Perspektif

Muhammadiyah, Pilpres 2024, dan Interpretasi Paul Ricoeur

4 Mins read

Paling tidak ada tiga hal politik Muhammadiyah menghadapi Pemilu-Pilpres-Pileg 2024 mendatang. Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mewanti-wanti warga Muhammadiyah. Meski Muhammadiyah bukan Partai Politik, tetapi bukan berarti membelakangi urusan politik, apalagi buta politik. Amar ma’ruf nahi munkar tak bisa tegak tanpa kekuasaan (Sayid Qutub, Fi Zhilalil Quran).

Nasehat Prof Haedar Nashir

Walaupun pada tahun-tahun akhir masa hayat Buya Prof Ahmad Syafii Maarif (1935-2022) menyebut Muhammadiyah yatim piatu politik, konteksnya berbeda. Ketua PP Muhammadiyah 1998-2005 itu berbicara dalam konteks lemahnya negosiasi politik. Sedangkan Prof Haedar Nashir berbicara partisipasi politik pada mekanisme demokrasi lima tahunan nasional Indonesia dalam jangka waktu sangat dekat ini.

Beliau adalah Prof Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah 2015-2022 dan 2022-2027 baru-baru ini pada acara Silarurrahim Syawal 1444 H di Surabaya Ahad, (30/4/2023) seperti digulirkan media massa menyampaikan pedoman umum warga Muhammadiyah menghadapi pesta demokrasi 2024 ini.

Bahasanya mungkin tidak persis, yang tertangkap Haedar bilang, “Muhammadiyah tidak melarang bahkan mendorong kader maupun Warga Muhammadiyah yang potensial untuk menyukseskan Pemilu 2024. Akan tetapi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengingatkan jangan menggunakan simbol atau atribut organisasi, serta ingat akan Khittah Muhammadiyah.” (Panjimas.com, 2/4/2023)

Hermeneutika Interpretasi Paul Ricoeur

Secara teoretis, konstatasi Prof Haedar dapat dirujuk kepada hermeneutika interpretasi Jean Paul Gustave  Ricoeur (1913-2005), yaitu “Merevolusi metode fenomenologi hermeneutik, memperluas studi interpretasi tekstual untuk memasukkan domain mitologi yang luas namun konkret, psikoanalisis, teori metafora, dan teori naratif.” (en.wikipedia.org)

Oleh karena itu, testimoni Prof Haedar atau pedoman ala Haedar Nashir itu dapat diinterpretasi setidaknya kepada tiga hal. Pertama, tidak ada larangan bahkan mendorong warga Muhammadiyah mencalonkan diri, menjadi tim sukses dan memajangkan namanya untuk merebut kursi politik termasuk ke dalam ranah politik Pilpres 2024.

Baca Juga  Geliat Muhammadiyah di Pedesaan

Selama ini Muhammadiyah terkesan “malu-malu kucing” dalam berpolitik. Di depan publik mengatakan tidak berpolitik, tetapi di belakang layar, mereka tetap bermain.

Di Muhammadiyah ada yang namanya Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP). Sebelum Muktamar-18 di Solo, budaya malu-malu kucing itu masih kental. Tetapi pasca muktamar, pada beberapa wilayah produk Muswil, filter tokoh politik masuk struktur Muhammadiyah sudah diperluas-masuk ke berbagai  Majelis, Lembaga, Biro dan Badan di Muhammadiyah.

***

Di PP Muhammadiyah, ada sekitar 1320 orang tokoh yang masuk ke 31 Majelis, Lembaga, Biro dan Badan Muhammadiyah. Di PWM juga begitu. Untuk PWM Sumatera Barat (yang penulis ketahui) diperkirakan yang dulunya ketat sekarang mungkin sudah banyak, di antaranya ada dedengkot Parpol jajaran lokal.

Maka istilah yang dulu disebut, Muhain (Muhammadiyah Marhain), Mukes (Muhammadiyah PKS), Muka (Muhammadiyah Ka’bah), Mukar (Muhammadiyah Golkar), Mupan (Muhammadiyah PAN), Mundra (Muhammadiyah Grindra) dan lain-lain, sekarang semakin menggelumbung dan bersinar. Walaupun ada syarat harus mempunyai Nomor Baku Muhammadiyah (NBM), tetapi dengan canggihnya digital sekarang, tak butuh waktu banyak Nomor Baku Muhammadiyah itu sudah tersedia.

Dengan selimut ucapan selamat, maka petinggi partai bebas memajangkan balihonya bersanding dengan Ketua Muhammadiyah setempat. Atau pada fenomena lain, para petinggi partai dengan judul silaturrahim bebas keluar masuk Amal Usaha Muhammadiyah sambil membawa bantuan besar atau alakadarnya.

Boleh jadi belum banyak partai yang memanfaatkan itu atau sebaliknya jajaran persyarikatan level tertentu mengambil peluang, namun cepat atau lambat keadaan itu nampaknya akan berkembang terus.

Jangan Bawa Simbol dan Ideal Pasif

Kedua, jangan bawa simbol, atribut, ruangan kantor, masjid dan semua tempat milik Muhammadiyah (dikenal sebagai Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) serta tim sukses ke organisasi persyarikatan ini.

Baca Juga  Apa Salahnya Mencari Hidup di Muhammadiyah?

Interpretasinya sudah dibuktikan. Hampir tidak ada yang secara terbuka menggunakan simbol, atribut dan semacamnya tadi. Sebab, para pengelola politik sudah paham dan sebaliknya jajaran persyarikatan juga sangat paham.

Maka secara kasat mata, kemungkinan penyalah-gunaan ruang dan simbol ini sangat kecil. Akan tetapi simbol dan bench-mark Muhammadiyah yang tak resmi akan bebas mendedahkan “kampanye” itu. Di antaranya pada Grup-grup WA, FB, IG, blog, web-page dan seterusnya tak ada yang membendung dan agaknya juga tak perlu dibendung. 

Ketiga, harus selalu mengingat dan memahami Khittah Perjuangan Muhammadiyah selama ini yang antara lain 11 pedoman ber-Muhammadiyah yang sering disampaikan sebagian besar tokoh Muhammadiyah masa lalu, sekarang dan juga masa depan. Di antaranya;

1. Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (1946); 2. Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (1969); 3. Tafsir Duabelas Langkah Muhammadiyah (1938); 4. Al-Masa’il al-Khamsah (1954/1955); 5. Kepribadian Muhammadiyah (1962); 6. Khittah Perjuangan Muhammadiyah (1971); 7. Khittah Berbangsa dan Bernegara (2002); 8. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (2000); 9. Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad (2005): 10. Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua (2010). 11. Risalah Islam  Berkemajuan (Muktamar-48, 2022)

***

Di dalam konteks Pemilu 2024, ke-11 pedoman di atas tidak satupun yang memberikan pedoman langsung, kecuali arahan filosofis dan ideal. Padahal Pemilu bagi kalangan warga Muhammadiyah tentu adalah hal yang praktikal sekali dalam lima tahun.  

Walaupun tetap ada yang bilang begini: jangan ada yang terpengaruh dengan nilai kertas sekian, tetapi kita hanyut dibawa buntung lima tahun atau sepuluh tahun ke depan.

Meski begitu, panorama 11 pedoman tadi bagi sebagian kalangan pemikir Muhammadiyah memberikan nilai positif, sementara kalangan lainnya menganggap kerugian. Terutama secara ideo-politik dan setiap Pemilu selalu ada program pembinaan kepada tokoh dan kader Muhammadiyah sebagai pagar panduan Muhammadiyah tidak ditarik ke-10 penjuru angin politik: utara, selatan, barat , timur, atas, bawah, kiri, kanan, luar dan dalam. Katakanlah ini sebagai lintas pandang ideal-pasif.

Baca Juga  Persaudaraan, Ajaran Otentik Islam

Ideal Aktif dan Menjadi Nakhoda

Akan tetapi jangan lupa ada pula lintas pandang ideal-aktif. Bagi sudut pandang itu, ke-10 penjuru angin tadi harus dimasuki dan hendaklah menjadi nakhoda di situ. Jangan takut diterjang ombak kalau berumah di pinggir pantai. Hadang dan kendalikan. Republik ini kita miliki bersama. Jangan menjadi penonton. Apalagi “ngeles”.

Pada sudut pandang kedua ini, ormas di sebelah Muhammadiyah, kelihatannya memegang supremasi. Mereka banyak mempunyai basis Parpol, bahkan hampir semua Parpol ada nakhoda dari kalangan mereka yang produktif, progresif bahkan militan.

Mungkin merekalah yang dimaksud Buya Prof Ahmad Syafii Maarif pada bagian awal tulisan ini. Mereka tetangga di sebelah “rumah” Muhammadiyah itu, kini bukan hanya lengkap memiliki ayah dan ibu, alias bukan yatim piatu politik, bahkan mereka pada lanskap tertentu menjadi nakhoda politik negeri ini. Allahu a’lam bi al-shawab.

Editor: Soleh

Shofwan Karim
1 posts

About author
Dosen Pascasarjana UM Sumbar, Islamic Studies, Filsafat dan Humaniora
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds