Inspiring

Nasr Hamid Abu Zayd dan Pemahaman Alquran sebagai Produk Budaya

3 Mins read

Jika di Indonesia ada Harun Nasution yang terang-terangan mendukung pandangan mu’tazilah, di Mesir ada Nasr Hamid Abu Zayd. Bedanya, tantangan Nasr Hamid lebih besar. Selain karena Nasr Hamid lebih berani, Mesir juga tidak terlalu ramah untuk pemikiran-pemikiran dari ‘menyimpang’ dari pendapat mainstream ulama.

Oleh Mahkamah Kairo, ia divonis murtad dan kafir. Akibatnya, ia harus menceraikan istrinya. Jika tidak mau, maka ia akan digantung. Vonis tersebut dijatuhkan pada 14 Juni 1995.

Satu bulan kemudian, Nasr Hamid, sebagaimana yang dilakukan oleh Fazlur Rahman, melarikan diri ke Barat. Ia pergi ke Spanyol kemudian tinggal di Leiden, Belanda.

Kendati ditolak di Mesir, Nasr Hamid memiliki kenangan khusus di Indonesia. Pada pertengahan tahun 2004, ia datang ke Indonesia. Nasr Hamid diundang oleh berbagai lembaga sosial dan keagamaan di Jakarta. Salah satunya adalah Jaringan Islam Liberal (JIL).

Ia memberikan seminar dan dialog tentang isu-isu keislaman. Ia juga mengunjungi kantor PP Muhammadiyah dan PBNU. Di Indonesia, ia mendapatkan kesan masyarakat yang begitu ramah dan saling menghormati ketika melakukan dialog.

Nasr Hamid mengikuti pemikiran mu’tazilah dalam hal memposisikan Alquran sebagai makhluk. Alquran adalah ciptaan Tuhan. Sehingga ia bersifat profan, bukan sakral. Hal ini bertentangan secara langsung dengan paham ortodoksi Islam, khususnya mazhab asy’ariyah yang menganggap bahwa Alquran bukan makhluk Tuhan dan bersifat sakral.

Biografi Nasr Hamid Abu Zayd

Nasr Hamid Abu Zayd lahir di Tana, Mesir 10 Juli 1943. Ia berhasil menghafalkan keseluruhan isi Alquran ketika berusia delapan tahun. Tiga tahun kemudian, ia sempat bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Ia juga sering menjadi imam salat di dekat rumahnya.

Pada tahun 1968, Nasr Hamid masuk ke Universitas Kairo jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Ia menunjukkan minat yang tinggi terhadap ilmu bahasa dan sastra. Nasr Hamid lulus pada tahun 1972. Setelah itu, ia menjadi asisten dosen studi Islam.

Baca Juga  Menafsir Korelasi COVID-19 dan Dajjal

Pada tahun 1981, Nasr Hamid berhasil meraih gelar magister di jurusan yang sama. Pada tahun 1995 ia menjadi profesor. Sebelumnya, ia telah menjadi Profesor Tamu di Osaka University of Foreign Studies tahun 1985 hingga 1989.

Sebagai seorang intelektual, Nasr Hamid telah menghasilkan berbagai karya. Salah satu karyanya yang kontroversial adalah Mafhum an-Nas: Dirasah fil Ulum al-Quran. Isi buku tersebut dianggap oleh sebagian orang melenceng dari prinsip-prinsip ajaran Islam. Salah satu gagasan utama di buku Mafhum an-Nas adalah Alquran sebagai produk budaya.

Adapun karya-karyanya yang lain adalah Al-Ittijahat al-Aql fi al-Tafsir: Dirasat fi Qadiyat al-majaz Ind al-Mu’tazilah, Falsafat al-Ta’wil; Dirasat fi al-Ta’wil al-Qur’an ‘Ind Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Naqd al-Khitab al-Dini, Al-Imam al-Syafi’i wa Ta’sis al-Aidiulujiyyat al-Wasatiyyat, Al-Nass, al-Sultat, al-Haqiqat, Isykaliyyat al-Qira’at wa Aliyat al-Ta’wil, dan Al-Tafkir fi Zaman al-Takfir.

Alquran sebagai Produk Budaya

Nasr Hamid meyakini bahwa Alquran diciptakan oleh Tuhan, bukan bagian dari sifat Tuhan itu sendiri. Pemahaman ini berasal dari paham mu’tazilah. Sementara itu, mayoritas umat Islam lebih sepakat dengan pemahaman asy’ariyah yang mengatakan bahwa Alquran merupakan sifat Tuhan, sehingga ia merupakan hal yang sakral.

Dampak pemahaman mu’tazilah tersebut adalah menjadikan Alquran sebagai sesuatu yang profan. Berangkat dari pemahaman itu, Nasr Hamid dengan berani menyebut bahwa Alquran adalah produk budaya. Alquran tidak bersifat kekal, namun bersifat baru dan diciptakan oleh Tuhan. Ia adalah bagian dari makhluk Tuhan dan tidak kekal. Karena tidak ada yang kekal kecuali Tuhan.

Dengan demikian, Alquran merupakan fenomena historis dan memiliki konteks. Setidaknya ada tiga implikasi dari pemahaman tersebut. Pertama, Alquran adalah teks linguistik. Sementara teks tidak bisa dilepaskan dari budaya dan sejarah.

Baca Juga  Mewarisi Kecendekiawanan Malik Fadjar dan Jakob Oetama

Kedua, teks harus dikaji dengan pendekatan linguistik dan sastra. Ketiga, titik berangkat untuk memahami Alquran bukan keimanan, melainkan objektivitas keilmuan murni.

Alquran sejatinya adalah sakral. Namun, begitu ia diucapkan oleh lisan Nabi Muhammad kepada manusia, ia menyejarah dalam konteks ruang dan waktu. Ia masuk ke dalam ruang sejarah sehingga tunduk pada aturan main sejarah. Teks Alquran menjadi manusiawi, masuk ke dalam aspek-aspek kultural, politik, dan ideologi.

Hal inilah yang dimaksud dengan Alquran sebagai produk budaya. Segala aspek di dalam Alquran, meliputi bahasa dan hukum tidak bisa lepas dari realitas budaya. Maka, untuk memahami Alquran diperlukan upaya penafsiran yang berkesinambungan.

Dalam hal ini Nasr Hamid menawarkan hermeneutika untuk membedakan makna yang bersifat historis dan makna yang bersifat univeral. Nasr Hamid menolak adanya pemahaman mutlak. Menurutnya, yang ada justru kemajemukan interpretasi.

Avatar
113 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds