Perspektif

Natsir: Enam Rumus Jitu Merawat Toleransi di Indonesia

3 Mins read

Sejenak mengingat salah satu tokoh Bapak Mosi Integral Republik Indonesia yakni Mohammad Natsir yang selama ini dikenal sebagai tokoh politik terkemuka yang berjasa mempersatukan teritorial wilayah Indonesia pada era Sukarno dan tentunya masih dikenang hingga sekarang. Natsir yang notabenenya tokoh politik ulung pada masanya juga turut andil memberikan ide atau gagasan mempersatukan kerukunan antar umat beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Terinspirasi dari Peringatan Nuzul al-Qur’an

Terkait dengan harmonisasi antar umat beragama, Natsir mengambil pembelajaran dari Peringatan Nuzul al-Qur’an merupakan hal yang cukup untuk menangkis tuduhan-tuduhan tentang intoleransi dalam Pancasila berasaskan Islam. Kegiatan Peringatan Nuzul al-Qur’an pada Mei 1954, Natsir menguraikan pandangannya tentang hubungan antara Pancasila dengan ajaran al-Qur’an.

Ia menjelaskan bahwa al-Qur’an membawakan tauhid, kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Tauhid membebaskan manusia dari segala macam takhayul dan kepercayaan khayali. Tauhid meletakkan hubungan antara Tuhan dengan makhluk-Nya langsung, dengan tiada perantaraan apapun juga. Tauhid menumbuhkan dalam tiap-tiap jiwa yang beriman, kesadaran akan harga diri sebagai hamba Allah (Hakiem 2019, 349).

Ia menambahkan bahwa Peringatan Nuzul al-Qur’an adalah suatu revolusi menentang ta’asub atau intoleransi keagamaan. Al-Qur’an memulai dengan penegasan Tuhan, sebagai suatu ketentuan yang mesti berlaku di dalam perkembangan alam manusia, tidak ada paksaan dalam agama. Iman dan kepercayaan bukan hal yang dapat dipaksa-paksakan Iman dan kepercayaan adalah karunia Ilahi yang dimiliki oleh tiap-tiap perseorangan yang mencarinya dengan kesungguhan hati (Hakiem 2019, 350).

***

Al-Qur’an dengan demikian mengajarkan kepada penganutnya agar menghargai dan menjunjung tinggi keyakinan dan pendirian sendiri dengan sungguh-sungguh, yang disertai menghargai hak pribadi orang lain untuk berbeda paham dengannya. Toleransi dalam Islam adalah toleransi yang mewajibkan bagi tiap-tiap pemeluknya untuk berjuang, malah mempertaruhkan jiwanya jika perlu untuk menjunjung kemerdekaan beragama.

Baca Juga  Menerapkan Disiplin Positif di Lingkungan Pesantren

Kemerdekaan beragama tersebut, bukan sebatas hanya untuk para penganut agama Islam saja, akan tetapi juga berlaku bagi penganut agama-agama yang lain, agama-agama ahli Kitab; melindungi kemerdekaan menyembah Tuhan dalam gereja, biara, sinagog, dan masjid dimana disebut nama Allah (Hakiem 2019, 350). Demikianlah ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an al-Hajj ayat 40.

Natsir menegaskan bahwa setinggi-setinggi bentuk toleransi, yang umat manusia kini masih memperjuangkannya di dalam negara-negara modern sekarang ini. Laksanakan dengan nyata kebesaran jiwa dan tasamuh (toleransi) ini dalam hidup sehari-hari, bagaimana seorang muslim harus bersikap dan bertindak terhadap sesama manusia yang beragama lain, telah diatur dalam al-Qur’an, Surah Al-Syu’ara ayat 15 (Hakiem 2019, 350).

Sikap Islam terhadap kebebasan beragama tentunya sudah sesuai dengan kaidah konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Pasal 18 UUDS 1950 yang menjamin kemerdekaan beragama di NKRI dengan bunyi setiap orang berhak atas kebebasan agama, keinsafan batin, dan pikiran (Hakiem 2019, 356).

Enam Rumus Memelihara Toleransi

Natsir mengusulkan enam rumus jitu untuk memelihara atau merawat keragaman hidup/toleransi antar agama kepada umat Islam sebagai berikut:

  1. Tauhid merupakan suatu revolusi ruhani membebaskan manusia dari kungkungan dan tekanan jiwa dengan arti yang seluas-luasnya. Keimanan kepada Tuhan itu diperoleh dengan jalan yang bersih dari segala macam paksaan.
  2. Islam telah menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Maka agama sebenar-benarnya agama menurut Islam ialah agama yang sesuai dengan sunnatullah tersebut.
  3. Keimanan adalah karunia Ilahi yang hanya dapat diperoleh dengan ajaran dan pendidikan yang baik, dengan dakwah dan panggilan yang bijaksana serta diskusi (mujadalah) yang sopan dan teratur.
  4. Perbedaan tentang ibadah dan agama tidak boleh menyebabkan putus asanya seorang muslim di dalam pencarian titik persamaan yang ada dalam agama-agama itu.
  5. Umat Islam harus tahan hati dan tidak boleh dipengaruhi oleh hawa nafsu, walau dari manapun datangnya, dari dalam atau dari luar, dalam menegakkan kejernihan hidup antaraagama itu.
  6. Toleransi yang diajarkan oleh Islam itu dalam kehidupan antar agama bukanlah suatu toleransi yang bersifat pasif. Ia aktif! Aktif dalam menghargai dan menghormati keyakinan orang lain. Aktif dan bersedia senantiasa untuk mencari titik persamaan antara bermacam-macam perbedaan (Hakiem 2019, 358-359)
Baca Juga  Sudahkah Kita Mengamalkan Al-Ma’un di Tengah Pandemi Covid-19?

***

Keenam rumus jitu di atas memberikan landasan penting tentang menjadi manusia yang memiliki kesalehan sosial dan selalu memberikan manfaat kepada orang banyak dengan penuh rasa kasih-sayang kepada siapapun walau dari latar belakang yang berbeda-beda, namun prinsip kemerdekaan antar umat beragama tetap harus dipraktikkan oleh seluruh masyarakat.

Kemerdekaan antara umat beragama bagi seorang muslim adalah suatu nilai hidup yang lebih tinggi daripada nilai jiwanya sendiri. Apabila kemerdekaan agama terancam dan tertindas, walau kemerdekaan beragama bagi bukan orang beragama Islam, maka seorang muslim diwajibkan untuk melindungi kemerdekaan ahli agama tersebut agar manusia umumnya merdeka untuk menyembah Tuhan menurut agamanya masing-masing, yang mana perlu dengan mempertahankan jiwanya (Hakiem 2019, 359).

Dengan demikian, rumus kerukunan antar umat beragama yang diberikan oleh Natsir adalah bagian dari salah satu langkah konkrit untuk perdamaian dan persatuan dari keragaman masyarakat yang berbeda-beda di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Toleransi yang sesungguhnya tetap saja mengacu kepada prinsip yang ada dalam Al-Qur’an dan sesuai dengan konstitusi yang ada di negara ini. Pelaksanaan prinsip tersebut akan memberikan i’tikad kuat dalam harmonisasi perbedaan agama yang ada dalam masyarakat.

Editor: Soleh

Johan Septian Putra
38 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds