Belum lama ini, kita kehilangan ulama karismatik nan nyentrik asal Kudus, Jawa Tengah. Ia adalah Habib Ja’far bin Muhammad bin Hamid bin Umar al-Kaff. Ulama yang akrab disapa Habib Ja’far ini wafat di Samarinda, Kalimantan Timur, pada Jumat (01/01/ 2021).
Tidak lama kemudian, kabar wafatnya Habib Ja’far berembus kencang, bertebaran di media sosial. Banyak warganet yang berduka, merasa kehilangan atas wafatnya ulama panutan tersebut.
Habib Ja’far adalah salah satu dari sekian keturunan Nabi Muhammad yang tinggal di Indonesia. Jamak diketahui, banyak habaib yang bermukim di bumi Indonesia sejak ratusan tahun silam. Cerita atau asal usulnya panjang. Kalau diceritakan, barangkali membutuhkan waktu tiga hari tiga malam untuk merampungkannya.
Habaib di Indonesia
Membincang habaib di Indonesia memang selalu menarik, dan tak bisa dilepaskan dengan Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Pasalnya, Nabi berasal dari sana, tepatnya di Makkah, sebagai kota kelahiran dan Madinah sebagai kota untuk berdakwah.
Selain itu, perlu diketahui bahwa Arab Saudi, negara kaya penghasil minyak yang kita kenal sekarang ini adalah negara yang usianya terbilang belum terlalu tua. Kira-kira selisih 13 tahun dengan negara kita, Indonesia.
Berawal dari Hijaz dan Nejed yang berhasil dikuasi oleh keluarga Saud. Kemudian, kedua wilayah tersebut dipersatukan menjadi Kerajaan Saudi Arabia. Nah, pada tahun 1932 inilah Arab Saudi resmi berdiri. Yang menjadi raja pertama kala itu adalah Abdul Aziz.
Sejak kali pertama berdiri, Arab Saudi menganut doktrin Wahabi ultra-konservatif sebagai landasan bernegara, yakni memerangi siapa pun yang mereka anggap sesat.
Yahya Cholil Tsaquf dalam buku PBNU: Pejuangan Besar Nahdlatul Ulama (2020), menyebutkan bahwa Winston Churcil, menteri kolonial Inggris era 1921, dalam sebuah pertemuan di depan Parlemen Inggris mengatakan bahwa Wahabi adalah aliran yang keras, tidak toleran, bersenjata, dan haus darah. Pernyataan demikian Yahya kutip dari buku Secret Affairs: Britain’s Collusion with Radical Islam karya Mark Curtis.
Lebih lanjut, kata Churcil, orang-orang Wahabi mempercayai bahwa membunuh orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka adalah perintah Tuhan dan bukti keimanan. Wanita bisa dihukum mati hanya karena terlihat di desa-desa Wahabi. Laki-laki boleh dibunuh karena merokok.
Semenjak peristiwa mengerikan itu, banyak habaib yang melarikan diri dari kejaran orang-orang Wahabi. Mereka berpindah ke berbagai wilayah yang dianggap aman. Salah satunya adalah bumi Nusantara.
Berbeda dengan orang-orang Wahabi pada waktu itu, para habaib justru disambut baik, bahkan sangat dimuliakan oleh masyarakat Indonesia. Hal demikian berlangsung hingga saat ini. Kalangan yang dikenal sangat takzim kepada habaib adalah warga Nahdlatul Ulama (NU).
Bagi warga NU, menghormati dan memuliakan habaib adalah sebuah keharusan yang tak dapat ditawar, sama halnya dengan memuliakan datuknya. Sampai saat ini, ada sekitar 68 marga keturunan Nabi di Indonesia, tersebar di berbagai wilayah, dari Jakarta, Surabaya, hingga Sumatera (tirto.id).
Seperti Apa Hubungan Muhammadiyah, NU, dan Para Habaib?
Ismail Fajrie Alatas, seorang habib sekaligus Assistant Professor New York University, dalam sebuah video yang ditayangkan oleh 164 channel di YouTube mengatakan, melalui pondok pesantren dan kitab-kitab yang dikaji di Pesantren, bisa diambil kesimpulan bahwa terdapat kesamaan misi dan visi antara ulama Nusantara dan para habaib.
Tak hanya itu, relasi keduanya juga diperkuat dengan hubungan isnad. Artinya, banyak ulama Nusantara yang memiliki guru yang sama dengan para habaib. Sebagai contoh adalah Sayyid Ahmad bin Zaini.
Sebelum itu, menurut Ismail, ada Habib Muhammad bin Husein al-Habsy yang menjadi mufti syafiiyah Makkah. Ia adalah ayah dari Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, penulis kitab maulid Simtud Duror atau cicit dari Habib Anis bin Alwi al-Habsyi Solo.
Tak hanya itu, pendiri NU, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari juga pernah berguru kepada Habib Husein bin Muhammad al-Habsyi, kakak dari Habib Ali al-Habsyi. Sementara itu, dari banyak sumber, pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan juga pernah menimba ilmu di Makkah bersama KH. Hasyim Asy’ari.
Keduanya berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi. Tentu saja keduanya pernah juga berguru kepada habaib atau ulama Makkah yang lain yang barangkali luput dari catatan sejarah.
Kini, banyak pula habaib yang berguru kepada ulama Nusantara, seperti Habib Soleh bin Ali Alatas, Tegal yang pernah berguru kepada Mbah Moen di pesantren Al-Anwar, Sarang Rembang. Demikian pula Habib Abdullah Zakky al-Kaff Bandung, dan banyak habaib yang lainnya.
Tak hanya berkontribusi dalam bidang intelektual, banyak pula habaib yang ikut andil dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai contoh adalah Habib Idrus bin Salim al-Jufri yang dikenal sebagai penggagas bendera pusaka merah putih.
Selain itu, ada Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsy, Kwitang. Konon, beliau adalah orang pertama yang diminta rekomendasi waktu kemerdekaan oleh presiden Soekarno. Spirit dalam memperjuangkan kemerdekaan yang dimiliki oleh mereka tentu saja juga dimiliki oleh ulama Nusantara.
Walhasil, hubungan ulama Nusantara dengan para habaib sudah terjalin baik sejak lama dan saling berkelindan. Maka dari itu, tidak heran jika umat Islam di Indonesia sangat hormat dan takzim kepada para habaib, begitu pun sebaliknya.
Editor: Lely N