Universitas-oriented
Mungkin berlebihan, tapi tanda-tanda ke sana makin menguat. Setidaknya 22 tema Pra Muktamar Muhammadiyah yang diusung makin meyakinkan saya, bahwa Muhammadiyah gerakan yang sangat saya cintai ini makin “Univeritas-Oriented”
Saya belum menemukan definisi rigid apa itu “Univeritas-Oriented” mungkin semacam pergerakan yang dihuni para guru besar, doktor, dan sarjana-sarjana yang semisal. Atau kumpulan “aristokrat” agama yang berfungsi sebagai pemimpin dan penggerak, atau semacam kelas menengah sosial yang berpatron satu sama lain membentuk federasi pemikiran seperti pernah disebut Prof Din. Yang kemudian menjelma dalam satu gerakan sekaligus. Mungkin juga tidak semua.
Pergeseran elite Muhammadiyah memang begitu kentara: dari kalangan saudagar batik, priyayi, dan santri berubah menjadi ke arah masyarakat kosmopolit berbasis pendidikan formal. Boleh dikata modernitas Muhammadiyah itu melawan tradisi pesantren yang dianggap sarang perilaku jumud, kuno, tradisional, dan berbagai stigma lainya yang dianggap menutupi “kemuliaan Islam”.
Bisa saja tesis Syaikh Muhammad Abduh: “al Islamu mahjubun bil muslimin’ ditujukan untuk pesantren dan semua perangkatnya. Tajdid dan purifikasi sejatinya adalah antitesis tradisi pesantren. Maka, dibuatlah berbagai proyek amal usaha untuk melawan jumud dan segala macamnya berupa pendidikan modern yang mirip Eropa: Universitas, rumah sakit, dan lainnya menggunakan standar Eropa.
Realitasnya, hasil didikan pesantren dan pendidikan non formal tak lagi dijumpai, karena tak sesuai dengan market dan kebutuhan Persyarikatan secara mujmal. Gelar Kyai, Gus, dan yang semisal, kalah bersaing dengan guru besar atau doktor. Migrasi ini demikian masif dan alumni universitas mutlak menjadi pemenang.
Peran Kyai dan Gus sebagai simbol kultural dan tradisi sudah selesai, dan tak ada ruang sama sekali. Tema-tema yang diusung dalam sesi Pra-muktamar makin mengokohkan pemikiran saya bahwa benar gerakan Muhammadiyah adalah ‘Universitas-Oriented’ hanya diperuntukkan kalangan terdidik dan terpelajar dan kelompok kelas sosial menengah ke atas.
Masa depan ranting dan cabang makin muram. Masjid dan musala makin terabaikan. Halaqah dan pengajian makin sepi. Sebab tenaga, pikiran, dan dana diarahkan untuk amal-amal prestigius mungkin semacam glamour karena tidak ada keseimbangan.
Saya tak bermaksud mengatakan bahwa konsep “Universitas-Oriented’ itu buruk. Hanya ingin saya katakan “telah terjadi celah yang sangat lebar yang bisa saja menjadi sebuah kelemahan ketika masjid, musala, dan halaqah-halaqah ‘dihuni orang lain’ karena diabaikan. Bisa saja terjadi proses dialektik atau konfrontasi: masjid mengepung universitas”.
Membangun keseimbangan pikiran, gagasan, dan proyek amal usaha adalah keharusan agar harmoni pergerakan terjaga. Ada ribuan ‘Kang Saudji’ imam merangkap marbot masjid yang dengan susah payah memastikan masjid tetap azan lima kali sehari dan ribuan pengurus takmir yang sudah puluhan tahun tidak berganti karena tiadanya kader. Atau guru-guru ngaji di surau yang ditinggalkan santrinya. Mereka yatim dan sering luput dari perhatian.