Polarisasi yang rigid serta kanalisasi kaku atas masyarakat adalah fenomena yang berusaha ditampilkan oleh Film Divergent. Film yang dibintangi aktris ternama, Shailene Woodley ini dirilis pada 2014. Film ini bercerita tentang suatu kota yang populasinya dibagi-bagi berdasarkan faksi. Faksi-faksi tersebut seperti amity, candor, abnegation, dauntless, dan erudite, mewakili sifat-sifat baik manusia seperti cinta damai, peduli sesama, jujur, pemberani, dan cerdas. Namun, pengelompokan tersebut, dengan membagi peran untuk masyarakat tiap faksi, malah menimbulkan masalah baru.
Masalah muncul karena terdapat banyak individu yang memiliki beberapa sifat tadi secara bersamaan dan tidak mendominasi, yang kemudian disebut divergent atau pembeda. Kaum divergent kemudian menolak kanalisasi berdasarkan faksi tersebut, sehingga dianggap ancaman bagi sistem faksi. Tetapi, kaum pembeda dan pembaru layaknya divergent malah justru dibutuhkan suatu masyarakat, yang hari-hari ini sering terpolarisasi berkubu-kubu.
Muhammadiyah, Pembaru dan Pembeda
Gerakan pembeda dan pembaru, tanpa terikat pada polarisasi yang telah mapan seperti kaum divergent, rasanya dapat disematkan pada Muhammadiyah. Muhammadiyah telah menunjukkan pada khalayak ramai, bahwa suatu kelompok tetap dapat eksis dan besar tanpa perlu merapat sana-sini.
Persyarikatan ini dapat tumbuh dan memiliki peran besar pada kemajuan sosial-kemasyarakatan di Indonesia dengan mendirikan rumah sakit, sekolah, hingga universitas ternama tempat memproduksi ilmu pengetahuan, baik yang berkaitan dengan agama, maupun sains Barat. Namun, dengan posisi seperti ini, Muhammadiyah dan ‘orang-orangnya’ cenderung teralienasi dalam konstelasi politik kita.
Muhammadiyah pada awalnya didirikan oleh seorang tokoh pembaru, KH. Ahmad Dahlan, di lingkungan Keraton Jogja. Terdapat dua faktor yang mendasari pendiriannya, yakni faktor internal dan eksternal.
Faktor internal, Islam yang saat itu telah menjadi agama mayoritas di Pulau Jawa, masih dipengaruhi oleh mistifikasi yang menghambat kemajuan masyarakat. Ini diakibatkan kuatnya pengaruh Hindu-Buddha di Jawa, dan berimplikasi pada pencampuradukan unsur-unsur agama ke dalam kekuatan supranatural yang sangat terlarang dalam Islam (Takhayul).
Faktor eksternalnya, Muhammadiyah juga terdorong untuk melakukan pembaruan terhadap pemahaman Islam yang dimistifikasi tadi, akibat perkembangan pemikiran Islam modern yang terjadi di Timur Tengah. Nama-nama seperti Muhammad Iqbal, Rasyid Ridha, hingga Jamaluddin Al-Afghani, memberikan inspirasi tersendiri kepada Mbah Dahlan. Selain itu, pembaruan juga melihat potensi besar dari integrasi agama dan ilmu pengetahuan, sehingga dapat menjawab masalah-masalah sosial.
Keberpihakan pada Ilmu Pengetahuan
Ajaklah pada yang ma’ruf dan cegahlah kemungkaran. Seruan ayat 104 surah Ali Imran ini menjadi dasar pemikiran Mbah Dahlan yang ditafsirkan secara progresif disertai kritik terhadap metode konvensional dalam melihat Islam, yang sudah usang dan gagap terhadap kemajuan zaman. Alhasil, dibentuklah Muhammadiyah yang dicita-citakan menjadi organisasi Islam yang modern, terstruktur, dan orientasi yang jelas.
Muhammadiyah kemudian memberikan modernisasi pada banyak aspek di masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan bahkan cara pandang terhadap agama dan ilmu pengetahuan, yang acapkali ditentang, namun Mbah Dahlan tak bergeming.
Modernisasi Muhammadiyah, dilakukan dengan mendekatkan agama dan ilmu pengetahuan, juga dengan demistifikasi yang berimplikasi pada rasionalisasi beragama dan mentransformasi sosial menuju masyarakat industrial sebagai tuntutan era revolusi industri 4.0.
Transformasi masyarakat industrial ini, menjadikan kemajuan ilmu pengetahuan semakin penting. Ini berarti, Islam sebagai pegangan hidup mayoritas penduduk harus tanggap pada kemajuan iptek. Sehingga, integrasi Islam dengan iptek menjadi fokus utama bagi Muhammadiyah, dalam upaya kontekstualisasi nilai agama kepada kehidupan masyarakat modern.
Keluar dari Faksionalisasi
Integrasi iptek dan agama, menjadikan Muhammadiyah selalu mengutamakan proses ijtihad atau olah pikir. Kecenderungan ini beralasan bahwa KH. Ahmad Dahlan yang seorang reformis, sebelumnya mengajar di sekolah Belanda dan mendapat penentangan dari kalangan ulama. Namun, dengan latar belakang tersebut, beliau kemudian mempromosikan modernisasi pendidikan, mulai dari metode pengajaran hingga integrasi antara Islam dan ilmu-ilmu Barat.
Proses ini kemudian berimplikasi pada keluarnya persyarikatan dari sekat-sekat mazhab dalam konteks pemikiran Islam klasik. Bukan dalam konteks meragukan keilmuan para ulama mazhab, tetapi pemikiran kritis yang ditanamkan kemudian melihat kebenaran yang bersumber dari ulama tersebut tidaklah absolut.
Pendapat-pendapat para ulama mazhab, tentu sangat terikat dengan ruang dan waktu semasa mereka hidup. Sehingga, sangat mungkin kontekstualisasi ajarannya belum teruji. Terlebih, salah satu imam mazhab, Imam Ahmad Bin Hanbal melarang kita untuk ber-taqlid padanya dan imam mazhab lain. Namun, ambillah pendapat mereka yang berpangku pada Al-Qur’an dan sunah.
Sikap Muhammadiyah tadi, lantas mengeluarkannya dari sekat-sekat antarmazhab. Terlebih, sekat antarmazhab seringkali disalahartikan dan bertransformasi menjadi sekte-sekte baru dalam Islam, yang tak jarang menimbulkan konflik.
Lepas dari Keterikatan Kontestasi Politik Elektoral
Selain di luar sekat-sekat sektarianisme di internal Islam, Muhammadiyah juga meneguhkan sikapnya yang selalu berada di luar pemerintahan dan juga tidak bergabung dengan kubu oposisi. Ini sesuai dengan Khittah Denpasar 2002 yang melepaskan Muhammadiyah dari segala keterikatan kontestasi politik elektoral.
Menurut Amin Abdullah (2000), gerakan pembaruan Muhammadiyah bercorak faith in action, di mana terdapat penggabungan doktrin teologis dengan kondisi sosio-empiris, sehingga membawa agama pada tataran sosio-praksis. Ini yang mengilhami kerja-kerja pelayanan masyarakat seperti pada bidang kesehatan dan pendidikan.
Namun, Muhammadiyah tidak harus seperti kaum divergent yang dimusuhi oleh sistem faksi. Pada era pasca-reformasi yang meliberasi dan relaksasi kehidupan politik, membuat sikap netralitas Muhammadiyah terancam dimusuhi dan akan menyulitkan gerakan dakwahnya. Oleh karenanya, tafsir ‘netralitas’ harus diperluas maknanya (Tanthowi, 2020).
Dinamika kehidupan politik masyarakat yang cukup kencang, membawa umat Islam pada permasalahan baru terkait eksistensinya di kancah nasional. Umat membutuhkan angin segar serta buah pemikiran baru dari kelompok pembeda dan pembaru, agar tak tersesat dan dijadikan mainan politik oligarki seperti yang kita saksikan hari ini.
Muhammadiyah perlu hadir, dengan mengawinkan wacana keislaman dan wacana keindonesiaan yang lebih praktis. Muhammadiyah perlu keluar dari zona nyaman, yang bukan hanya mengurusi wilayah pelayanan masyarakat. Namun juga hadir dalam ranah sosio-politik kontemporer yang ironinya saat ini menekankan diri pada kontestasi politik elektoral yang makin pragmatis.
Selain itu, persyarikatan juga harus memainkan peran secara lebih serius dalam wacana-wacana politik hari ini yang makin lama makin keruh, dengan menghadirkan kejernihan pemikiran yang independen dan berpihak pada kaum-kaum terpinggirkan (factionless).
Hadirnya Muhammadiyah dalam wacana politik Indonesia, bukan berarti menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi berafiliasi pada parpol atau bahkan menjadi parpol. Lebih jauh, Muhammadiyah sebagai the divergent yang berprinsip sebagai ummatan wasathan. Menjadi kelompok yang berada di tengah dan selalu bersikap adil serta objektif dalam melihat problem kebangsaan.
Semoga di usia ke-108 tahun, yang berarti lebih dari satu abad ini, Muhammadiyah tetap konsisten dalam mengusahakan kemajuan Indonesia. Selamat Milad persyarikatan-ku.
Editor: Lely N