Perspektif

Muhammadiyah & Politik (1): Kolaborasi atau Oposisi?

3 Mins read

Tema mengenai pola relasi Muhammadiyah dan politik mungkin telah dibahas oleh banyak pengamat. Sudah banyak karya yang ditulis tentang tema ini. Namun soal Muhammadiyah dan politik rasanya selalu menjadi tema yang tidak pernah kehilangan relevansi. Sebagaimana tema tentang NU dan politik, Islam dan politik, dan sebagainya.

Tulisan ini ingin melihat bagaimana doktrin-doktrin ideologis Muhammadiyah memandang soal politik dan bagaimana relasi antara Muhammadiyah dengan pemerintah. Dua hal ini penting untuk dibahas (kembali) karena hiruk-pikuk politik seringkali membuat sebagian warga dan pimpinan Muhammadiyah seperti kehilangan pegangan, lalu serta merta menganggap PP Muhammadiyan tidak memiliki sikap politik yang jelas.

Jika kita melihat dokumen-dokumen “lama” yang menjadi khazanah kekayaan ideologis organisasi ini, seperti “Kepribadian Muhammadiyah”, “Khittah Makassar 1971”, “Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM)”, serta “Khittah Denpasar 2002”, sebenarnya telah tersedia pedoman yang cukup jelas bagaimana relasi Muhammadiyah dan politik serta bagaimana panduan bagi warga Muhammadiyah menjalani kehidupan politik.

Hanya Mendukung Gagasan yang Sependapat

Sayangnya, selama ini sebagian warga (dan pimpinan) kita pura-pura lupa, seolah-olah Muhammadiyah tidak pernah mengeluarkan dokumen-dokumen strategis di atas. Sikap pura-pura lupa ini, dugaan saya, disebabkan karena mendahulukan sikap partisan dalam merespon suatu persoalan politik.

Misalnya dalam menghadapi Pilpres, sebagian kita telah memiliki pemihakan kepada Paslon tertentu. Baru kemudian mereka mencari tahu bagaimana respon resmi PP Muhammadiyah.

Kalau sikap PP Muhammadiyah sejalan dengan sikap partisannya, mereka menyatakan bahwa sikap PP Muhammadiyah sudah benar.

Sebaliknya, jika sikap resmi PP Muhammadiyah tidak sesuai dengan sikap partisannya, mereka secara serampangan mengatakan bahwa pimpinan organisasi ini tidak tegas, tidak memperjuangkan aspirasi ummat, dan sebagainya.

Baca Juga  Antara G30S/PKI, Fathu Makkah, dan Nelson Mandela

Demikian pula dalam menyikapi pemerintahan baru hasil pemilu. Mereka masih terbawa pada sikap partisan sejak masa kampanye Pilpres. Dalam bahasa anak muda sekarang “belum move on”.

Mereka sejak awal telah punya sikap sendiri, apakah mendukung sepenuhnya atau sebaliknya, menolak mentah-mentah. Jadi mereka akan menyatakan “sami’na wa atho’na” jika pernyataan-pernyataan politik PP Muhammadiyah atas suatu persoalan sesuai dengan sikap partisan mereka, dan sebaliknya.

Karena itu, menurut saya, masalahnya bukan pada sikap PP Muhammadiyah atau pedoman yang termaktub dalam dokumen-dokumen ideologis lama. Masalahnya terletak pada sikap partisan mereka. Mereka bukan ingin mendengarkan dan mentaati apa yang menjadi sikap PP Muhammadiyah. Namun mereka hanya ingin mendengarkan apa yang sesuai dengan sikap partisan mereka.

Kolaborator atau Oposisi?

PP Muhammadiyah tentu tidak bisa bersikap berdasarkan pertimbangan keberpihakan. Apalagi jika urusannya hanya persoalan politik elektoral atau politik kekuasaan. PP Muhammadiyah tentu harus berpegang pada garis-garis ideologi organisasi, serta mempertimbangkan kemashlahatan umum.

Karena itu, sikap PP Muhammadiyah akan sangat tergantung pada setiap persoalan yang muncul, apakah sesuai dengan kepentingan umat atau tidak, bukan apakah sesuai dengan kepentingan politik individu atau tidak.

Mengapa demikian? Sebab memang terdapat dua patokan yang telah digariskan dalam dokumen-dokumen ideologis organisasi ini. Pertama, bekerja sama dengan pemerintah dalam upaya membangun bangsa dan negara. Kedua, menyampaikan kritik sesuai prinsip amar makruf nahi munkar agar pemerintah tetap berjalan di atas cita-cita luhur bangsa dan sesuai prinsip demokrasi. Keduanya ibarat gas dan rem, yang diterapkan secara proporsional sesuai kebutuhan.

Dalam Matan “Kepribadian Muhammadiyah” jelas dinyatakan bahwa Muhammadiyah “membantu pemerintah serta bekerja sama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur” (Pasha dan Darban, 2002). Selain itu, dalam “Khittah Denpasar 2002” dinyatakan, bahwa Muhammadiyah juga “menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar makruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban” (BRM, 2002).

Baca Juga  Memaknai Islam Sebagai Teologi Pembebasan

Dari dua dokumen di atas jelas bahwa terhadap pemerintahan siapapun, di era manapun, maka sikap Muhammadiyah tetap berjalan di atas dua garis itu. Di satu sisi, Muhammadiyah tetap bekerja sama dengan pemerintah, mengingat banyaknya amal usaha Muhammadiyah yang harus melakukan koordinasi dan komunikasi dengan kementerian atau dinas-dinas terkait.

Selain itu, negara memiliki kekuasaan, baik untuk menyusun regulasi maupun mengalokasikan APBN/APBD, di mana keduanya memiliki dampak besar pada keberlangsungan program-program Muhammadiyah.

***

Namun di sisi lain, Muhammadiyah juga harus menyampaikan kritik jika pemerintah memiliki kecenderungan menyeleweng, keluar dari cita-cita luhur bangsa atau dari jalur konstitusi. Namun kritik itu tetap disampaikan dengan bijaksana, sesuai fitrah Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan-keagamaan.

Muhammadiyah bukanlah partai politik yang secara tegas berada di dalam atau di luar koalisi pemerintahan. Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, yang bercita-cita dan bekerja untuk kesejahteraan masyarakat luas.

Sehingga sikapnya harus sesuai konteks, tidak boleh mendukung pemerintah secara membabi buta. Atau sebaliknya, menganut oppositionalisme: apapun yang dilakukan pemerintah selalu salah, tidak ada benarnya, bahkan cenderung mencari-cari kesalahan.

Editor: Yahya FR

Pramono U. Tanthowi
2 posts

About author
Alumni IMM, Sekretaris Lembaga Litbang PP Muhammadiyah 2010-2015 dan Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah 2015-2017
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds