerti suatu apapun.
Ini adalah karena metodenya yang salah. Guru-guru mulai mengajak kita untuk menghafal istilah-istilah tentang nahwu dan fiqh yang tak kita ketahui artinya, guru tak merasa penting apa kita mengetahui dan tidak mengerti istilah-istilah itu”. Inilah latar belakang dari pokok pembaruannya dalam bidang pendidikan di kemudian hari.
Pada tahun 1866 M, Abduh meninggalkan istri dan keluarganya menuju Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Harapannya itu tak terpernuhi. Ia keluar karena proses belajar yang berlangsung menonjolkan ilmu dan hapalan luar kepala tanpa pemahaman, seperti inilah pengalamannya di Thantha.
Tiga tahun setelah ia di Al-Azhar, Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir. Segera saja Abduh bergabung bersamanya. Di bawah bimbingan al-Afghani, Abduh mulai memperluas studinya sampai meliputi filsafat dan ilmu sosial serta politik.
Al-Afghani aktif memberikan dorongan kepada murid-muridnya ini untuk menghadapi intervensi Eropa di negeri mereka dan pentingnya melihat umat Islam sebagai umat yang satu.
Ia memutar jalur hidupnya dari tasawuf yang bersifat pantang dunia itu, lalu memasuki dunia aktivisme sosio-politik.
Faktor Kemunduran Umat Islam
Abduh berpandangan bahwa penyakit yang melanda negara-negara Islam adalah adanya kerancuan pemikiran agama di kalangan umat Islam sebagai konsekuensi datangnya peradaban Barat dan adanya tuntutan dunia Islam modern.
Sebab yang membawa kemunduran umat Islam adalah bukan karena ajaran Islam itu sendiri, melainkan adanya sikap jumud di tubuh umat Islam. Jumud yaitu keadaan membeku/statis sehingga umat tidak mau menerima perubahan, yang dengannya membawa bibit kepada kemunduran umat saat ini.
Seperti yang dikemukakan Muhammad Abduh dalam al-Islam baina al-‘Ilm wa al-Madaniyyah, ia menerangkan bahwa sikap jumud dibawa ke tubuh Islam oleh orang-orang yang bukan arab, yang merampas puncak kekuasaan politik di dunia Islam.
Inilah akar masalah yang akan diberantas oleh Muhammad Abduh dengan ide-ide pembaruannya.
Salafisme Progresif
Menurutnya, Gerakan wahabi dekat pada pembaruan yang benar, karena ia menyerang problem pada akarnya, kebutuhan untuk mereformasi moralitas dan doktrin, kembali kepada fundamen-fundamen Islam.
Hanya saja hal fundamental yang ada pada gerakan Wahabi adalah sedikit doktrin yang bersesuaian dengan tuntutan nalar manusia. Oleh karena itu ada yang mengklasifikasikan Muhammad Abduh dalam “Salafisme Progresif”.
Abduh, sebagaimana Abdul Wahhab, berusaha mengembalikan umat seperti pada masa lalu, yaitu di zaman sahabat dan ulama-ulama besar.
Namun, yang membedakan faham Abduh dengan Abdul Wahhab adalah umat tidak cukup hanya kembali kepada ajaran-ajaran asli itu saja, tetapi ajaran-ajaran itu juga mesti disesuaikan dengan keadaan modern sekarang ini.
Pembaruan Islam ala Muhammad Abduh
Dalam hal ijtihad, faham Ibn Taimiyyah yang menyatakan bahwa ajaran-ajaran Islam terbagi ke dalam dua kategori: Ibadah dan Mu’amalah, diambil dan ditonjolkan oleh Muhammad Abduh. Ia melihat bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadist bersifat tegas, jelas dan terperinci.
Sebaliknya, ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan umat hanya merupakan dasar-dasar dan prinsip umum tidak terperinci, serta sedikit jumlahnya. Oleh karena sifatnya yang umum tanpa perincian, maka ajaran tersebut dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Dalam kitab Tarikh Hashri al-Ijtihad dikutip pendapat Abduh mengenai ijtihad. “Sesunggunya kehidupan sosial manusia selalu mengalami perubahan, selalu terdapat hal-hal yang belum pernah ada pada zaman sebelumnnya”.
Taklid buta pada ulama terdahulu tidak perlu dipertahankan, bahkan Abduh memeranginya. Karena taklid di bidang mu’amalah menghentikan pikir dan akal berkarat. Taklid menghambat perkembangan bahasa Arab, perkembangan susunan masyarakat Islam, sistem pendidikan Islam,dan sebagainya.
Pendapat tentang dibukannya pintu ijtihad bukan semata-mata pada hati tetapi akal. Qur’an memberikan kedudukan yang tinggi bagi akal. Islam, menurutnya adalah agama rasional.
Dalam bidang pendidikan, seperti dikutip oleh Fazlur Rahman, Abduh menyatakan bahwa ilmu pengetahuan modern banyak berdasar pada hukum alam (sunnatullah, yang tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya). Sunnatullah adalah ciptaan Allah SWT. Wahyu juga berasal dari Allah.
Jadi, karena keduanya datang dari Allah, tidak dapat bertentangan satu dengan yang lainnya. Islam mesti sesuai dengan ilmu pengetahuan modern dan, yang modern mesti sesuai dengan Islam, sebagaimana zaman keemasan Islam yang melindungi ilmu pengetahuan.
Dengan penuh semangat, Abduh menyuarakan penggalian sains dan penanaman semangat ilmiah Barat.
Menurut Muhammad Abduh, kemajuan Eropa itu karena belahan dunia ini telah mengambil yang terbaik dari ajaran Islam. Ia membantah bahwa Islam tidak mampu beradaptasi dengan dunia modern. Ia membuktikan bahwa Islam adalah agama rasional yang dapat menjadi basis kehidupan modern.
Sebagai konsekuensi dari pendapatnya, ia berupaya untuk memperbarui pendidikan dan pelajaran modern, yang dimaksudkan agar para ulama kelak tahu kebudayaan modern dan mampu menyelesaikan persoalan modern.
Program yang diajukannya sebagai salah satu fondasi utama adalah memahami dan menggunakan Islam dengan benar untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Menurutnya, sekolah negeri (sekuler) harus diwarnai dengan agama yang kuat.
Baginya, Pendidikan adalah hal terpenting dalam kehidupan manusia dan dapat merubah segala sesuatu.
Editor: Nabhan