Islam wasatiyah, suatu corak pemahaman dan praksis Islam yang agendanya membangun peradaban dunia lebih damai, berkeadilan, dan berkesinambungan, sejatinya bukanlah pemahaman baru yang muncul pada abad 20 Masehi ini. Melainkan telah ada sejak turunnya wahyu dan datangnya Islam ke muka bumi. Islam wasatiyah merupakan ajaran hakiki Islam yang sesuai dengan narasi Al-Qur’an dan contoh perilaku nabi, sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan ulama salafus shalih.
Narasi itu juga terkait dengan pemahaman akan watak Islam yang berhubungan dengan posisi tengahan Islam antara dua agama samawi terdahulu. Yahudi yang menekankan keadilan (din al-’adalah) dan Kristen yang menekankan kasih (din al-rahmah). Islam sebagai agama tengahan menggabungkannya menjadi agama keadilan sekaligus kasih sayang (din al-’adalah wa din al-rahmah). Dengan demikian, Islam wasatiyah juga menegaskan jalan tengah dalam arti tidak terjebak ke dalam dua titik ekstremitas (al-ghuluw wa al-taqsir), dalam pemikiran, keberagamaan, dan gerakan.
Di Indonesia, pandangan Islam wasatiyah diperkenalkan secara masif oleh cendekiawan muslim yang terdidik dengan latar-belakang Islam tradisional dan modernis, Din Syamsuddin. Hal itu dapat dilihat dari pemikiran, Gerakan, dan aktivitasnya, terutama di Majlis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah. Pandangan Islam wasatiyah ini beliau bawa sebagai misi keislaman, ketika beliau ditunjuk sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama antar Agama dan Peradaban (UKP-DKAAP), untuk diperkenalkan ke seluruh dunia.
Beberapa tahun sebelumnya, pandangan serupa dengan Din Syamsuddin ini berkembang di dunia Islam, terutama di Mesir. Diperkenalkan dan dikembangkan secara metodologis di antaranya oleh seorang pemikir muslim kontemporer, Muhammad Imarah (1931-2020), melalui beberapa tulisan dan karya ilmiahnya. Islam wasatiyah di tangan Muhammad Imarah terlihat pada tiga hal: posisi akal terhadap teks wahyu, manhaj keagamaan, serta relasi Islam dan negara.
Riwayat Hidup Muhammad Imarah
Muhammad Imarah lahir di perkampungan Sarwah, daerah Qalin, Negeri Kafar Syeikh, Mesir, pada 27 Rajab 1350 H, bertepatan dengan 8 Desember 1931. Keluarganya merupakan keluarga petani yang taat beragama.
Karena mendengar bahwa sekolah di Kuttab, tempat ia akan menimba ilmu pelajarannya sangat sulit dan takut dipukuli, Imarah lebih memilih bekerja sebagai petani membantu ayahnya. Tetapi, ayahnya yang menginginkan anaknya menuntut ilmu setinggi-setingginya, tak kehabisan akal. Ia berikan bagian-bagian yang sulit kepada Imarah untuk dikerjakannya.
Just to let you know, ayah Imarah telah bernazar, jikalau anaknya seorang laki-laki, akan ia beri nama Muhamad dan ia beri ilmu agama dengan menyekolahkannya ke al-Azhar. Akhirnya, rencana ayahnya berhasil, Imarah pun meminta sang ayah untuk mengantarnya ke Kuttab.
Semanjak remaja, Imarah sangat aktif melibatkan diri dalam berbagai kegiatan, mulai dari kegiatan kenegaraan dan umat Islam, kesusastraan, dan kegiatan kemerdekaan negara dan isu Palestina. Bahkan pada tahun 1946, ia ikut andil dalam pelaksanaan demonstrasi pelajar.
Pada tahun 1948, saat usianya 17 tahun, artikelnya yang berjudul Jihad, terbit di surat kabar Misr al-Fata. Artikel berjudul Jihad ini menjadi artikel pertamanya yang dipublikasikan oleh media cetak. Publikasi karyanya kemudian menjadi alasannya untuk terus menulis. Selain menulis, Imarah juga disibukkan dengan jadwal mengisi khutbah di masjid mengenai isu Israel dan Palestina dan kegitan mengajar di masjid-masjid terutama saat bulan Ramadan.
Membaca Lebih dari 3000 Buku
Selain pelajaran yang dipelajarinya di al-Azhar, ada sebab lain yang memengaruhi pembentukan pemikirannya. Sebab lain itu adalah kebiasaannya membaca syair-syair dan falsafah barat semenjak ia membeli lebih dari tiga ribu buku milik seorang al-Azhari yang alim di kampungnya. Imarah bersedia membeli seluruh naskah buku tersebut karena al-Azhari itu telah wafat dan buku-bukunya tersebut tidak dapat dibaca oleh anggota keluarganya.
Sementara itu, pada tahun 1958, kegiatan politik menyebabkan Imarah terlambat lulus. Padahal, Imarah mulai masuk Dar al-’Ulum, Kairo pada tahun 1954, tetapi baru memperoleh gelar B.A. dalam Studi Bahasa Arab dan Islam pada tahun 1965. Seharusnya, ia dapat memperoleh gelarnya pada tahun 1958.
Cerita lainnya adalah ketika ia dipenjara oleh Gamal Abd el-Nasser, presiden Mesir kedua, selama 6 tahun lamanya. Kurun waktu 6 tahun ini, ia manfaatkan untuk mulai membaca dan menulis. Empat buah buku berkisar tentang kebangkitan nasionalisme, isu bangsa Arab, kesatuan, dan persatuan bangsa Arab dalam era modern dan Yahudi telah selesai ia tulis.
Dituduh Sebagai Marxist
Tersebab ketekunannya membaca buku, maka semua tema buku yang menurutnya menarik minatnya dan menjadi pendukung keilmiahan pemikirannya, telah ia baca dan telaah. Termasuk, ketika ia tergerak untuk membela para petani. Kejadiannya pada tahun 1949-1954, ketika ia belajar di Sekolah Menengah Agama Ahmadi Tanta. Ia aktif dalam persatuan pelajar dan menjadi salah seorang penceramah di dalamnya. Sementara itu, pada waktu itu pula Misr al-Fata menjadi Partai Sosialis.
Sejak itu, ia mulai mengkaji dan mempelajari ajaran kaum sosialis dalam menentang ketidakadilan kepada para petani itu. Khutbah-khutbah Jumatnya berkisar pada pembelaan terhadap golongan miskin, khususnya para petani. Oleh karena itulah, Imarah pernah dituduh menjadi pengikut ideologi kaum sosialis. Namun, tuduhan ini ia bantah dengan pengakuannya bahwa ia belajar berkhutbah sejak kecil dan membaca tiga ribu naskah buku yang dibelinya. Dan apa yang ia baca adalah untuk kepentingan membangun argumentasi apa yang ditulisnya dan aktifitas advokasinya.
Dalam kalimat bantahannya yang tegas, Imarah mengatakan bahwa dirinya memang pernah berkecimpung dalam pergerakan rahasia dari segi politik. Tetapi dari segi ideologi, ia tegaskan tetap berpegang pada prinsip Islam, karena ia dididik dan dibesarkan dalam pengaruh agama samawi terakhir ini.
Pada kenyatannya, kalau dilihat dari tulisan dan pemikirannya, Imarah memang bukan pengikut aliran kaum sosialis. Melainkan pengikut aliran Islam wasatiyah atau Islam tengahan yang dibawa oleh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Hassan Al-Banna. Ia berpendapat, bahwa Islam wasatiyah merupakan aliran tajdid dan pembaharuan yang paling layak diikuti.
Imarah senantiasa menyeru kepada Islam wasatiyah menyeluruh, yang menggabungkan ciri-ciri kebenaran dan keadilan. Ia tulis, kaji, dan sunting karya-karya tokoh aliran wasatiyah dan ia perangi segala bentuk fanatisme terhadap agama dan pemikiran barat yang merusak.
Muhammad Imarah dan Islam Wasatiyah
Pemikiran Islam wasatiyah Imarah—sebagaimana disebut dalam bagian terdahulu tulisan ini—dapat didalami dari tiga hal. Dua yang pertama tergabung dalam satu isu pembahasan. Sedangkan yang terakhir merupakan contoh isu dan penerapan metodologi Islam wasatiyah dalam memandang sebuah persoalan.
Dalam memandang akal, teks kitab suci, dan metode pemahaman keagamaan, Imarah memilih berada di tengah antara pemuja teks yang konservatif dan pemuja rasionalitas barat yang liberal-sekular. Saya menikmati menelaah pilihan posisi pemikirannya ketika membaca karyanya berjudul Al-Mu’tazilah wa Mushkilah Al-Hurriyah Al-Insaniyah (1986/1406), dari terjemahan Ahmad Nabil Amir dan suntingan Mohd. Syazreen Abdullah dengan judul Muktazilah dan Persoalan Kebebasan Insan, terbitan Islamic Renaissance Front (IRF), Malaysia (2020).
Imarah menyatakan bahwa pemuja teks yang konservatif dan pemuja rasionalitas barat yang liberal-sekular, telah membuat wacana dan gerakan keislaman jatuh kepada dua titik ekstrim yang justru merugikan agama Islam itu sendiri. Kelompok pertama yang disebutnya dengan Kaum Salaf Tektualis (al-Salafiyah al-Nususiyah) dengan ciri pemikiran menolak dan mengingkari akal (al-‘aql) dan rasionalitas (al-‘aqlaniyah), merugikan Islam karena pemikiran mereka membuat wacana dan gerakan Islam menjadi tidak relevan dan kontekstual dengan realitas sejarah Islam itu sendiri. Islam kemudian terlihat jumud dan tidak berkemajuan.
Ajaran kelompok pertama ini tentu bertentangan dengan prinsip Islam sendiri, yang kata Imarah sangat menghormati dan menghargai akal dan rasionalitas. Dalam fakta sejarah, kaum Salaf sendiri sejatinya sangat konsen dengan eksperimen kemanusiaan (al-tajribah al-basyariyah) dan ijtihad (al-ijtihadat al-insaniyah). Sedangkan kelompok kedua, yang disebutnya dengan Gerakan Kaum Western, merugikan agama Islam, karena pemikiran mereka sangat berlebihan dan tidak hati-hati, yaitu, mereka menolak wahyu dan apapun yang berasal dari wahyu bila tidak sesuai dengan kemajuan seperti yang telah diraih Barat. Tentu saja gerakan yang mengatasnamakan Islam dengan ciri pemikiran seperti ini tidak bisa ditolerir. Karena merugikan dan membahayakan eksistensi Islam.
Kritik Imarah Kepada Abu Zayd dan Abd Al-Raziq
Secara khusus, terhadap para pemikir muslim yang memuja pemikiran barat untuk kemajuan Islam, Imarah menyarankan terhadap mereka secara manhaj keagamaan untuk kembali kepada turats. Salah satu pemikir muslim yang mendapat kritikan keras Imarah adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Menurut Imarah, hermeneutika Abu Zayd tidak cocok untuk diterapkan dalam penafsiran Al-Qur’an. Terlalu sekular dan mem-profankan Al-Qur’an, terutama pandangannya tentang Al-Qur’an sebagai produk budaya (al-muntaj al-tsaqafi). Ia kemudian menyarankan agar dalam menafsirkan Al-Qur’an, setiap pemikir muslim kembali kepada ilmu tafsir dan takwil, yang dalam penerapannya dapat mengharmoniskan antara akal dan naql.
Sebagai contoh lain penerapan metode dalam Islam wasatiyahnya, Imarah membahas beberapa isu penting dalam pemikiran Islam yang tergambar dari beberapa karyanya. Di antaranya: Peradaban Islam (fiqh al-Hadlarah fi al-Islam), Islam dan Kelompok Minoritas (al-Islam wa al-Aqalliyat), Islam dan HAM (al-Islam wa Huquq al-Insan), serta Islam dan Konsep Filsafat Hukum Ali Abd al-Raziq (al-Islam wa Ushul al-Hukm li Abd al-Raziq).
Karya terakhir merupakan kritik terhadap Ali Abd al-Raziq yang berpandangan bahwa Islam tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah kepemimpinan dan kekhalifahan. Menurutnya, kekhalifahan yang berada di bawah pimpinan al-Khulafa’ al-Rasyidun bukanlah sistem Islam atau keagamaan, tapi sistem duniawi.
***
Ada empat kritik utama Imarah terhadap Abd al-Raziq, yaitu; pertama, ia tidak mampu memahami nilai politis dalam prestasi Rasulullah Saw. Kedua, pendapatnya mengenai prestasi religius al-Khulafa al-Rasyidun boleh dikatakan membingungkan. Ketiga, ia membaca sumber-sumber historis dan puitis tanpa melihat konteks waktu. Terakhir, ia terlalu menekankan unsur ketimuran dalam pemikiran sejarah Islam, terutama citra despostisme-nya. Akibatnya, ia berkesimpulan bahwa sistem kepemimpinan relijius itu despotik.
Oleh karena itu, ia berpendapat tentang pentingnya sekularisasi Islam dan Negara. Islam harus dipisahkan dari Negara. Poin terakhir inilah yang ditentang keras oleh Imarah. Karena baginya, salah satu hakikat agama Islam adalah al-din wa al-daulah, harmonisnya relasi Islam dan Negara.
Kendati demikian, Imarah setuju dengan pendapat Abd al-Raziq tentang kebebasan menggunakan akal yang Allah berikan kepada manusia dalam perkara duniawi. Hanya saja, ia merasa bahwa kesimpulan yang diambil oleh Abd al-Raziq tidak tepat, yakni bahwa apa yang merupakan urusan akal pikiran tidak ada sangkut-pautnya dengan agama.
***
Akhirnya, dalam konteks Islam wasatiyah, Imarah memberikan solusi metodologis. Solusi metodologis ini merupakan jawabannya terhadap siapapun yang terlalu esktrim dalam menerapkan manhaj dan pemikiran keagamaan. Solusi metodologis tersebut adalah penerapan rasionalitas Islam (al-‘aqlaniyah al-islamiyah) pada setiap upaya menjelaskan Islam. Penerapan rasionalitas Islam dipandang penting oleh Imarah karena itulah hakikat Islam. Rasionalitas Islam, menurutnya, memiliki dua kaki sekaligus sayap, yaitu; akal (al-‘aql) dan wahyu (al-naql) yang secara harmonis diciptakan oleh Tuhan semesta alam untuk saling berdampingan melengkapi pemikiran manusia. Wallahu a’lam.
Editor: Yahya FR