Perspektif

Mungkinkah Ada yang Salah dalam Keberislaman Kita?

4 Mins read

Kondisi umat Muslim saat ini (secara keseluruhan) belum mampu untuk tidak mengatakan tidak mampu—membawa agamanya dengan baik dan benar menimbulkan pertanyaan, mungkinkah ada yang salah dalam keberislaman kita? Ketidakmampuan itu menjadi salah satu penghalang hadirnya Islam dengan penuh kesejukan dan kedamaian. Benar adanya, apa yang dikatakan oleh Muhammad Abduh bahwa ketinggian “ajaran Islam tertutup oleh perilaku umat Muslim” sendiri (Al-Islâm mahjûbun bil-Muslimîn).

Muhammad Iqbal menyatakan bahwa kemunduran kaum Muslimin bukanlah disebabkan ajaran agamanya, tetapi kesalahan terletak pada diri masing-masing pribadinya. Mereka keliru dalam memahami ajaran agama lantaran kejumudannya. Kadangkala apa yang diamalkan bertolak belakang dengan sumber aslinya.

Pemahaman yang keliru dalam keberislaman kita akan melahirkan tindakan yang keliru pula. Ironisnya, jika mempertahankan pemikirannya dengan cara apa pun. Ini sebuah kejumudan dalam beragama dan sedang dialami umat Muslim. Dari sinilah awal mulanya tindakan kekerasan atas nama agama lahir.

Kejumudan dapat diobati oleh pendayagunaan akal secara maksimal. Mengolah pemikiran—hasil olahan dan cernaan akal yang aktif—agar menjadi baik dan benar, salah satunya melalui pendidikan. Pendidikan yang ditempuh seseorang, baik formal, non-formal dan informal, adalah kesatuan yang terpadu, untuk membentuk pribadi Muslim yang mampu mengkontekstualisasikan ilmu pengetahuan yang didapatkannya ke sebuah lingkungan masyarakat.

Al-Qur’an mempersilakan umat Muslim untuk mengembangkan ilmu dan mendayagunakan akalnya semampunya. Namun, harus disadari, umat Muslim dikenal sebagai ummatan wasathan (umat pertengahan), meminjam M Quraish Shihab, umat yang tidak larut dalam spritualisme tetapi juga tidak hanyut dalam alam materialisme.

Keberislaman yang kokoh adalah fitrah manusia (Qs al-Rûm/30: 30). Pola beragama yang sejuk menjadi fitrah manusia dan—meminjam istilah Karen Armstrong—agama yang penuh kasih sayang. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa umat Muslim mundur?

Baca Juga  Sketsa Singkat Fase Kemunduran Islam

Amir Syakib Arsalan telah menulis kitab Limadza Taakhkhara al-Muslimûn wa Limâdza Taqaddama Ghairuhum untuk menjawab problem-problem terkait kemunduran Islam dan penghalangnya. Kemunduran umat Muslim, di samping faktor kejumudan berpikir, juga dikarenakan kurang dewasa dalam beragama.

Keberislaman yang dewasa akan melahirkan perdamaian dan kerukunan lintas kelompok, agama, etnis suku, dan ras adalah dambaan Islam. Cita-cita itu tidaklah utopis, kedatangan Islam pun untuk mewarnai kehidupan di bumi, tidak seperti asumsi iblis tatkala Allah SWT ingin menciptakan manusia (Qs al-Baqarah/2: 30). Namun, tersisa beberapa pertanyaan besar, apakah agama Islam masih relevan di abad teknologi dan Sains?

Gagasan Islam Rahmatan lil Alamin yang dijadikan payung dalam berdakwah, tentunya memiliki perbedaan signifikan dalam tatanan praktiknya dengan gagasan-gagasan lainnya, seperti: Islam Liberal dan Islam Pluralis, Islam Progresif, Islam Nusantara, Islam Kalap dan Islam Karib, Islam Berkemajuan, dan lain sebagainya. Semuanya akan menuju kepada agama rahmat untuk alam semesta. Sama-sama memiliki visi membaca Islam dengan penuh kelembutan, kedamaian, dan menjadi solusi untuk dunia.

Akan tetapi, istilah Islam Rahmatan lil Alamin merupakan istilah yang bersumber dan tercantum dalam al-Qur’an (building in Islam), Allah SWT langsung yang memberikan istilah tersebut untuk menyebut sebuah ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad akan berdampak positif, inklusif, komprehensif, dan holistik. Gagasan yang tidak memiliki kekurangan dan kelemahan, gagasan yang ‘suci’ dan gagasan Ilahiyah, lebih autentik.

Sikap ini sebagai upaya untuk menghindari asumsi-asumsi negatif yang ditempelkan kepada Islam, sebagaimana anggapan yang berkembang, bahwa semua istilah yang berkembang merujuk pada “makhluk yang sama”, yaitu “Islam yang tunduk dan tersubordinasikan kepada Barat.”

Ajaran Islam Rahmatan lil Alamin bukan hal baru dalam konsep pemikiran Islam dan memiliki basis yang kuat dalam teologi Islam. Kata “Islam” berasal dari kata aslama yang berakar kata salama. Kata Islam adalah bentuk infinitif dari kata aslama ini. Dari kata itulah, Islam memiliki varian makna yang diafirmasi oleh al-Qur’an sendiri, meliputi: “damai” (Qs al-Anfâl/8: 61 dan Qs al-Hujurȃt/49: 9), “menyerah” (Qs al-Nisâ/4: 125 dan Qs Ali Imrân/3: 83), “penyerahan diri secara totalitas kepada-Nya” (Qs al-Baqarah/2: 208 dan Qs al-Shaffât/37: 26), “bersih dan suci” (Qs al-Syu’arâ’/26: 89, Qs al-Maidah/5: 6 dan Qs al-Shaffât/37: 84), “selamat dan sejahtera” (Qs Maryam/19: 47).

Baca Juga  Kemenlu: Jadikan Indonesia Sebagai Contoh Penerapan Islam Rahmatan lil Alamin

Adapun makna “rahmat” adalah al-Riqqatu wa al-Ta’attufi (kelembutan yang berpadu dengan rasa keibaan). Ibnu Faris mengartikan kata ini dengan merujuk kepada makna kelembutan hati, belas kasih dan kehalusan. Dan dari akar kata ini, lahir kata rahima yang memiliki arti ikatan darah, persaudaraan dan hubungan kerabat.

Al-Asfahani mempertegas bahwa dalam konsep rahmat adalah belas kasih semata-mata (al-Riqqat al-Mujarradah) dan kebaikan tanpa belas kasih (al-Ihsân al-Mujarrad dûna al-Riqqat). Artinya, jika rahmat disandarkan kepada Allah SWT, maka bermakna “kebaikan semata-mata.” Dan jika disandarkan kepada manusia, maka yang dimaksud adalah “simpati semata”. Dan sampai saat ini, orang-orang Arab dalam percakapannya sehari-hari, mengartikan rahmat yang disandarkan kepada Allah bermakna belas kasih, kebaikan, rizki, dan lain-lain. Sedangkan yang disandarkan kepada manusia bermakna “belas kasih”.

Al-Qur’an pun turut mengafirmasi makna-makna di atas dengan, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Qs al-Anbiyâ’/21: 107). Hampir semua kata rahmat dalam al-Qur’an tertuju kepada Allah, sebagai Pemberi Rahmat. Baik berupa kasih sayang, kebajikan, kenikmatan, kemenangan, dan lain sebagainya.

Segala sesuatu yang berkaitan dengan rahmat dalam al-Qur’an, memiliki konotasi sebuah pemberian dan tujuan tanpa ada sekat, dirasakan oleh seluruh manusia karena Allah menyifati dirinya dengan Rahman yang mencakup siapa pun. Dan Nabi Muhammad SAW pun menegaskan kehadirannya di alam semesta ini melalui sabdanya: “Yâ ayyuha al-Nâsu, innamâ anâ rahmatun muhdâtun” (wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan Allah).

Dan dalam menafsirkan kata “rahmat” dan “rahim” Allah berbeda. Rahmat Allah SWT untuk seluruh makhluk-Nya, termasuk non-Muslim. Sedangkan rahim-Nya hanya diperuntukkan bagi-bagi orang yang taat kepada Allah, tidak menduakannya dan mengimani ajaran Nabi Muhammad SAW karena ini sebagai tiket untuk memasuki surga-Nya kelak.

Baca Juga  Umatnya Hina, Tapi Agama Islam Tetap Mulia

Manakala telah memaknai gagasan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin, maka akan membuka fresh ijtihad yang kemudian mengkontekstualkan Islam pada zaman sekarang. Keberislaman yang dewasa di masa depan dalam rangka mengimplementasikan sabda Nabi yakni, Al-islamu ya’lu wala yu’la ‘alaih. Yaitu bahwa “Islam itu senantiasa unggul, dan ia tidak akan terungguli oleh yang lain.”

Editor: Arif

Avatar
4 posts

About author
Mahasiswa Ilmu Qur'an dan Tafsir UMS dan Mahasantri Hajjah Nuriyah Shobron 2019
Articles
Related posts
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…
Perspektif

Manfaat Gerakan Shalat Perspektif Kesehatan

3 Mins read
Shalat fardhu merupakan kewajiban utama umat Muslim yang dilaksanakan lima kali sehari. Selain sebagai bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, shalat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds