Inspiring

Muhammad Asad (2): Telaah Atas Hadith dan Sejarahnya

7 Mins read

Sebelum membahas telaah Asad ke atas hadith dan sejarahnya, telah dibahas latar belakang seorang Muhammad Asad. Asad yang mendalam terhadap hadith sebenarnya mulai tumbuh sewaktu beliau berkelana selama lima tahun di Madinah. Ketika mempelajari ilmu hadith di Masjid Nabawi, suasana yang tenteram itu menimbulkan semangat Islam yang luar biasa kepadanya. Ia menjadi impian Asad untuk melahirkan pemahaman yang baru terhadap teks yang berusia ribuan tahun yang dapat memberikan penghargaan langsung terhadap semangat dan ajaran Islam yang sebenarnya.

Kesan ini dihimbau dalam bukunya Islam at the Crossoads: “Saya tinggal lebih lima tahun di Hejaz dan Najd, kebanyakan di Madinah, supaya saya dapat mengalami sesuatu dari alam sekitar yang asli di mana agama ini dikhotbahkan oleh Nabi (saw) berbangsa Arab itu.”  (Muhammad Asad, 1983, 6)

Telaah Asad ke atas Hadith dan Sejarahnya

Kekuatan ini yang membangkitkan keazamannya untuk mengupas Sahīh al-Bukhārī sepanjang berkelana di Madinah selama lima tahun, mempelajari ilmu berkaitan ‘ulūm al-hadīth itu. Ia ingin melahirkan pandangan-pandangan moden dengan komentar-komentar yang cukup baru ke atas kitab Sahih al-Bukhārī yang dapat menghidupkan kesedaran dan pemahamannya yang sebenar.

Ia ingin memulihkan dan membawa kefahaman yang ideal terhadap pandangan hidup Islam dan ajaran-ajarannya yang asal yang dikhutbahkan oleh Nabi (saw) dan semangatnya yang asli yang digarap dan dilacak dari babak-babak sejarah dari ribuan tahun yang lampau. Kesan ini dirumuskan dalam pengantarnya kepada kitab Sahih al-Bukhārī: The Early Years of Islam (1938) melakarkan latar tentang syarahnya ke atas kitab Sahih:

“Ide untuk menterjemahkan kitab Sahīh ke dalam bahasa Inggeris – tugas yang belum pernah dicuba sebelumnya – tercetus sewaktu saya berkelana selama lima tahun di Madinah, ketika mempelajari ilmu hadith di Masjid Nabawi. Dalam iklim yang tenteram itu, keperluan untuk menemukan sekali lagi hubungan langsung dengan semangat Islam yang asli hadir dengan kekuatan yang luar biasa kepada saya.

Sesungguhnya adalah tidak memadai, saya sedar, untuk mengetahui apa orang yang hebat itu dan ini fikirkan tentang hal-hal yang Islamik; maka adalah tidak memadai untuk hidup di bawah bayangan pemikiran yang telah difikirkan pada zaman yang begitu jauh dari kita yang hampir tiada persamaan dengan kehidupan kita sekarang. Apa yang sangat mendesak yang kita perlukan hari ini adalah kefahaman baru dan penghargaan langsung terhadap ajaran Islam yang sebenar. Untuk mencapai ini kita harus sekali lagi menjadikan riil suara Nabi Islam – begitu riil, seakan-akan Baginda berbicara langsung dengan kita dan untuk kita: dan di dalam hadithlah suara Baginda dapat didengar dengan paling jelas sekali.”

Muhammad Asad Membela Aspirasi dan Cita-cita Islam

Dalam membela aspirasi dan cita-cita Islam ini, ia banyak diyakinkan dari pembacaannya terhadap kitab-kitab hadith dan karya-karya besar Islam yang membawa pandangan hidup Islam yang sebenar. Pengkajian dan pembelajarannya di kota Makkah dan Madinah itu telah membawanya kepada satu keyakinan yang pasti. Bahawa Islam, sebagai suatu fenomena sosial dan spiritual, dalam segala kepincangan akibat kekurangan yang ada pada sekian Muslim, masih merupakan kekuatan dan tenaga penggerak yang luar biasa yang pernah dirasai manusia. Bermula dari situlah hingga ke akhir hayatnya, minatnya berkisar di sekitar masalah yang perlu dihadapi dalam menghidupkan semula Islam.

Baca Juga  Siti Munjiyah, Perempuan Aisyiyah yang Menjadi Aktor CPPA dan Kongres Perempuan Pertama

Dalam merumuskan prinsip-prinsip hukum yang harus ditegakkan dalam negara Islam, Asad mencerakinkan gagasan-gagasan awalnya dalam draf yang dirangkanya pada 1947. Draf hasil telaah hadith Islam dan sejarahnya ini bertajuk Islamic Constitution Making (yang diterbitkan di Lahore dengan biaya pemerintah – dalam bahasa Urdu dan Inggeris pada 1948) yang menyediakan rencana asal dari dustur negara Pakistan.

Asad ketika itu mengepalai Department of Islamic Reconstruction yang ditugaskan oleh pemerintah Pakistan untuk merangka dan menyusun suatu konstruksi asas bagi perlembagaan atau dustur yang bakal diberlakukan di negara yang baru didirikan. Asad menggariskan dasar dan prinsip asas yang dirumuskan dari nas dan tradisi al-Qur’an dan Sunnah, di mana beliau menggariskan dua batas penentu, i.e., dalam negara Islam kedaulatan yang sebenar terletak pada Tuhan dan bahawa orang-orang beriman harus menyelenggarakan semua urusan menyangkut dengan negara dan masyarakat melalui musyawarah.

Gagasan-gagasan awal ini dibangunkan di atas nas-nas yang jelas yang diilhamkan dari hadith-hadith sahih dalam kitab al-SahihaynSahih al-Bukhari dan Sahih Muslim – Sunan al-Tirmidhi, Sunan Abu Daud, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Al-Muwatta’, Musnad Ahmad, Sunan al-Bayhaqi dan lain-lain.

Rumusan 70 Hadith Sahih

Dalam menyusun asas-asas intelektual dan kemasyarakatan yang akan menjadi landasan bangunan negara Islam Pakistan ini, Asad telah merumuskannya dari 70 hadith yang sahih, yang darjat kesahihannya paling tinggi yang tidak memungkinkan celah-celah –yang secara teknikalnya– dapat dipertikaikan.

Ia turut melihat pada konteks dan asbabnya sesuatu hadith dikeluarkan. Nas-nas yang fundamental ini memberikan sumber yang utama dan autoritatif dalam perumusan hukum:

“Sedangkan dalam kaitannya dengan hadith-hadith Nabi (saw) jelas akan menuntut suatu penelitian yang mendalam terhadap setiap hadith dan latar belakang sejarah saat hadith itu diucapkan oleh Nabi (saw). Dalam hal ini, kewajiban para sarjana yang tergabung dalam kelompok kecil itu hendaknya hanya mempertimbangkan hadith-hadith yang memiliki derajat kemungkinan paling tinggi untuk dikritik secara historis dan teknis. Sedangkan hadith-hadith yang memiliki celah –-walaupun sedikit–- untuk ditolak kesahihannya hendaklah diabaikan sejak awal.” (Muhammad Asad, 1985, 176)

Dalam perbincangannya terkait tantangan-tantangan yang dibawa oleh arus pemikiran semasa terutamanya dari peradaban Barat, Asad mempertahankan kerelevenan hadith dalam kesedaran dan pemikiran umat dan perkembangan sejarahnya yang moden. Kefahaman-kefahamannya yang mengesankan dari pengetahuan hadith dimanfaatkan bagi menguraikan kesulitan-kesulitan yang timbul terkait problematika sejarah dan prosesnya.

Ia berusaha menghidupkan dan memperbaharui keyakinan terhadap ajaran-ajarannya. Pemikiran dan kekuatan yang tertanam dalam  ajaran-ajaran hadith yang transendental ini mempunyai kesan yang luar biasa dalam menggerakkan kemajuan dalam pemikiran dan budaya dan menggembleng kesedaran terhadap landasan moral dan spiritualnya.

Baca Juga  Hanum Salsabiela Rais: Kampanye Islam Damai Lewat Buku

Persoalan ini diangkat dalam bukunya, Islam at the Crossroads yang membahaskan dua tema yang krusial terkait permasalahan hadith, i.e. “Hadith dan Sunnah” (bab 6) dan “Jiwa Sunnah” (bab 7). Menurutnya:

“Sunnah adalah kunci pengertian kebangkitan Islam lebih dari tiga belas abad yang silam; dan mengapa ia tidak harus menjadi kunci bagi regenerasi kita sekarang? Peninjauan daripada sunnah adalah sama dengan peninjauan kehidupan dan kemajuan Islam. Mengabaikan sunnah adalah sama dengan kekacauan dan kemunduran Islam. Sunnah adalah kerangka besi dari rumah Islam; dan kalau anda lepaskan kerangka itu dari suatu bangunan akan terkejutkah anda apabila gedung itu ambruk seperti rumah-rumah kartu?” (Muhammad Asad, 1983, 102).

Mempertahankan Pemikiran yang Mendalam

Dalam kupasannya tentang prinsip dan kefahaman asas ilmu hadith, Muhammad Asad memberi tekanan penting terhadap kekuatan tradisi intelektual yang dipertahankan dalam sejarah dan tradisi pemikirannya. Kekuatan akliah ini diilhamkan daripada karya-karya besar ulama yang menekankan aspirasi penting terhadap kekuatan nalar dan ketinggian ijtihad yang menjadi landasan dari penafsiran dan pemahaman teks dan hukum hakam syariat.

Asas-asas dan nilai-nilai pemikiran yang mendalam ini dipertahankan dalam tradisi akliah dan sejarah peradabannya. Ia menuntut pembukaan pintu ijtihad dan kebebasan akliah yang meluas dan pengembangannya yang substantif dalam tradisi dan sejarah intelektualnya.  Aspirasi ini dijelaskan Asad dalam pengantarnya kepada kitab Sahih al-Bukhari: The Early Years of Islam (1938):

Tetapi apakah maksud ayat “sunnah ini, jika difahami dengan tepat”? Adakah interpretasinya –-malahan, interpretasi al-Qur’an sendiri-– telah ditetapkan kepada kita, secara definitif, pada suatu period yang jauh pada masa lalu? Hal ini malangnya, kelihatan menjadi sikap majoriti yang besar dari umat Islam.

Sejak berabad lamanya mereka telah berhenti untuk berfikir secara bebas tentang ajaran Islam dan berpada dengan diri mereka dengan hanya mengulangi ide dan konsep yang dibentuk tidak lewat daripada abad keempat Hijrah, dan sering mencerminkan simpang siur falsafah Neo-Platonik yang menguasai begitu besar pemikiran kebanyakan ulama Islam dari kurun kedua selanjutnya: ide dan konsep yang tidak dalam setiap kes, sejajar dengan tujuan Nabi Terakhir dan para Sahabatnya.

Pendeknya, ia adalah kebekuan pemikiran Muslim abad pertengahan tentang ajaran Nabi dan bukan yang disangka “kebekuan sunnah” sepertinya yang tanpa ragu adalah salah satu daripada punca utama kelunturan budaya di dunia Islam. Sudah pasti, tiada yang dapat berpura-pura menyangka karya-karya generasi Muslim terawal dapat dikesampingkan dalam zaman kita; malahan ia adalah suatu kebutuhan bagi kita sebagaimana ia menjadi kebutuhan kepada pendahulu kita.

Tetapi adakah kita harus menganggap bahawa semua kemungkinan dari pengetahuan agama telah kering dilacak oleh karya-karya awal itu, dan bahawa tidak ada yang berbaki untuk kita kecuali untuk mengikut mereka secara semberono, tanpa hak untuk merongkai dan menginterpretasinya dalam kerangka yang baru? Jelas, ia tidak mungkin begitu.

Baca Juga  Al Jahiz: Ulama yang Berpikir Kritis dan Skeptis

***

Dalam tradisi pemikiran dan intelektualnya, riwayat-riwayat hadith menunjukkan, menurut  Muhammad Asad, penekanan yang jelas terhadap prinsip kesederhanaan-yang mengimbangi antara keperluan ruh dan jasad (tubuh kasar), individu dan sosial, dan bukan mengenyampingkan dan menafikan hubungan yang alami dan tak terpisahkan itu sama sekali:   

“Oleh karena itu maka tidaklah menunjukkan pengertian yang dalam tentang Islam  apabila orang membeda-bedakan perintah-perintah dari Nabi (saw) yang berbicara tentang hal-hal peribadatan dan kerohanian dengan yang berhubungan dengan soal-soal kemasyarakatan dan kehidupan sehari-hari.” (Muhammad Asad, 1983, 103). Demikian riwayat hadith dan sejarahnya yang didalami oleh Asad selama perjalan hidupnya.

Sikap terhadap Sunnah

Ketundukan kepada sunnah, merupakan prasyarat dalam ketundukan kepada Islam, di mana “Sikap kita terhadap masalah sunnah akan menentukan sikap masa depan kita kepada Islam” (Muhammad Asad, 1983, 117). Ini, menurut Asad, menuntut kefahaman dan kesedaran terhadap setiap praktik yang ditunjukkan oleh Nabi (saw) dalam tindak tanduknya sehari-hari.

Dalam kesungguhan kita meneladani sikap dan keperibadian beliau itu, dasar dan pandangan hidupnya itu akhirnya menjadi keutamaan dan membawa pada kesedaran Islam yang hakiki:

“Dalam segala yang kita lakukan, kita secara permanen didorong untuk memikirkan perbuatan dan perkataan Nabi (saw) yang bersangkutan dengan itu. Dengan demikian maka pribadi manusia terbesar itu terserap dalam-dalam pada kebiasaan kehidupan kita sehari-hari, dan pengaruh spirituilnya menjadi faktor ril yang terus berlangsung dalam kehidupan kita. Secara sadar dan di bawah sadar kita terbimbing untuk mempelajari sikap Nabi (saw) dalam hal ini dan hal itu; kita belajar memandang beliau bukan saja sebagai pembawa pembentangan moral, tetapi juga sebagai penunjuk ke arah kehidupan sempurna.” (Muhammad Asad, 1983, 131).

Dari analisis ringkas tentang doktrin dan pemahaman hadith yang dibawa Muhammad Asad jelaslah kekuatannya yang merangkul prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah yang krusial dalam pemikiran hadith. Ia memberi asas yang penting dalam analisis-analisis sejarah yang mendalam yang dikemukakannya tentang riwayat-riwayat hadith dan pengaruhnya ke atas aliran-aliran mazhab yang berkembang dalam tradisi pemikiran dan intelektual Islam.

Ini dizahirkan secara prinsipal dalam perbahasannya tentang pengaruh aliran kaum teolog, kalam dan sufi terhadap pemahaman hadith dalam Kitab al-Iman (The Book of Faith) dalam kitab Sahih al-Bukhari The Early Years of Islam ini yang menyentuh tentang permasalahan-permasalahan terkait dengan kemusykilan-kemusykilan akidah dari hadith-hadith al-Iman dan pengaruhnya terhadap kepercayaan dan iktikad salaf.

Dalam  menganalisis kefahaman-kefahaman ini ia cuba menghuraikannya berdasar pada prinsip yang digariskan al-Bukhari dalam tarajjum al-abwab-nya yang memperlihatkan penafsiran dan pendirian al-Bukhari terkait persoalan-persoalan yang dimusykilkan dari hadith-hadith yang dikeluarkan. Analisisnya terhadap hadith-hadith Sahih dan penyorotannya terhadap permasalahan-permasalahan terkait ini menjelaskan prinsip yang penting dan klasik yang dibawanya dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran dan pemahaman moden dan progresif terhadap matan al-hadith.

Editor: Nabhan

Avatar
2 posts

About author
Fellow of International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malaysia
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds