Nabi Poligami
Nabi Poligami – Banyak orang yang mengatakan bahwa alasan Nabi Saw menikah dengan lebih dari satu wanita karena menuruti hawa nafsunya. Hal ini jelas tidak benar. Bahkan ada di antara mereka yang mengatakan bahwa Nabi Saw tidak normal karena menikahi wanita di bawah umur.
Ini juga pendapat yang bathil. Lantas apa hikmah dari poligami Nabi Saw tersebut? Berikut adalah empat hikmah dari poligami Nabi Saw yang disebutkan oleh Ulama:
Hikmah At-Ta’limiyah (Untuk Pengajaran)
Tujuan dasar dari poligami yang dilakukan Nabi Saw adalah untuk mengeluarkan informasi-informasi khusus terkait masalah kewanitaan dan rumah tangga. Banyak dari kalangan wanita yang merasa malu apabila hendak bertanya kepada Nabi Saw terkait hukum-hukum syariat.
Contohnya adalah bertanya tentang masalah haid, nifas, mandi junub, perkara rumah tangga, dan yang lainnya yang menyangkut hukum-hukum. Apabila mereka bertanya – pun tentang masalah syariat, para wanita tersebut benar-benar bertarung untuk menaklukan rasa malunya.
Contoh konkrit dari penjelasan adalah potongan hadis yang bersumber dari Ummu Salamah. Ketika Ummu salamah berkata, “Para wanita bertanya apakah wanita itu juga mengalami mimpi basah?” kemudian Nabi Saw menjawab, “Lantas, apa yang menjadikan anak menyerupai ibunya?”.
Maksud dari perkataan Nabi Saw adalah bahwasanya janin itu berasal dari air mani laki-laki dan perempuan. Dengan demikian keduanya diserupakan, sebagaimana firman Allah Swt dalam QS al-Insan/76: 2:
إِنَّا خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَٰهُ سَمِيعًۢا بَصِيرًا (الإنسان : 2)
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (QS Al-Insan/76: 2)
Demikianlah contoh dari hikmah ta’limiyah (pengajaran). Dari jawaban itu, lantas banyak wanita-wanita muslimah yang mengetahuinya. Ibunda Aisyah ra juga pernah berkata, “Allah Swt merahmati wanita-wanita Anshar karena tidak ada rasa malu yang menghalangi mereka untuk dapat belajar agama”.
Ini disebabkan karena banyak wanita Anshar yang datang kepada Ibunda ‘Aisyah untuk dapat bertanya terkait masalah-masalah kewanitaan seperti yang sudah disebutkan di atas. Dan tidak ada keraguan bahwa Istri-Istri Nabi adalah yang paling mengetahui terkait hal tersebut.
Oleh karena itu tidak diragukan lagi bahwa hikmah pernikahan Nabi Saw dengan Umahatul Mukminin ra adalah hikmah yang agung, yakni untuk menjelaskan terkait hukum kwanitaan dan kerumah tanggaan untuk dijadikan pedoman bagi kaum muslimin.
Hikmah At- Tasyri’iyyah (Hukum Syariat)
Ini berkaitan dengan sebagian adat Arab Jahiliyah yang dipandang bathil (tidak benar) menurut ajaran Islam. Contohnya adlah seperti masalah Bid’atut Tabaniy (masalah adopsi). Dahulu bangsa Arab banyak yang mengadopsi anak, kemudian berkata kepada anak adopsinya tersebut: “Kamu adalah anakku, aku mewarisimu dan kamu ahli warisku”.
Ini tidak benar menurut ajaran Islam dan ingin untuk diubah. Oleh karena itu Islam mencoba untuk menyelesaikan permasalah ini melalui Nabi Saw.
Suatu hari Nabi Saw mengadopsi seorang anak –peristiwa ini terjadi sebelum Nabi Saw diangkat menjadi Nabi dan Rasul-. Nabi Saw mengadopsi anak bernama Zaid bin Haritsah. Kemudian setelah hari itu orang-orangpun memanggilnya dengan sebutan Zaid bin Muhammad.
Imam Bukhari dan meriwayatkan:
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أنه قال: إن زيد بن حارثة مولى رسول ﷺ ما كنّا ندعوه إلاّ زيد بن محمد، حتى نزل القرآن : (ٱدْعُوهُمْ لآبآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ ٱللَّهِ) الأحزاب : 5
“Bahwa Zaid bin Haritsah mantan budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa kami panggil dengan Zaid bin Muhammad hingga Allah menurunkan ayat: “Panggillah dia dengan nama bapak-bapaknya, karena hal itu lebih adil di sisi Allah.” (QS. Ahzab/33: 5).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian Nabi Saw berkata: Kamu adalah Zain bin Haritsah bin Syarahil.
Kemudian suatu hari Nabi Saw menikahkan Zaid dengan anak pamannya, yaitu Zainab binti Jahsyi. Hanya saja pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Terjadi perselisihan internal antara keduanya yang disebabkan status mereka, bahwa Zainab berasal dari keluarga terpandang sedangkan Zaid adalah mantan budak.
Hikmah dalam peristiwa tersebut: Allah ingin agar Zaid mentalak Zainab, kemudian Allah memerintahkan Nabi Saw untuk menikahi Zainab yang tujuannya untuk menegakkan syariat Islam dan menghilangkan adat Bid’atut Tabaniy yang marak terjadi di bangsa Arab.
Akan tetapi Nabi Saw tidak langsung melaksanakan perintah Allah tersebut. Nabi Saw khawatir akan lisan orang-orang munafik jika mereka bertaka: “Muhammad menikah dengan Istri anaknya!”.
***
Hal itu Nabi Saw tunda beberapa waktu, hingga pada akhirnya Nabi Saw langsung ditegur dengan tegas oleh Allah Swt dalam firmannya QS. Ahzab/33: 37:
…وَتَخْشَى ٱلنَّاسَ وَٱللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَىٰهُ ۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَٰكَهَا لِكَىْ لَا يَكُونَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِىٓ أَزْوَٰجِ أَدْعِيَآئِهِمْ إِذَا قَضَوْا۟ مِنْهُنَّ وَطَرًا ۚ وَكَانَ أَمْرُ ٱللَّهِ مَفْعُولً)
الأحزاب: 37
Artinya : “…Dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Ahzab/33: 37)
Dengan demikian, berakhirlah adat Bid’atut Tabaniy sampai benar-benar hilang adat tersebut dari bangsa Arab. Dan perlu perhatikan juga bahwa pernikahan Nabi Saw tersebut merupakan bentuk menaati perintah dari Allah Swt. Bukan semata-mata menuruti hawa nafsu ataupun syahwat sebagaimana dikatakan oleh para pendusta dan orang-orang munafik.
Hikmah Al-Ijtima’iyah (Persatuan)
Sebagaimana diketahui bahwa Nabi Saw menikah dengan Aisyah RA, anak dari sahabat yang mulia yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq RA yang termasuk orang pertama yang masuk ke dalam Islam dan orang yang memiliki kedudukan.
Kemudian Nabi Saw menikah juga dengan Hafshah binti Umar. Hal ini yang menyebabkan Umar RA semakin mantap dalam berislam dan mendakwahkan agama Allah ini. Sampai pada akhirnya, Umar dikenal sebagai pahlawan Islam yang mampu menegakkan pilar-pilar agama Islam dan menyebarkannya sampai ke negeri yang jauh. Hal ini tentu saja tidak terlepas karena ada hubungan kekeluargaan dengan Nabi Saw.
Kemudian, Nabi Saw juga menikahkan anak-anaknya kepada sahabat dekatnya yang lain. Utsman bin Affan menikah dengan Ummu Kultsum dan Ruqoyyah. Ali bin Abi Thalib menikah dengan Fatimah.
Mereka berempat adalah para sahabat yang sangat mulia di antara para sahabat yang lainnya. Mereka adalah sahabat yang utama dalam penyebaran agama Islam di Arab dan selain Arab. Mereka juga sahabat yang melanjutkan kempemimpinan Islam setelah wafatnya Nabi Saw untuk melanjutkan dakwah risalah Islam demi tegaknya kalimat tauhid di muka bumi.
Hikmah As-Siyasiyah (Bersiasat)
Sebagaimana sudah diketahui bahwasanya apabila manusia menikah dengan manusia lain, maka keluarga mereka akan saling bersaudara antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini juga yang menjadi salah satu hikmah dipernikahan Nabi Saw.
Contohnya adalah pernikahan Nabi Saw dengan Juwairiyah binti al-Haris, salah seorang wanita dari Bani Mustaliq. Pada suatu hari, dia dengan beberapa orang kerabat serta kaumnya ditawan. Ketika sedang dalam status tawanan tersebut, Juwairiyah hendak menebus dirinya.
Kemudian, ia datang kepada Nabi Saw untuk memberinya pertolongan berupa harta agar dapat menebus dirinya. Setelah itu, Nabi Saw membebaskannya dan hendak menikahinya. Setelah mendengar hal tersebut, Juwairiyah menerima tawaran Nabi Saw. Hingga pada akhirnya mereka menikah.
Kemudian, kaum muslimin yang lain berkata: Kerabat (saudara karena pernihkan) Rasulullah Saw ada dalam tawanan kita!. Tidak lama setelah itu, mereka membebaskan seluruh tawanan dari Bani Mustaliq tersebut.
Melihat kejadian mulia terjadi langsung di hadapan mereka itu, mereka terketuk hatinya sehingga banyak dari mereka yang kemudian yang masuk ke agama Allah dan menjadi mukminin.
Penutup
Demikianlah empat hikmah dari poligami Nabi Saw berdasarkan kajian para Ulama. Dan ini juga membantah pendapat yang mengatakan bahwa pernikahan-pernikahan Nabi Saw itu dilakukan berdasarkan hawa nafsu atau yang lainnya. Wallahu a’lam bishhawab.
Editor: Rozy