Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di dunia, peran pesantren dalam membangun peradaban tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “peradaban” dimaknai sebagai kemajuan kecerdasan dan budaya lahir batin. Maka, peradaban pesantren sejatinya telah mencapai masa kejayaan peradaban sebagai lembaga pendidikan terbaik.
Keterkaitan erat antara pesantren dan masyarakat akar rumput Nusantara sebagai basis kekuatan ekonomi, sosial, dan keagamaan juga menjadi bukti bahwa peradaban pesantren telah sukses menerapkan sistem pendidikan yang menghasilkan generasi yang kuat intelektual dan sosialnya.
Pesantren Harus Bisa Menjawab Tantangan Zaman
Akan tetapi, peradaban pesantren masih jauh dari kata selesai. Terutama, di era modern ini. Pesantren mau tidak mau harus menjawab segala tantangan dan problematika zaman. Diakui atau tidak, eksistensi pesantren dewasa ini juga mengalami penurunan.
Hal tersebut merupakan akibat dari arus modernisasi dan westernisasi yang sangat cepat hingga kini mencapai era revolusi 4.0 dan hendak beranjak menuju era society 5.0. Pada dasarnya, pesantren memiliki jargon yang ramah dengan perubahan zaman. Yakni al-muhafadzhatu ‘ala al-qadiim ash-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih baik).
Sehingga, tidak ada salahnya jika pesantren berkembang lagi menjadi pesantren modern dan semi modern.Untuk mengikuti perkembangan zaman, butuh sinergi yang erat dengan banyak pihak. Salah satunya adalah pemerintah.
Masalahnya, pesantren rata-rata didirikan dengan biaya pribadi Kyai dan sumbangan dari masyarakat memiliki nominal yang sangat minim. Namun dituntut untuk memenuhi standar pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah dengan sedikit sekali bantuan yang dikucurkan.
Akhirnya, mutu pendidikan non-Agama pesantren masih kalah dengan lembaga pendidikan milik pemerintah. Padahal, jumlah santri yang belajar di Pondok Pesantren sebanyak 4 juta orang dengan usia rata-rata 13-25 tahun.
Kesenjangan Kompetensi
Yang dikhawatirkan dan saat ini sedang terjadi adalah kesenjangan kompetensi keterampilan dan keahlian antara keilmuan non-agama santri dan lajunya percepatan teknologi.
Ini dapat dilihat dengan betapa kita, baik santri maupun non-santri, mengalami krisis identitas dengan terjangkit virus inveriority complex atau rasa takut, merasa diri lemah, dan selanjutnya sangat memuja mereka yang dianggap superior.
Jujur saja, dalam hal ini, inveriority complex yang dimaksud adalah betapa kita tak berdaya dan merasa lemah terhadap sesuatu yang modern berbau Barat. Tambahkan lagi fenomena Korean Wave atau demam Korea.
Dalam segi pendidikan, juga sama inveriornya. Memang benar, Program Penilaian Pelajar Internasional atau Program for International Student Assesment (PISA) menyatakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia yang ditilik dari kemampuan membaca, sains, dan matematika menempati peringkat 74 dari 79 Negara. Sangat jauh dibanding Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam.
Menurut Miftakhur Risal dalam esainya, bahwa jika berpacu pada penilaian PISA itu saja, maka yang dinilai hanyalah dua dari delapan kecerdasan anak, yakni word smart (kecerdasan linguistik) dan logical smart (kecerdasan logika).
Padahal, enam kategori sisanya tidak kalah penting adalah nature smart (kecerdasan berhubungan dengan alam), picture smart (kecerdasan menggambar), body smart (kecerdasan fisik), music smart (kecerdasan bermusik), people smart (kecerdasan berinteraksi dengan orang lain), dan self–smart (kecerdasan mengolah diri sendiri).
Budaya Kearab-Araban
Selain itu, budaya kearab-araban atau kecenderungan menjadikan budaya keagamaan Arab juga tidak kalah bahayanya. Sebab, Arab sebagai budaya tentu hanya sebatas entitas kultural warga dunia belaka.
Tetapi kegagalan wacana dengan menganggap posisi Arab sebagai budaya sejajar dengan kesucian agama Islam yang bernuansa Arab tidak sepenuhnya benar. Sehingga, sebagian umat Islam di Indonesia berkesimpulan bahwa ketika hendak berislam dengan sempurna harus sesuai dengan Islam era Nabi Muhammad SAW yang terdapat di Arab.
Fenomena radikalisme, terorisme, dan ekstrimisme dengan mengatasnamakan Islam, minimal yang ada di Indonesia adalah bukti-bukti adanya gejala tersebut. Bahkan, mengancam kehidupan beragama dan berbangsa akibat banyaknya kasus pengeboman rumah ibadah dan tempat-tempat umum dengan dalih jihad yang disalah pahami.
Peradaban Pesantren
Akhirnya, sudah saatnya kita mempertahankan, bahkan melestarikan (kembali) peradaban pesantren yang sederhana namun memiliki badan dan jiwa yang merdeka.
Peran pemerintah juga penting jika memang benar serius untuk menjaga Islam Nusantara. Sebagai pemegang kuasa penuh, tentunya fakta sejarah peradaban pesantren bukan hanya urut-urutan peristiwa. Melainkan, sebuah proses yang selalu butuh penyegaran dan penyesuaian sehingga selalu relevan dengan kebutuhan zaman.
Barangkali, prinsip panca kesadaran Santri ala KH. Zaini Mun’im yang meliputi kesadaran beragama, kesadaran berilmu, kesadaran bermasyarakat, kesadaran berorganisasi, dan kesadaran berbangsa dan bernegara, adalah mantra kunci manusia berperadaban tinggi.
Dan itu semua telah diajarkan di pesantren. Sementara modernitas terlalu bising oleh kegilaan ambisi, ketegangan politik, dominasi sains yang menganaktirikan alam dan sisi humanism. Semoga peradaban pesantren menjadi solusi alternatif dan contoh keberagamaan yang moderat. Tentunya, sangat menghendaki relasi harmonis antara Tuhan, manusia dan alam.
Editor: Yahya FR