Politik: Muamalah, Ibadah, atau Akidah?
Jika dalam berhubungan dengan kekuasaan Muhammadiyah memiliki dua karakter (kerja sama dan kritis) yang harus dijalankan sesuai konteks dan secara proporsional, lalu bagaimana Muhammadiyah memandang soal politik?
Dalam hal ini, kita juga perlu menengok kembali dokumen-dokumen lama atau pernyataan-pernyataan para tokoh Muhammadiyah awal.
Kalau kita cermati, sebenarnya rumusan-rumusan yang digariskan dalam berbagai pedoman itu cukup menarik dan demokratis. Misalnya, Mas Mansur suatu kali pernah menyatakan bahwa: “Memang politik dan Islam tidak dapat dipisahkan, sebagaimana halnya gula dan rasa manisnya yang tak mungkin dipisahkan” (Soebagjo: 1982: 36).
Oleh karena itu, dalam “Pedoman Hidup Islami” terdapat dorongan agar: “Warga Muhammadiyah perlu mengambil bagian dan tidak boleh apatis dalam kehidupan politik melalui berbagai saluran secara positif sebagai wujud bermuamalah sebagaimana dalam bidang kehidupan lain ….”
Dalam dokumen ini disebutkan bahwa berpolitik bagi Muhammadiyah adalah persoalan mu’amalah (relasi sosial). Hal ini diperkuat dalam “Khittah Denpasar 2002” yang menyatakan bahwa: “Politik dalam kehidupan berbangsa dan negara merupakan salah satu aspek ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyyah) yang harus dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai nilai-nilai luhur agama dan moral utama.”
Namun pada bagian lain dari “Pedoman Hidup Islami” terdapat pernyataan bahwa berpolitik bukan hanya persoalan mu’amalah, tetapi juga persoalan ibadah. Ditegaskan bahwa: “Berpolitik … sebagai wujud ibadah kepada Allah dan ishlah serta ihsan kepada sesama ….”
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa persoalan politik, bagi Muhammadiyah, dapat dihukumi sebagai ibadah, sepanjang diniatkan untuk kepentingan umat dan bangsa yang lebih luas.
Muhammadiyah sendiri, dalam “Khittah Denpasar 2002” memang menyatakan dengan tegas “memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat”.
Namun Muhammadiyah juga “meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun melalui pengembangan masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang mutlak diperlukan.”
Pentingnya Kader Muhammadiyah Terjun ke Dunia Politik
Jadi, menurut saya, Muhammadiyah memang seharusnya mendorong kader-kader yang memiliki bakat dan kemampuan untuk berkiprah di lapangan politik atau memegang jabatan-jabatan politik.
Sebab kekuasaan, di cabang kekuasaan apapun, adalah sebatas alat. Jika kekuasaan dipegang oleh “para politisi rabun ayam” (meminjam istilah Buya Syafii Maarif), maka kekuasaan hanya akan menjadi alat memperkaya diri sendiri dan kelompok.
Namun jika kekuasaan dipegang oleh kader Persyarikatan yang memiliki visi kebangsaan dan keummatan serta integritas yang baik, maka kekuasaan dapat menjadi alat dakwah yang efektif.
Politik Bukan Persoalan Akidah
Jika Muhammadiyah memandang politik adalah persoalan muamalah, atau paling jauh adalah persoalan ibadah, dengan kata lain sebenarnya politik dalam pandangan Muhammadiyah bukanlah persoalan akidah, yang membuat seseorang dapat dianggap tetap Muslim atau telah menjadi kafir.
Oleh karena itu, hanya karena perbedaan pandangan politik, atau perbedaan kendaraan politik, seharusnya tidak membuat sebagian warga dan pimpinan Muhammadiyah menyebut seseorang (kader) telah keluar dari akidah Islam, telah menjadi kafir, atau bahkan halal darahnya.
Sebab, terkait dengan pilihan politik, Muhammadiyah memberi kebebasan kepada setiap warga dan pimpinan untuk memilih sesuai dengan aspirasi politik masing-masing. Dalam Khittah Makassar 1971 dinyatakan bahwa, “setiap anggota Muhammadiyah, sesuai dengan hak asasinya, dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi (politik) lain….”
Selain itu, kebebasan itu ditegaskan Kembali dalam Khittah Denpasar 2002 bahwa, “Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus …dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah, demi kemashlahatan bangsa dan negara.”
Karena memandang hak pilih adalah persoalan hak asasi yang melekat bagi setiap warganya, maka rasanya “hal yang mustahil” Muhammadiyah memberikan arahan kepada warganya secara eksplisit untuk, misalnya, mendukung salah satu partai politik, atau salah satu Pasangan Capres/Cawapres tertentu. Karena hal itu akan bertentangan dengan pedoman-pedoman tertulis yang dirumuskan oleh para pendahulu.
Hal seperti ini mungkin akan mengecewakan bagi sebagian warga, kader, dan pimpinan Muhammadiyah, yang memang sejak awal telah memiliki keberpihakan kepada salah satu parpol atau salah satu paslon. Namun jika Muhammadiyah melakukan langkah tersebut, yakni memberikan dukungan secara eksplisit, bukankah hal itu juga akan mengecewakan sebagian warga, kader, dan pimpinan yang memiliki keberpihakan kepada parpol atau paslon yang lain?
***
Muhammadiyah menyadari bahwa warganya bukanlah monolitik, yang pandangan politiknya selalu seragam atas setiap persoalan. Sebaliknya, terdapat keragaman pendapat yang luas atas setiap persoalan di kalangan pimpinan, warga, dan simpatisan. Apalagi dalam urusan politik. Jadi rasanya sulit untuk menyatukan pandangan politik warga Muhammadiyah dalam satu partai politik. Atau mengarahkan mereka untuk memilih salah satu Paslon tertentu.
Mengapa demikian? Sebab warga Muhammadiyah secara umum adalah warga negara terdidik yang lebih rasional dan kritis. Sehingga mereka memiliki otonomi individual yang cukup tinggi dalam menjatuhkan pilihan politik sesuai kepentingan dan nurani masing-masing.
Maka yang paling penting adalah bagaimana keragaman aspirasi politik itu tidak mengarah pada perpecahan internal. Sehingga yang diperlukan adalah saling menghargai di antara pimpinan, warga, dan simpatisan.
Jika hal ini bisa dilakukan, maka sebesar apapun keragaman aspirasi politik yang muncul di Muhammadiyah akan tetap dalam semangat persaudaraan (ukhuwah) dan berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Insya Allah.
Editor: Yahya FR