Oleh: Neni Nur Hayati
Peringatan Milad Nasyiatul Aisyiyah ke 91 kali ini, mengambil tema “Kepemimpinan: Keberpihakan kepada Perempuan dan Anak”. Salah satu program Nasyiatul Aisyiyah yang senantiasa konsisten memutus mata rantai stunting. Terwujud dalam usaha mengawal dan mengadvokasi isu–isu perempuan dan anak adalah terkait dengan stunting. Faktanya, masalah kekurangan gizi kronis pada anak balita (stunting) di Indonesia masih cukup tinggi.
Masalah Stunting
Berdasarkan rilis data kesehatan terakhir, penurunan masalah stunting baru mencapai 30,8dari sebelumnya sekitar 9 juta atau 37,2 persen anak berusia di bawah lima tahun (balita) mengalami stunting. Jumlah tersebut merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan Myanmar (35 persen), Vietnam (23 persen), Malaysia (17 persen), Thailand (16 persen) dan Singapur 4 persen (UNSD,2014). Ini artinya, satu dari tiga anak Indonesia bisa berpotensi gagal tumbuh.
Tingginya prevalensi anak stunting telah memosisikan Indonesia ke dalam lima besar dunia masalah stunting. Hal ini tentu sangat membahayakan proses tumbuh kembang anak dan rendahnya kemampuan kognitif. Padahal, di tiga tahun pertama kehidupan manusia, pertumbuhan otak anak dapat mencapai 80%. Salah satu ciri fisik anak stunting dapat dilihat dari perawakannya yang pendek.
Penyebab stunting yang lain adalah pernikahan usia dini (di bawah 18 tahun). Perempuan yang menikah di usia muda serta remaja putri yang sering mengalami anemia atau kekurangan sel darah merah lebih beresiko melahirkan bayi stunting dan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah). Kondisi seperti ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas janin yang sedang dikandung. Stunting biasanya terjadi pada 1.000 hari pertama kehidupan manusia. Namun, tak menutup kemungkinan bisa juga terjadi sejak janin dalam kandungan (Syafiq, 2016).
Stunting menjadi permasalahan yang sangat serius jika tidak ditangani dengan cepat. Stunting dapat menghambat terciptanya anak yang sehat, cerdas, dan produktif. Ikhtiar pemerintah dalam mengurangi jumlah anak stunting sampai saat ini masih belum berjalan dengan maksimal. Hal tersebut disebabkan karena koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah belum berjalan dengan baik. Terbukti dengan adanya kasus kematian anak balita akibat gizi buruk yang terjadi di Asmat, Papua. Ini menandakan bahwa pemerintah belum sepenuhnya bisa memperhatikan jaminan kesehatan pada masyakarat.
Sikap Masyarakat Menghadapi Stunting
Selain masalah koordinasi, tradisi yang kerapkali muncul di kalangan masyarakat khususnya ibu hamil dan menyusui ialah pola pikir yang keliru. Seperti tradisi yang melarang ibu hamil dan menyusui makan ikan karena amis. Padahal, ikan mengandung berbagai zat gizi yang dibutuhkan ibu hamil dan menyusui (Pudjiastuti, 2018). Akibat pengetahuan yang minim itulah, asupan gizi untuk ibu hamil dan menyusui sangat kurang karena terlalu banyak pilih–pilih makanan atau lebih percaya terhadap mitos.
Terlebih di daerah pedesaan, kebiasaan pola asuh orang tua terhadap anaknya dan kondisi lingkungan yang kurang steril mengakibatkan mudahnya anak terjangkit bakteri atau virus. Tak sedikit pula diantara mereka yang tidak mengutamakan pemberian ASI. Bagi mereka, susu formula sangat cukup untuk memenuhi asupan gizi bayinya. Anak di atas satu tahun pun makanan sehari–harinya lebih sering diberikan kuah baso atau mie instan. Itu dianggap sudah cukup, asal anak kenyang tanpa peduli pemenuhan kebutuhan gizi sang anak.
Namun, saat ini gangguan gizi kronik yang mengakibatkan anak mengalami gangguan tumbuh kembang tidak hanya terjadi pada orang miskin atau penduduk desa. Melainkan anak-anak perkotaan pun bisa mengalami risiko yang sama (Tan, 2018). Kita seringkali melihat anak-anak perkotaan lebih sering diberikan makanan yang instan seperti sosis, nugget karena para orangtua yang tidak sempat membuat masakan untuk anaknya.
Nasyiatul Aisyiyah Memutus Mata Rantai Stunting
Semakin muda usia perkawinan, maka risiko melahirkan bayi stunting juga semakin besar. Kasus stunting yang terjadi di keluarga miskin sebesar 48,4% dan pada keluarga kaya sebesar 29,0%. Melihat persentase ini, maka tentunya persoalan stunting ini tak hanya sekedar dicegah, tapi juga harus melawan dan memutus mata rantainya.
Pertama, program pemerintah gerakan seribu hari pertama kehidupan untuk mengatasi masalah balita stunting melalui perbaikan gizi dan kesehatan sudah tepat. Pembinaan pemerintah daerah kepada kader kader PKK harus dioptimalkan. Karena mereka adalah grass root yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.
Kepala daerah terpilih pada pilkada 2018 dan calon kepala daerah pada Pilkada Serentak Tahun 2020, hendaknya memperhatikan persoalan jaminan kesehatan masyarakat. Bila perlu, ada program pemeriksaan kesehatan gratis secara rutin untuk ibu hamil dan balita dengan dilengkapi fasilitas memadai, misal USG, susu ibu hamil dan suplemen vitamin.
Kedua, keterlibatan kader-kader PKK pada pemberantasan stunting menjadi sangat penting. Terutama dalam pencegahan pernikahan usia dini dan pentingnya menjaga sanitasi. Kader PKK di setiap posyandu agar mengagendakan program membuat makanan sehat dengan ibu–ibu RT RW setempat dan dibagikan pada saat posyandu berlangsung.
Tujuannya agar balita yang datang ke posyandu bisa mendapatkan pemenuhan gizi yang cukup dan menjadi kebiasaan untuk mengkonsumsi makanan bergizi. Sebagai contoh, hal ini telah dibuktikan oleh para kader Nasyiatul Aisyiyah Kabupaten Tasikmalaya yang tergabung dalam kelompok PKK membuat produk AbonMu sebagai solusi stunting.
Ketiga, dinas kesehatan di masing masing daerah harus proaktif mengadakan kerjasama dengan OKP dan Ormas di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Dalam hal ini, dinas tidak bisa bekerja sendiri. Dinas kesehatan, OKP dan ormas keperempuanan bisa mendatangi sekolah–sekolah untuk memberikan edukasi mengenai stunting serta bersama sama meminum suplemen zat besi kepada remaja putri yang sering mengalami anemia.
Semoga beberapa ikhtiar yang dilakukan, anak anak di Indonesia bisa terbebas dari stunting.