Saya hampir bisa memastikan kebanyakan orang Muhammadiyah tidak mengerti wayang atau ringgit purwo. Kebanyakan tentu berarti tidak semuanya. Betapapun dahsyatnya cerita wayang dan adiluhungnya nilai-nilai yang diajarkan dalam cerita wayang, orang Muhammadiyah tetap saja tidak tertarik untuk mengertinya.
Orang Muhammadiyah, apalagi Muhammadiyah Jawa, mungkin tahu dan sering mendengar penjelasan bahwa wayang itu anggitan para Wali, terutama Sunan Kalijaga, berdasarkan epos Mahabharata yang diadaptasikan secara genius dengan kebudayaan Jawa dan Islam, dan kemudian menggunakannya sebagai media dakwah di tanah Jawa. Orang Muhammadiyah juga tahu bahwa dengan cara dan media itu para Wali berhasil secara gilang gemilang mengislamkan orang Jawa. Tapi menariknya, orang Muhammadiyah yang nota bene penggiat dakwah Islam kelas wahid seperti halnya para Wali itu tetap saja tidak dekat dengan wayang.
Cerita Wayang
Cerita wayang termasuk dalam kategori sastra lama yang bercirikan istana sentris. Cerita wayang adalah cerita tentang para ksatria. Para raja dan pangeran, dengan segala kepolitikannya yang tidak jauh-jauh dari persoalan istana atau singgasana kekuasaan negara.
Pandhawa dan Kurawa sejak kecil bermusuhan dan setelah besar terlibat dalam perang besar Bharatayudha Jayabinangun–yang berakhir mengenaskan itu–untuk memperebutkan negara Hastinapura. Setyawati atau Durgandini bersedia dinikahi Prabu Sentanu, raja Hastinapura, karena permintaannya agar anak-anaknya kelak yang berhak mewarisi singgasana kerajaan, berarti juga karena soal istana. Intinya cerita wayang adalah cerita tentang istana.
Mereka melakukan perkawinan juga dengan perhitungan-perhitungan politik yang berujung pada istana. Memang ada juga tokoh Brahmana, juga ada orang-orang Sudra, tapi mereka selalu keluar ketika ada di dalam istana atau terkait dengan urusan istana. Sejarah wayang adalah sejarah politik!
Saya menduga ketidakdekatan atau ketidakakraban orang Muhammadiyah dengan wayang purwo ada kaitannya dengan karakter wayang yang serba istana itu. Dari awal mula Muhammadiyah memang tidak menekankan narasinya pada sejarah politik (political history) yang berpusat di istana, melainkan lebih ke sejarah sosial (social history) yang berpusat dalam pranata-pranata sosial masyarakat.
Maka melihat Muhammadiyah dengan menggunakan metode dan pendekatan sejarah politik tidaklah tepat: mengkaji Muhammadiyah mesti lebih menggunakan metode dan pendekatan sejarah sosial.
Istana Bukan Habitat Muhammadiyah
Seperti kita ketahui semakin seseorang menjauhkan fokus kajiannya dari istana dia akan semakin sering menemukan bagian-bagian dari sejarah dan sosok-sosok yang selama ini terabaikan. Semakin menjauh dari istana semakin akan terlihat bagian-bagian dari sejarah bangsa di mana peran Muhammadiyah akan semakin tampak kebesarannya. Semakin menjauh dari istana akan tampak semakin banyak jejak-jejak, karya-karya atau amal-amal usaha Muhammadiyah tampil di sana. Demikian juga halnya pemimpin-pemimpin Muhammadiyah di daerah dan desa berada di tengah-tengah rakyat menggerakkan perubahan sosial.
Mereka adalah tokoh-tokoh dengan wajah biasa, foto-fotonya tidak banyak menghiasi media yang memang dalam penulisan sejarah politik mereka dianggap hanya menjadi figuran dan ditempatkan di pinggiran halaman sejarah (politik) belaka. Tapi dalam penulisan sejarah sosial nama-nama mereka itulah yang membelokkan arah sejarah.
Seperti halnya KH Ahmad Dahlan yang membangun bangsanya dari sebuah surau (langgar) kecil di Kauman Selatan Yogyakarta, mereka memberdayakan masyarakat dari jamaah-jamaah kecil. Dahlan tidak punya keinginan untuk membangun bangsa dan umat ini dari istana!
Membaca istana dan pusat-pusat kekuasaan lainnya orang tidak akan menemukan nama-nama (orang) Muhammadiyah di sana. Istana bukan habitatnya Muhammadiyah. Dahlan adalah seorang “abdi dalem” pametakan Kesultanan Yogyakarta. Tapi Dahlan tidak kerasan di istana. Dia lebih banyak keluar istana dan terjun di tengah-tengah masyarakat kebanyakan yang miskin dan terbelakang.
Dahlan berada di tengah-tengah rakyat kebanyakan untuk memberikan kepeloporan dan membangunkan kesadaran rakyat di luar istana. Bahwa mereka menjadi bangsa yang terjajah dan karena itu harus belajar dan bekerja (Lihat konsideran Keppres No 297 tanggal 27 Desember 1961 tentang Penetapan KH Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional).
(Bersambung)
Editor: Nabhan