Dalam dunia filosofi terdapat tiga mazhab utama, yaitu (1) mazhab peripatetic (al-Hikmah al-Masyaa’iyyah) dengan Ibnu Sina yang paling dikenal sebagai salah satu tokohnya, (2) mazhab illuminatif (al-Hikmah al-Isyraaqiyyah) dengan Suhrawardi sebagai tokohnya, dan (3) mazhab al-Hikmah al-Muta’alliyyah (teosofi transenden). Mulla Sadra dikenal sebagai pendiri mazhab yang ketiga (Hikmah Mutaaliyah), dengan mengadopsi prinsip hylomorphisme dari mazhab iluminati dan prinsip tertentu dari ajaran Ibnu Sina.
Latar Kehidupan
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawani al-Syirazi yang bergelar ‘Shadr al-Din’ atau lebih dikenal dengan “Mulla Sadra” atau “Shadr al-Muta’alihin”. Ia dilahirkan di Syiraz, Persia Selatan, pada 979 H/ 1572 M. Ayahnya dikenal sebagai seorang yang shalih dan pernah menjabat sebagai gubernur di wilayah Fars sehingga ia berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan penjagaan yang baik di kota kelahirannya.
Ayahnya, konon, adalah menteri dalam Istana Shafawiyyah, sekaligus seorang ulama. Shadr Al-Din, menurut suatu riwayat, tela berhaji ke Makkah sebanyak enam kali, dan dalam perjalanan yang ketujuh pada 1050 H/1640 M ia meninggal dan dikuburkan di Basrah. Dan kuburannya dikenal hingga kini.
Mulla Sadra mendapatkan pendidikan formalnya dari tradisi Syiah, yaitu fiqh Ja’fari, ilmu hadits, tafsir dan syarah al-Quran di bawah bimbingan gurunya Bahauddin al-‘Amali (w. 1031 H/1622 M). Kemudian ia berguru kepada seorang teolog-filosof Muhammad yang lebih dikenal dengan Mir Damad (w. 1041 H/1631 M), sebagai guru utamanya. Mir Damad merupakan pemikir masyhur yang dijuluki Guru Ketiga (setelah Aristoteles dan Al-Farabi). Ia juga berguru kepada seorang filosof peripatetic Mir Fendereski (w. 1050 H/1641 M).
Shadr Al-Din Syirazi adalah salah seorang filosof yang paling dihormati dalam Islam, khususnya dikalangan intelektual Muslim sekarang ini. Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Ibrahim Al-Qawami Al-Syirazi, dan ia lazim dikenal dengan “Mulla Shadra” bagi banyak kaum Muslim terutama di Persia, Pakistan, dan India.
Gelar kehormatannya, Shadr Al-Din (“Ahli Agama”), menunjukkan derajat tingginya di dalam lingkaran teologis tradisional, sementara sebutannya sebagai “Teladan, atau Otoritas Filosof-Filosof Ilahi” (Shadr Al-Muta’allihin) menandakan posisi uniknya di mata generasi-generasi filosof yang datang setelahnya.
Pembentukan Intelektual
Setelah menyelesaikan studi-studi awal di kota kelahirannya, Syiraz, pemikir muda ini pergi ke Isfahan, pusat kekuasaan Shafawiyyah.Mungkin pusat terpenting pendidikan Islam pada abad ke-10 H/ke16 M. Di situ, ia – pertama -tama – mengambil kuliah-kuliah mengenai ilmu-ilmu Islam tradisional, yang biasanya disebut al-‘ulum al-naqliyyah, yang di dalamnya faqih besar Baha’ Al-Din Muhammad Al-‘Amili (w. 1031 H/1622 M) meletakkan landasan bagi fiqih Syi’ah yang baru dan yang didefinisikan dengan baik.
Studi-studi komprehensif awal Shadr Al-Din tentang pandangan-pandangan Syi’ah mengenai fiqih dan ilmu hadis serta perkenalannya dengan tafsir Al-Qur’an oleh pemikir besar Syi’ah itu dan membedakan dirinya dengan hampir semua filosof Islam Abad Pertengahan sebelumnya, yang pengetahuan mereka tentang hal itu hanya sebatas dasar-dasarnya. Masa pembentukan intelektual Shadr Al-Din ini menegaskan pemikirannya secara mendalam dan menggambarkan salah satu dari dua tren utama dalam karya-karyanya.
Dalam periode yang sama, Shadr Al-Din mulai mengkaji apa yang lazim dikenal sebagai ilmu-ilmu intelektual (al-‘ulum al-‘aqliyyah) di bawah bimbingan salah seorang filosof Islam paling besar dan orisinal, Sayyid Muhammad Baqir Astarabadi, yang dikenal luas dengan Mir Damad (w. 1040 H/1631 M). Filosof berbakat dan termasyhur ini, yang disebut sebagai Khatam Al-Hukama’ dan “Guru Ketiga” – setelah Aristoteles dan Al-Farabi – sangat gembira dengan kompetensi istimewa muridnya dalam membangun argumen filosofis dan memberikan pujian berlebihan terhadapnya.
Jika tidak dikalahkan oleh kemasyhuran Shadr Al-Din, Mir Damad mungkin akan lebih banyak dikenang lebih dari yang dilakukan belakangan ini karena kumpulan dan revisinya atas korpus tekstual dan filsafat Islam yang lengkap. Dalam banyak hal, upaya-upaya Mir Damad – yang dibiayai oleh dana-dana pencerahan seni dan ilmu dari Istana Shafawiyyah (yang di dalamnya ia terlibat banyak) – mendorong pendirian perpustakaan-perpustakaan besar tempat tradisi-tradisi manuskrip lama dikumpulkan, disalin, dan dipublikasikan.
Bukti adanya aktivitas besar ini, yaitu jumlah yang mengesankan dari manuskrip berbahasa Arab dan Persia yang kini tersimpan dalam koleksi besar di seluruh dunia, semua diproduksi di Isfahan selam periode itu. Melalui patronase dukungan istana dan juga karyanya sendiri tentang subjek filsafat, khususnya karya yang berjudul Qabasat dan karyanya yang belum dipublikasikan, Al-Ufuq Al-Mubin, upaya Mir Damad merupakan penggera bagi kebangkitan kembali filsafat yang kemudian dikenal dengan sebutan “Mazhab Isfahan”.
Masa belajar Shadr Al-Din yang panjang dengan pemikir visioner ini mewarnai aspek filosofis, sekaligus menandai tren kedua, dalam karya-karya Shadr Al-Din. Aspek ini mencitrakan puncak sintesis dan rekostruksi metafisika “baru” lainnya dalam filsafat Islam setelah Suhrawardi.
Tren filosofis ini kemudian menjadi salah satu mazhab utama filsafat Islam, jika bukan yang paling dominan sampai sekarang, dan menyandang nama filsafat metafisika (al-hikmah al-muta’aliyah). Sebutan ini khsusunya dipilih Shadr Al-Din untuk menunjukkan tujuan filosofisnya yang spesifik, yang mesti dikaji dan diuji secara memadai.
Uzlah dari Masyarakat: Melahirkan Karya-Karya Utama
Setelah periode formal studinya, Shadr Al-Din uzlah dari masyarakat dan kehidupan kota sekaligus. Ia memilih mengasingkan diri di desa kecil Kahak, tidak jauh dari kota suci, Qum. Periode ini menandai kesibukan Shadr Al-Din yang kian meningkat dengan kehidupan kontemplatif dan juga merupakan tahun-tahun diletakkannya dasar-dasar bagi kebanyakan karya utamanya.
Periode ini ditandai dengan periode panjang meditasi dan praktik spiritual yang menyertai dan melengkapi studi formalnya, sehingga menyempurnakan program untuk melatih seorang filosof sejati menurut Suhrawardi. Selama periode inilah tercapai pengetahuan yang kemudian mengkristal dalam banyak karyanya.
Lebih dari lima puluh judul karya yang diduga disusun oleh Shadr Al-Din. Karya-karya itu bisa dibagi menjadi dua tren utama pemikirannya: ilmu-ilmu naqliah dan ilmu-ilmu ‘aqliah. Karya-karya Mulla Shadra tentang subjek-subjek yang berkaitan erat dengan ilmu-ilmu naqliah, yang mencakup subjek-subjek tradisional fiqih Islam, tafsir Al-Qur’an, ilmu hadis, dan teologi, dicontohkan dengan baik sekali oleh:
(1) Syarh Ushul Al-Kafi, sebuah komentar atas karya terkenal Kulaini, kumpulan hadis Syi’ah pertama tentang masalah-masalah spesifik fiqih dan teologi; (2) Mafatih Al-Ghaib, tafsir Al-Qur’an yang tak tuntas; (3) sejumlah risalah pendek yang masing-masing dicurahkan pada tafsir atas surah tertentu Al-Qur’an; (4) risalah pendek yang berjudul Imamah tentang teologi Syi’ah; dan (5) sejumlah komentar ringkas tentang teks-teks kalam standar, seperti Syarh Al-Tajrid, karya Qusychi.
Karya-karya Shadra yang lebih penting, yang diterima luas oleh kaum Muslimin sebagai puncak perkembangan filsafat Islam, adalah karya-kkarya dalam bidang ilmu-ilmu ‘aqliah. Karya-karya utamanya dalam kelompok ini, antara lain: (1) Al-Asfar Al-Arba’ah Al-‘Aqliyyah, korpus filosofis definitif Shadr Al-Din, yang memuat bahasan-bahasan terperinci tentang semua subjek filsafat; (2) Al-Syuwahid Al-Rububiyyah, umumnya diterima sebagai ringkasan Asfar, dan (3) komentar-komentar ringkas atas karya Ibn Sina, Syifa, dan atas karya Suhrawardi, Hikmah Al-Isyraq.
Kedua komentar ringkas ini, yang hanya tersedia dalam edisi faksimile, merupakan petunjuk kepiawaian dan kepakaran Shadr Al-Din dalam mengembangkan, menolak, atau mempertajam argumen-argumen filosofis. Tidak seperti sebagian besar komentar dan komentar ringkas sebelumnya, ia tidak puas dengan hanya menguraikan butir-butir yang sulit, tetapi juga hendak mendemonstrasikan atau menolak konsistensi dan keabsahan filosofis argumen-argumen orisinal.
Mulla Shadra juga menulis sejumlah risalah yang lebih pendek yang sebagian diantaranya, seperti Al-Hikmah Al-‘Arsyiyyah, Al-Mabda’ wa Al-Ma’ad, dan Kitab Al-Masya’ir telah sangat dikenal dan diajarkan di lingkungan-lingkungan filsafat Persia. Di India Syarh Al-Hidayah (“Komentar atas Buku tentang Petunjuk Karya Atsir Al-Din Abhari”), karya Mulla Shadra, menjadi karya yang paling terkenal diantara karya-karyanya dan diajarkan di madrasah-madrasah tradisional sampai sekarang.
Kesimpulannya pemikiran Shadra menggambarkan suatu tren baru dalam filsafat Islam. Shadr Al-Din melakukan berbagai usaha untuk menguji setiap pandangan dan argumen filosofis yang pernah dikenal berkenaan dengan prisnip dan metode. Ia kemudian menyeleksi apa yang dinilainya sebagai argumen terbaik, merumuskannya kembali dan akhirnya mencoba mengkonstruksi suatu sistem yang konsisten.
Filsafat sistematiknya bukan Peripatetik ataupun Iluminasionis, melainkan rekonstruksi baru dari keduanya, yang berfungsi sebagai saksi bagi kesinambungan pemikiran filsafat dalam Islam. Bahwa Shadra berbeda dengan penekanan pada aspek spesifik “rasionalitas” seperti sekarang ini tidak berarti bahwa pendirinya memahaminya sebagai “irasional” dan juga tidak diberikan terutama pada “pengalaman mistis”. Namun, sistem itu menandaskan suatu pandangan dunia bahwa visi intuitif adalah bagian tak terpisahkan dari pengetahuan.[]