Perspektif

Mungkinkah Internasionalisasi “Moderasi Islam”ala Indonesia?

12 Mins read

Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-34 telah selesai digelar di Lampung, namun ada agenda yang perlu dikaji serius: internasionalisasi NU (dan Islam Indonesia) di kancah global.

Terpilihnya Kiyai Haji Yahya Cholil Staquf menjadi Ketua Umum PBNU menyegarkan kembali visi internasionalisasi ini. Selain perjalanannya ke luar negeri, Gus Yahya pernah mengatakan, “moderat bukan menolak gaya beragama, namun bagaimana membangkitkan kesadaran untuk membangun konsensus global seluruh umat manusia menuju peradaban baru yang adil dan harmonis yang didasarkan pada penghormatan hak dan derajat antarsesama umat manusia.”

Pada saat yang sama, Ketua Umum Muhammadiyah Professor Haedar Nashir, sering menyuarakan dukungan terhadap kepemimpinan Indonesia di tingkat global, yaitu program internasionalisasi Muhammadiyah dan penguatan SDM Indonesia yang unggul dan berkarakter.

Kesamaan Visi Gus Yahya dan Buya Haedar

Visi Gus Yahya dan Buya Haedar Nashir di atas, sejalan dengan tri-persaudaraan: persaudaraan Islam, sebangsa, dan umat manusia, seperti juga dicanangkan Kiyai Achmad Shiddiq tahun 1989, dan dipopulerkan Kiyai Abdurrahman Wahid, dan diamini semua tokoh dan aktif kedua ormas besar ini.

Kita tahu, kedua organisasi massa ini lahir dari konteks global Islam dan lokal Jawa di awal abad ke-20. Muhammadiyah berdiri di Yogyakarta tahun 1912. NU bermula di Surabaya tahun 1926. Kedua ormas ini berkembang di Jawa, seluruh daerah Indonesia, dan kini merambah mancanegara.

Namun, mengapa dunia tampaknya lebih mengenal gerakan-gerakan transnasional seperti Al-Qaidah, ISIS, Jama’ah Islamiyah, dan Hizbut Tahrir? Sebagian besar gerakan Islam yang dikenal ekstrem.

Ada gerakan-gerakan yang dianggap moderat seperti Gerakan Gulen dari Turki, yang kini memiliki sekolah dan universitas di lebih dari 170 negara di dunia. Meskipun ada kebanggaan asal kebangsaan Turki, Gerakan Gulen tidak terbatas orang-orang Turki, sementara dua ormas terbesar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, para anggotanya warga Muslim asal Indonesia dan internasionalisasinya baru mulai merambah.

Sepuluh tahun lalu, tahun 2011, Indonesianis Martin van Bruinessen pernah menyentil: Islam Indonesia masih kurang percaya diri dan masih fokus melihat ke dalam dirinya.

Perhatian dan kiprahnya masih lokal dan nasional, keanggotaannya belum ke luar ke bangsa-bangsa lain. Sepuluh tahun sejak kritik itu, adakah yang berubah? Apa saja potensi, peluang, dan tantangannya jika visi internasionalisasi Islam Indonesia hendak dikembangkan?

Potensi Jumlah dan Gagasan

Ada cukup banyak potensi. Diakui, proses penyebaran dan pribumisasi Islam berjalan damai dan berangsur-angsur melalui pedagang, Sufi, dan penganjur agama dari Arab, India, Persia, Cina, dan dilanjutkan penduduk lokal dari berbagai suku bangsa di wilayah pesisir dan kemudian pedalaman.

Indonesia berpenduduk Muslim terbesar di dunia, bahkan dibanding negara-negara Arab. NU dan Muhammadiyah dua organisasi massa yang beranggotakan seratus juta lebih di negara berpenduduk terbesar setelah Cina, India, dan Amerika Serikat.

NU adalah organisasi terbesar dengan puluhan ribu pesantren. NU melahirkan banyak pemikir neo-tradisionalis dan aktifis progresif, dan mulai mendirikan universitas-universitas dan lembaga-lembaga baru.

NU dikaji banyak peneliti luar negeri. Muhammadiyah, seperti disebut Indonesianis Robert Hefner, adalah organisasi modern Islam terbesar, dengan ribuan sekolah, ratusan perguruan tinggi, puluhan rumah sakit, panti asuhan, dan berbagai amal usaha di Indonesia.

***

Kaum perempuan seperti Aisyiyah dan Muslimat NU terus dan makin aktif memperjuangkan kesetaraan pendidikan dan keadilan jender. Berkompetisi dan bekerja sama dengan kaum pria, mereka juga aktif memperjuangkan hak-hak minoritas agama dan mereka yang berkebutuhan khusus, selain kerja-kerja humanitarian akibat konflik, bencana, dan wabah, serta terlibat dalam upaya pencegahan terorisme, kekerasan rumah tangga, dan isu-isu lainnya.

Kini ada sekitar 31 Pengurus Cabang Istimewa NU di berbagai negara dan Muhammadiyah memiliki Pimpinan Cabang Istimewa di 23 negara. Tapi keanggotaan memang masih Muslim asal Indonesia, belum meluas kepada warga negara di luar Indonesia.

Di Indonesia, NU menjadi tuan rumah konferensi ulama internasional tahun 2004, 2006, dan 2008, dan pertemuan tarekat internasional tahun 2011. Kini NU terlibat mendirikan masjid-masjid di Belgia dan negara-negara lain.

NU bekerja sama dengan berbagai lembaga dunia, Turki, Uni Eropa, dan jaringan seperti Aliansi Evangelis Dunia yang memiliki jutaan penganut Protestan di dunia.

Tokoh-tokoh Muhammadiyah terlibat di kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa, di berbagai aliansi seperti Rusia, Cina, Vatikan Roma, dan dialog antarperadaban di Jepang, Amerika, Eropa, Australia, dan Timur Tengah. Tapi hal ini masih individual, sporadis, dan belum konsisten menjadi gerakan organisasi dan jaringan.

Di tanah air, NU menggagas Islam Nusantara, Muhammadiyah Islam Berkemajuan. Keduanya mengembangkan visi “moderasi agama” dan pembaharuan berbasis tradisi dan kemajuan.

***

Indonesia memiliki budaya, termasuk naskah-naskah keislaman dan kebudayaan yang kaya. Mereka menekankan nilai-nilai universal ilmu pengetahuan, keadilan, dan kemanusiaan tanpa meninggalkan sejarah dan budaya lokal.

Kementerian Agama juga melakukan formulasi empat indikator moderasi agama: komitmen kepada bangsa, toleransi, tanpa kekerasan dan sikap akomodatif terhadap budaya setempat. Gagasan-gagasan ini sangatlah menarik, tapi masih dibingkai dari dan untuk konteks bangsa Indonesia.

Di Indonesia, Islam dan demokrasi sejalan, dalam negara Pancasila yang meramu nilai-nilai agamis, humanis, nasionalis, demokratis, dan sosialis. NU menyebut Indonesia sebagai darussalam, negara damai. Bagi Muhammadiyah, Indonesia disebut Darul ‘Ahdi wasy-Syahadah, negara kesepakatan dan persaksian.

Baca Juga  Covid-19 Vs Peran Masyarakat dan Himbauan Pemerintah

Ada juga harapan dunia luar. Di tahun 1985 Fazlur Rahman pernah berharap Turki dan Indonesia sebagai model peradaban Islam. Di Indonesia, ia mengagumi Pancasila dan demokrasi.

Juga ada gagasan-gagasan besar: Islam rasional Harun Nasution, pribumisasi Islam Abdurrahman Wahid, inklusifisme agama Nurcholish Madjid, pluralisme agama Kautsar Azhari Noer, dan banyak tokoh muda lainnya, reaktualisasi Islam Munawir Sjadzali, humanisme Islam Ahmad Syafi’i Maarif, wasatiyyah atau moderasi Islam Azyumardi Azra, dan feminisme Islam ulama dan aktifis perempuan yang makin mengarusutama di Indonesia.

Kementerian Agama, juga para guru besar dan dosen pun kini gencar mengadakan program-program moderasi agama. Namun apakah gagasan-gagasan sintesis dan kreatif ini terus digali dan dikembangkan, dan mulai mewarnai dunia keislaman dan kemanusiaan global?

Menyadari Peluang-Peluang

Ada cukup banyak peluang. Tokoh-tokoh Muslim Indonesia menjadi anggota bahkan posisi pimpinan di organisasi-organisasi internasional seperti G-20, PBB, Organisasi Kerjasama Islam (OKI), dan lembaga swadaya masyarakat internasional di berbagai bidang.

Namun partisipasi mereka belum cukup mewarnai dan menentukan kebijakan di banyak masalah internasional seperti konflik di Timur Tengah dan Asia, terorisme, Islamofobia, perubahan iklim, dan masalah-masalah regional dan global lain.

Memang ada pengajaran bahasa dan budaya Indonesia, termasuk Islam Indonesia, di luar negeri, tapi belum cukup banyak dan konsisten programnya. Banyak tokoh dan warga NU dan Muhammadiyah bisa berbahasa Inggris dan Arab, tapi kebanyakan masih belum dan kurang percaya diri.

Gagasan-gagasan Islam dalam buku dan juga situs resminya makin kreatif, tapi harusnya juga dalam bahasa Arab dan Inggris.

Dibanding Timur Tengah, mahasiswa Indonesia yang belajar dan dosen dan peneliti yang mengajar dan menerbitkan karya-karya di luar negeri sangatlah kecil.

Pemikiran Islam Indonesia sudah mulai masuk, tapi belum cukup dihargai sarjana, peneliti dan jurnalis di luar negeri di konferensi, jurnal, majalah, dan surat-surat kabar internasional.

Ada kesempatan besar bagi NU dan Muhammadiyah: kedua ormas besar ini bisa mendirikan masjid-masjid baru, lembaga-lembaga pemikiran dan pendidikan, kesehatan, panti asuhan, dan sebagainya, di luar negeri.

Sekolah-sekolah dan kampus-kampus bervisi Islam Indonesia perlu digagas dan bahkan didirikan di luar negeri, bukan hanya di dalam negeri, seperti Universitas Islam Internasional Indonesia. Harus pula ada visi dan komitmen kuat kearah itu, selain dukungan dana dari berbagai pihak.

Dukungan berbagai pihak itu dapat dicari melalui komunikasi yang lebih intens ke luar selain warga Muslim Indonesia. Ada banyak organisasi dan jaringan keislaman di luar negeri dan organisasi-organisasi keagamaan lainnya, juga lembaga-lembaga non-agama yang bergerak di berbagai bidang pendidikan, sains, dan teknologi.

Menjernihkan Visi dan Misi

Ayat Al-Qur’an 2:143: “Kami jadikan kalian umat wasathan agar menjadi saksi di depan manusia…” menjadi rujukan penting. Para mufassir memahaminya berbeda-beda. Contoh saja: Mujahid Ibn Jabar (w.720) dan Muqatil ibn Sulaiman (w.767) memahami wasathan sebagai ‘udulan/’adlan: adil – tanpa memaparkan lebih lanjut. Ali Al-Wahidi (w.1076) mengartikannya ”adlan khiyaran”.

Ibnu Katsir (w.1373) menerjemahkannya kiblat di tengah: antara kiblat Yahudi dan kiblat Nasrani, antara keberlebihan Yahudi dan Nashrani. Bagi mufassir modern Muhammad Abduh dan Rashid Rida, wasathan: menggabungkan dimensi fisik dan dimensi spiritual (bukan antara Yahudi dan Nashrani).

Sayyid Qutb menggunakan kata tengah antara timur dan barat, antara utara dan selatan. Hamka membandingkan intelektualisme Yunani dan spiritualisme Hindu dan Buddha.

M. Quraish Shihab menyebut wasathan antara ateisme dan politeisme, juga antara ilusi dunia dan spiritualisme anti-dunia. Jadi, wasathan itu bermakna cukup banyak dan berubah dari mufassir ke mufassir lain.

Ada visi besar “Rasulullah, dan Islam, sebagai rahmat bagi alam semesta” yang dikembangkan NU dan Muhammadiyah, tapi belum dikembangkan melalui gagasan dan strategi global yang lebih rinci, jelas, dan terarah.

Gagasan-gagasan dan nilai-nilai Islam itu haruslah bersifat universal dan sekaligus rinci dan lokal membumi di konteks masing-masing negara yang unik, majemuk dan dinamis. Internasionalisasi juga berarti pribumisasi Islam di berbagai bidang kehidupan politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya, di masing-masing negara di dunia.

Perdebatan ideologis di masing-masing negara itu tidak persis sama dengan perdebatan ideologis di Indonesia. Istilah-istilah yang sama memiliki konotasi berbeda.

Misalnya, di Amerika Serikat, konservatisme dan liberalisme dipahami berbeda dengan konservatisme dan liberalisme yang kini juga dipakai di Indonesia. Di Perancis, sekulerismenya ‘laicite’ tidak sama dengan sekulerisme Amerika. Di Australia, Kanada, Iran, di Turki, Malaysia, dan hampir semua negara, hubungan Islam, negara, dan politik sangat berbeda dan unik.

***

Ketika tokoh-tokoh Muslim Indonesia menyuarakan wasatiyyah atau moderasi Islam, dan mereka maknai sebagai jalan tengah antara fundamentalis dan sekuler, atau dua ekstrim kanan dan ekstrim kiri, mereka belum menjelaskan “moderasi” yang bagaimana yang cocok dalam konteks negara-negara sekuler seperti Amerika, Perancis, Australia, atau negara-negara mayoritas Islam di Saudi, Iran, dan Pakistan?

Nilai-nilai pokok suatu moderasi bisa sama, tapi variabel-variabelnya berbeda. Konteks historis, bahasa, keadaan demografi, bentuk Negara, dinamika politik dan budaya masyarakat, di masing-masing negara, sangatlah berbeda dan dinamis.

Misalnya, di Amerika kontemporer, istilah liberal punya banyak makna, dan tidak selalu negatif. Liberal bukan ‘bebas’ sebebas-bebasnya, seperti sering dipakai di Indonesia untuk mengecam orang yang beda pandangan keagamaan di luar pemahaman arus utama.

Baca Juga  Aplikasi Sirekap KPU Ruwet di Akar Rumput

Kata Liberal lebih pada makna hak dan kebebasan individual, yang dibatasi hak dan kebebasan individual orang lain yang diatur hukum. Liberal selalu berkelindan erat dengan hukum yang menjamin kebebasan individual dan kehidupan bersama.

Di Amerika, perjuangan melawan kebencian terhadap Islam atau islamfobia, juga dilakukan kaum-kaum progresif dan liberal yang juga membela hak-hak individual dan komunal LGBTQ, hak-hak ras kulit hitam, hak-hak Cina dan Asian Amerika, hak-hak orang-orang asli, indigenous populations, dan hak-hak sipil kaum terpinggirkan lainnya.

Sementara di kalangan mayoritas Muslim Indonesia, aktifis yang menyuarakan isu LGBTQ, kaum adat, dan penganut kepercayaan dan agama-agama lokal, sering dicap liberal dan kebablasan.

Orang yang mengucap selamat Natal dan hadir di gereja saja masih sering dicap liberal, meskipun Syaikh Al-Azhar dan banyak imam di Barat biasa keluar masuk gereja dan sinagog dalam kegiatan dakwah dan dialog antaragama.

Mendukung hak-hak sipil setiap warga dan manusia tidak selalu harus berarti ia harus berasal dari kaum yang dibela itu, dan tidak pula harus berarti menjadi LGBTQ, tidak selalu berarti ia mempercayai apa yang dipercayai ateisme atau komunitas agama lokal itu.

***

Ada nilai-nilai liberal yang dipahami sebagai pengakuan setiap manusia, mulia dan setara, sebagai manusia. Nilai-nilai konservatif dalam hal tradisi ritual dan liberal dalam arti nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan, bisa saja dipahami dalam konteks menjadi ‘ummatan wasathan”. Tergantung perspektif dan penekanan nilai-nilainya.

Nah kata ‘moderat’ dalam penggunaan di Amerika juga berbeda-beda, dan tidak selalu positif. Bagi sebagian orang, moderat itu samar, jalan tengah dianggap tidak jelas apa dan siapa. Apa itu moderasi dalam konteks “religious rights” (Kaum Kanan Agamis)? Apakah Puritan itu ekstrim atau moderat? Apakah progresif itu liberal atau moderat? Apakah liberal itu masuk moderat? Apakah fundementalis itu moderat? Bahkan sering kalangan yang moderat itu justru bersikap tidak toleran.

Mereka yang “moderate” di Amerika bisa saja mengeluarkan atau memarjinalkan berbagai kalangan minoritas karena faktor rasnya, keagamaannya, jender, dan orientasi seksualnya. Jika demikian, moderasi di sini tidak sejalan dengan pengakuan hak-hak sipil setiap orang, apapun identitasnya.

Setelah 11 September 2001, kata ‘moderat’ lebih sering digunakan: Ada kalangan yang memahami moderasi kepada Islam yang bukan teroris. Kata moderasi muncul sebagai reaksi bagi terorisme di satu sisi dan kemudian, karena Islamofobia berkembang, juga untuk menjawab tantangan mereka yang membenci Islam, Arab, dan umat Islam.

Sebelumnya, orang mengartikan moderasi sebagai tengah-tengah antar kapitalisme Amerika (Barat) dan komunisme Sovyet dan sekarang Cina (Timur). Lalu ada yang mengartikan Islam moderat sebagai teman-teman Barat atau kelompok yang pro-Barat. Sebagian lagi mengalamatkan moderasi sebagai Sufi dan yang pasti toleran, sedangkan selainnya bukan moderat. Dan banyak lagi konotasi moderat ketika dipakai di Amerika.

Selain penggunaan istilah yang perlu diperjelas ketika digunakan, faktor kemajemukan di masing-masing negara juga menambahkan kompleksnya wacana dan praktek keagamaan.

***

Komposisi Muslim di Amerika sangatlah kecil (sekitar 1 persen dari seluruh warga Amerika), tapi spektrum keislaman relatif lebih luas dari komposisi ideologis Muslim di Indonesia. Sebagian dari luar Amerika, sebagian lahir di Amerika. Di Amerika, ada masjid dan kaum Syiah yang berkembang, ada Ahmadiyah yang maju, ada Hizbut Tahrir yang cukup aktif. Ada Muslim yang tidak menjalankan sebagian rukun Islam.

Ada mazhab Sunni yang Hanafi, Hanbali, Maliki, selain Syafi’i. Dan banyak Muslim, khususnya generasi muda, yang tidak tahu Sunni atau Syiah, atau tidak mau dikaitkan dengan Sunni atau Syiah. Muslim juga berasal dari bangsa-bangsa imigran selain warga asli, dengan ras-ras kulit hitam, putih, kuning, sawo matang. Faktor ras sangat dominan di Amerika, bahkan sering digunakan kepada agama yang memang tidak ada sensusnya.

Di Amerika, ada banyak ateis, dan ateisme juga macam-macam, tidak selalu anti agama. Begitu juga mereka yang menyebut “nones”: tidak menjadi pengikut agama manapun, tapi mengakui nilai spiritual di luar dunia material.

Mereka juga memiliki pemaknaan hidup, meski berbeda dengan pemaknaan hidup agama-agama. Selain itu, agama-agama besar dan gerakan-gerakan agama baru yang lahir dan berkembang, seperti Mormonisme, Scientology, the Nation of Islam, dan banyak lagi.

Soal kebebasan beragama, juga masih bermasalah di negara-negara mayoritas Muslim. Secara gagasan, ayat la ikraha fi al-din sering diartikan tidak ada paksaan dalam beragama. Banyak tafsir klasik dan pra-modern menafsirkan ayat ini dengan hadis ahad yang membolehkan hukuman mati bagi orang yang meninggalkan Islam.

Banyak juga Negara yang melakukan kebijakan persekusi dan diskriminasi kepada kelompok yang dianggap heretik atau berbeda dari keyakinan teologis arus utama. Bagaimana menafsirkan ulang “Tidak ada Paksaan dalam Agama” dalam konteks negara bangsa dan Deklarasi HAM internasional yang tidak sejalan dengan hukuman mati di masa-masa pra-modern?

***

Misalnya, ada tafsir baru bahwa Islam tidak membenarkan hukuman mati di dunia ini dan seorang Muslim memiliki kebebasan untuk menjadi eks-Muslim dan menganut agama lain atau tidak beragama, tanpa ada hukuman di dunia.

Bagaimana mewujudkan kebebasan beragama juga kepada kelompok-kelompok Muslim yang berbeda dengan arus utama? Bagaimana mengelola perbedaan keyakinan agama dalam konteks negara bangsa di mana umat Islam menjadi bagian di dalamnya?

Baca Juga  Haedar Nashir: dari Sosiolog Menjadi Begawan Moderasi

Apakah seorang Muslim di Amerika yang mendukung tafsir kebebasan beragama termasuk kebebasan keluar dari agama termasuk menjalankan moderasi islam yang dimaksud?

Bagaimana posisi NU dan Muhammadiyah ketika orang membela kebebasan Islam berdakwah dan mengecam Islamofobia di Barat lalu membatasi kebebasan beragama bagi agama-agama lain dan mendukung fobia kepada agama dan ras lain di Indonesia, di Iran, atau di Malaysia misalnya? Apa makna nilai moderasi dalam konteks yang berbeda ini?

Karena itu, ketika menawarkan dan mempromosikan visi moderasi Islam, tokoh dan aktifis Muslim NU dan Muhammadiyah harus lebih spefisik: moderat dalam arti apa saja? Perlukah menggunakan istilah konservatif, fundamentalis, liberal, sekuler, sebagai lawan dari moderasi itu, dan dalam arti apa?

Lalu apa batasan ekstrimisme dan radikalisme itu? Bukankah kata ummatan washatan lahir jauh sebelum kategori-kategori fundamentalis, konservatif, sekuler, liberal, dan moderat itu?

Pertanyaan lain bagi NU dan Muhammadiyah: bagaimana menolak gerakan-gerakan trans-nasional Islam seperti Hizbut Tahrir dan Salafi Wahhabisme di Indonesia tapi pada saat yang sama mempromosikan gerakan trans-nasionalisasi NU dan Muhammadiyah di berbagai negara di luar Indonesia?

Tampaknya bukan dimensi trans-nasionalisme-nya yang ditolak, tapi ideologi trans-nasionalisme yang mengancam ideologi Negara-bangsa dan kesepakatan bersama di tempat itu. Karenanya, harus diperjelas aspek-aspek yang ditolak dan nilai-nilai apa yang diperjuangkan, bukan hanya relevan di Indonesia, dan tapi juga relevan di negara-negara lain di dunia.

Menjawab Tantangan Besar

Maka, para sarjana dan aktifis Muhammadiyah dan NU di negara-negara di luar Indonesia harus mengamati dan memahami dua hal sekaligus: konteks dan visi misi Muhammadiyah dan NU di Indonesia dan konteks dan visi misi Islam di konteks negara-negara mereka tinggal.

Lebih luas lagi, mereka perlu mencari jalan-jalan yang luas dan lapang, bagaimana kedua konteks dan visi ini bisa dipahami para warga negara non-Indonesia, baik Muslim maupun non-Muslim, baik beragama maupun tidak beragama.

Lebih jauh lagi, sejauh mana visi dan misi Islam rahmat bagi dunia, dapat menarik orang-orang di luar Indoensia, bahkan dihargai dan dirasakan dampaknya di berbagai bidang kehidupan.

Perlu juga digali karakteristik NU dan Muhammadiyah yang bisa diwujudkan di berbagai konteks luar negeri. Misalnya, NU menggabungkan warisan teologi, mazhab, dan intelektual yang relevan bagi konteks budaya lokal: pembaharuan dan tradisi.

Muhammadiyah menggabungkan teks Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang menjawab tantangan zaman dan tempat tapi sekaligus relevan bagi penguatan nilai ketuhanan dan ilmu pengetahuan, agama dan sains, wahyu dan akal manusia. Kedua ormas ini menekankan pentingnya ilmu meskipun berbeda penekanan ilmu yang mana dan metodologinya.

Keduanya juga menggabungkan keselarasan agama dan kebangsaan. Artinya: menjadi Muslim dan menjadi Indonesia, tanpa harus meninggalkan keindonesian. Di Amerika misalnya, menjadi Muslim dan menjadi Amerika, tanpa harus meninggalkan keamerikaan.

Banyak jalan menjadi Muslim, dan banyak jalan menjadi Amerika, tapi kedua identitas ini bisa saling menguatkan. Dan begitu seterusnya, dalam konteks masing-masing.

Kedua ormas ini juga menekankan nilai-nilai kemanusiaan universal seperti yang mereka gali dari Al-Quran dan petunjuk Nabi dan ulama. Pertanyaannya: nilai-nilai kemanusiaan yang mana: Keadilan, kesehatan, keselamatan, kesejahteraan? Tuntunan Al-Qur’an Fastabiqul Khairat, berkompetisi dalam mengejar dan menjalankan kebaikan. Khairat itu berbentu jamak, banyak.

***

Banyak jenis dan bentuk kebajikan. Juga Amar Ma’ruf: Perintah kepada Ma’ruf, dan Nahyu ‘an Al-Munkar, larangan kepada Munkar. Apa makna ma’ruf di Amerika? Apa saja yang dianggap “baik” di Amerika, di Iran, di Mesir? Sama nilainya: kebaikan, lawan keburukan, tapi tidak persis sama bentuk dan wujudnya.

Bagi para pendakwah, bagaimana mengajak kepada Islam sebagai sikap berserah diri kepada Tuhan Pencipta (iman), Hari Akhir, dan menjalankan kebaikan atau amal sholih dalam konteks agama dan keyakinan yang sangat majemuk, seperti diinspirasi Al-Quran 2:62 itu? Hal ini perlu terus digali dan penafsiran ulang harus dikembangkan.

Generasi baru NU dan Muhammadiyah makin banyak, dan makin terorganisir di diaspora di luar negeri.

Kapasitas keilmuan keagamaan dan bidang-bidang sains dan ilmu modern makin membesar. Komunikasi global makin mudah. Dua tantangan besar bagi para generasi penerus NU dan Muhammadiyah di Indonesia dan di luar negeri: Pertama, menjadikan Indonesia bukan hanya pasar dan pemakai gagasan dan gerakan Islam dari luar, tapi juga penghasil gagasan dan kerja kemanusiaan yang dilihat dan dirasakan umat Muslim dan non-Muslim, dan bangsa-bangsa di dunia.

Kedua, tantangan keorganisasian dan jaringan, bagaimana orang-orang di luar Indonesia tertarik dan menjadi bagian penting pimpinan dan anggota gerakan Islam Indonesia ini. Kedua tantangan ini di luar tantangan besar yang terus dihadapi NU dan Muhammadiyah di Indonesia.

Dengan potensi, peluang dan kapasitas NU dan Muhammadiyah, visi dan misi internasionalisasi, dengan tantangannya yang tidak kecil, melalui gerakan Islam berkebangsaan dan pencerahan asal Indonesia, bukanlah sebuah mimpi di siang bolong jika nanti citra Islam di dunia akan lebih baik, dan kontribusi islam dan umat Islam makin proaktif dan konstruktif bagi kemaslahatan dan peradaban bangsa-bangsa di dunia.

Demikian sekilas butir-butir renungan akhir tahun ini. Bagaimana pandangan Anda?

Editor: Yahya FR

15 posts

About author
Associate Professor, Jurusan Kajian Agama, Direktur Program Studi Timur Tengah dan Islam, University of California, Riverside.
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds